Keduanya sedang duduk berhadapan, dengan tangan kanan sibuk mengambil makanan untuk disuapkan dalam mulut. Mereka makan dengan lahap. Wajar kalau keduanya kelaparan karena ini memang sudah cukup sore. Jam makan siang yang sebenarnya sudah lewat cukup jauh.
"Ngomong - ngomong, pas gue nyusul lo ke balkon tadi, lo lagi teleponan sama seseorang, kan. Serius amat kayaknya obrolan kalian." Noah kembali teringat dengan rasa penasarannya yang tadi.
"Oh itu ... iya ... gue telepon penyalur asisten rumah tangga. Jadi kan gue punya satu asisten rumah tangga, namanya Moa. Masih muda, seumuran gue. Dia butuh duit lebih buat bayar kuliah katanya. Makanya bela - belain jadi asisten. Dia dateng seminggu sekali buay bersih - bersih di sini. Harusnya dia dateng buat bersih - bersih 2 hari yang lalu.
"Tapi sampai detik ini belum dateng juga. Gue berusaha hubungin Moa secara pribadi. Tapi dia nggak nyahut, padahal telepon gue nyambung kok. Makanya gue putusin untuk masih tahu penyalurnya aja. Rugi bandar gue kalau dia kabur, gaji buat 4 bulan udah gue bayar di awal."
Eve bercerita dengan menggebu - gebu, terlihat benar - benar kesal pada Moa asisten rumah tangganya itu.
"Berarti udah satu minggu lebih dua hari apartemen lo ini nggak dibersihin? Wah ... lo orangnya bersih berarti, ya. Rapi juga. Soalnya apartemen lo masih kelihatan bersih banget, dan rapi pastinya." Noah memuji dengan tulus.
Eve mengangguk setuju. "Ya bener sih, harus gue akuin, gue paling males kalau lihat barang - barang kotor dan berantakan. Bawaannya jadi kesel aja gitu."
"Wah ... kayak orang OCD aja lo."
OCD adalah sebuah sindrom mental. Singkatan dari Obsesive Compulsive Dissorder. Gangguan kejiwaan yang membuat penyintasnya memiliki obsesi berlebihan terhadap keteraturan. Jika terbiasa bersih, ada kotoran sedikit mereka akan panik. Barang tertata dengan rapi dan terstruktur. Jika tidak rapi dan terstruktur dengan sebagaimana biasanya, mereka juga akan langsung gelisah.
"Bisa jadi sih," jawab Eve. Karena ia juga sering berpikir bahwa ia adalah seorang penyintas OCD.
"Terus tadi keterangannya penyalur kayak gimana?"
Eve mengunyah makanan yang masih ada dalam mulutnya dengan cepat, segera menelannya juga untuk bisa menjawab pertanyaan Noah. Ia tidak ingin makanannya muncrat atau bahkan tersedak, jika memaksa bicara masih dengan ada makanan dalam mulut.
"Kata mereka, mereka juga belum tahu di mana Moa. Mereka malah baru tahu kalau Noah nggak bisa dihubungi. Mereka bilang mau secepatnya cari tahu di mana keberadaan Moa. Nanti gue dikabarin gitu. Ya semoga aja nggak kelamaan. Eh, tapi tadi gue minta tukar sementara sama mereka. Jadi gue minta mereka kirim orang lain dulu aja sementara, yang penting rumah gue bersih dulu."
"Mereka setuju?"
"Ya ... mau nggak mau harus setuju. Udah tanggung jawab mereka kan."
Noah mengangguk mengerti. "Ya udah kalau gitu."
~~~ Sepasang Sayap Untukmu - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Semalaman Noah memikirkan tentang rencana dalam kepalanya. Ia ingin bilang pada Eve, tapi masih ragu. Ia akan tahan sampai besok. Jika sudah ada kepastian, ia akan coba untuk bicara pada Eve.
Meski belum terlalu malam, Noah mencoba untuk tidur.
Noah jadi menyesal karena tadi siang ia tidur terlalu lama. Karena malam ini ia jadi tak bisa tidur. Ah ... padahal Noah sendiri tak tahu. Sebenarnya ia tak bisa tidur karena terlalu lama istirahat tadi siang. Atau justru pikiran dalam otaknya yang menghalang - halanginya untuk tidur.
