Bertemu dengan Bima

1817 Words
Malam pun tiba, Intan sudah berada di kafe tempat biasa mereka makan malam saat masih dalam keadaan harmonis dan romansa. Tempat yang dulu menjadi tempat paling penuh kebahagiaan, sekarang berubah menyakitkan. Menatap kafe tersebut dengan perasaan yang sesak, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Masih sama, tempatnya memang tidak terlalu ramai setiap kali mereka berkunjung namun, banyak sekali memberikan suasana yang penuh ketenangan dan kenyamanan, sama seperti sekarang ini. Rupanya, Bima sudah lebih dulu sampai di sana, menunggu sang kekasih hati dengan perasaan yang tidak menentu. Ada rasa rindu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, penyesalan pun hadir memenuhi relung hatinya yang terdalam. Setelah kejadian malam itu, ia baru bertemu kembali dengan istrinya. Bukan berarti tak memintanya pulang, tapi istrinya saat itu masih sangat marah padanya dan juga enggan untuk bersama. Jadi, Bima berusaha untuk mengerti dan memahaminya saja, walaupun rasanya tak tahan berjauhan dengan wanita itu. Tapi, demi semua keadaan kembali menjadi baik-baik saja, akhirnya ia mengalah dan menemukan ruang juga waktu bagi Intan untuk menyendiri. Bima melihat Intan masuk ke dalam kafe, tak lupa memberikan senyuman terbaiknya. Sorot matanya terlihat jelas penuh dengan kerinduan, senyumnya tak lepas dari bibir, ia sudah merentangkan tangannya untuk menyambut sang istri namun ternyata mendapatkan penolakan. Intan langsung duduk begitu saja tanpa menyapanya terlebih dahulu atau masuk ke dalam pelukannya. “Sayang,” gumam Bima merasa kecewa tapi seketika kembali tersenyum karena tak ingin merusak momen indah mereka saat ini. “Maaf, tapi aku rasa tidak perlu berlebihan seperti itu, Bima.” “Maaf, Sayang. Dan terima kasih karena sudah mau bertemu denganku, terima kasih atas kesempatan ini.” “Ya, terima kasih juga karena sudah berusaha untuk meluangkan waktunya untukku. Rupanya, kau tidak ingkar janji seperti biasanya,” sindir Intan cukup menohok sekali. Bima hanya bisa membalasnya dengan tersenyum kaku, mereka saat ini duduk berhadapan. Keduanya saling menatap satu sama lainnya dengan penuh perasaan yang sangat campur aduk sekali. Debaran jantung keduanya, berdetak lebih kencang dari biasanya. Berkali-kali bahkan terdengar helaan nafas panjang dari mereka berdua. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Sayang? Apa kau sudah mau untuk kembali ke rumah?” Intan menatap suaminya sendu, mencoba untuk menahan air matanya untuk tetap berada di balik pelupuk mata indahnya itu. Jangan sampai, menangis di depan pria yang sudah menyakiti hatinya hingga berkeping-keping. “Bim, aku datang memintamu bertemu dan datang ke sini, memang karena ingin ada yang dibicarakan. Aku ingin … kita menyelesaikan semuanya dengan baik. Aku tak ingin terus ada masalah seperti ini.” “Aku tahu, untuk datang ke sini juga butuh meluangkan waktu dengan ekstra, bukan?” tanya Intan tersenyum sinis. “Aku tahu, saat ini dalam hidupmu bukan hanya ada aku saja, tapi juga ada Rika, istri keduamu itu.” “Sekarang, dia sudah menjadi bagian dari hidupmu. Di dalam hatimu, bukan hanya ada aku seorang tetapi ada dia juga. Dan, satu hal yang perlu kamu tahu, itu semua sungguh sangat menghancurkan hatiku.” “Aku … aku merasa sangat terluka sekali dengan perbuatan kamu ini. Aku tidak menyangka, kamu bisa menyakiti aku sampai sedemikian rupanya.” “Tapi, semua sudah terjadi, aku tidak bisa melakukan apapun lagi, bukan? Kamu sudah membawa wanita itu ke hadapanku. Dan aku tidak bisa menolaknya.” Bima menghela nafas, suaranya seakan tercekat di tenggorokan karena bingung harus menjawab semuanya dengan kata-kata yang seperti apa. Memikirkan, kata dan kalimat yang pantas, lembut dan tidak menyakitkan hati istrinya lagi, ternyata cukup memusingkan. “Intan, maafkan aku. Sungguh, posisiku juga sangat sulit sekali. Aku bingung saat ini, satu sisi ada kamu dan satu sisi ada ibu. Ibu terus memaksa untuk memberikan cucu tapi