Noah sudah mengenakan selimut tebalnya sampai hampir menutupi seluruh tubuhnya. Tapi ia masih saja menggigil hebat. Ini pasti karena AC di kamar ini, kan. Mana Noah tidak tahu cara bagaimana mengatur ulang AC itu.
Noah jadi bingung, kenapa orang - orang kaya suka sekali pakai AC. Padahal benda itu menyiksa menurut Noah.
Tak tahan dengan rasa dingin yang menusuk tulang, Noah bergegas beranjak. Ia masih menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal, lalu ia buru - buru berjalan keluar.
Sampai di luar kamar, Noah merasa cukup lega. Rasanya nyaman karena di sini tidak sedingin dalam kamar. Hanya saja Noah masih tetap menggunakan selimut itu untuk membungkus badannya. Suhu tubuhnya masih menyesuaikan dengan udara di dalam kamar tadi. Belum beradaptasi dengan udara di sini.
Sayangnya ternyata di luar kamar ini sangat lah gelap. Ternyata Eve mematikan semua lampu yang tak perlu. Noah ingin menyalakan lampu - lampu yang ia perlukan. Tapi ia tidak tahu di mana letak saklarnya. Aduh ... aduh ... nasib tamu polos yang tidak mempersiapkan apa pun untuk kejadian seperti ini.
Noah tentu saja akan belajar dari pengalaman. Ia akan cari tahu di mana letak saklar nanti. Dan ia juga akan bertanya pada Eve besok, bagaimana caranya mengatur ulang AC.
Noah sebenarnya ingin menuju ke sofa yang malam sebelumnya ia gunakan untuk tidur. Jujur tidur di sofa itu terasa sangat nyaman. Bisa jadi malam ini juga sama.
Di sini juga ber - AC. Hanya saja mungkin karena cakupan ruangnya lebih besar, jadi tak terlalu terasa dingin. Hanya rasa sejuk yang nyaman. Beda sekali seperti di kamar.
Sayangnya karena ruangan begitu gelap, tak mudah bagi Noah untuk menemukan sofa panjang itu. Ia berjalan dengan modal menebak - nebak, sambil sesekali meraba supaya ia tidak berakhir benjol karena menghantam benda keras.
Namun ternyata ... oh tidak ....
Bukannya ia menghantam benda keras ... melainkan baru saja menabrak ... benda empuk?
Noah terdiam cukup lama. Memikirkan apa gerangan yang sebenarnya baru saja ia tabrak?
Jangan - jangan .... Aduh ... pikiran Noah sudah ke mana - mana.
~~~ Sepasang Sayap Untukmu - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Eve rasanya sudah mau menangis. Apa yang baru saja ia tabrak? Dinding? Tentu saja bukan. Lemari? Pasti bukan juga, kan?
Mana ada benda padat tapi terada empuk seperti tadi? Aduh ... merupakan sebuah kesalahan ia keluar kamar malam - malam seperti ini.
Tapi untung ia bawa ponsel. Ia bisa memanfaat ponselnya untuk menciptakan sebuah penerangan, sekadar memastikan apa yang sebenarnya baru saja ia tabrak.
Lampu senter dari ponsel Eve pun menyala. Sorot lampu yang ia bawa dengan kedua tangan, tak hanya menyoroti 'sesuatu' yang baru saja ia tabrak. Namun juga menyoroti wajahnya sendiri.
'Sesuatu' yang baru saja ia tabrak tersentak kaget. Kemudian berteriak sangat keras. Teriakan ketakutan.
Saking kagetnya, Eve sampai tak bisa berpikir jernih. Ia pun tersugesti untuk ketakutan dan ikut berteriak keras juga.
Sorot lampu senter dari ponsel Eve itu membuat wajah keduanya terlihat begitu menyeramkan di dalam kegelapan seperti ini.
Apa lagi keduanya sama - sama berselimutkan bed cover tebal warna putih.
Apa lagi Eve ... rambut panjangnya sedang sangat berantakan akibat berbaring di ranjang dengan banyak bergerak tadi.
Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka masih saling berteriak dengan begitu kerasnya, entah sampai kapan, entah siapa yang akan waras duluan nanti.
~~~ Sepasang Sayap Untukmu - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
-- T B C --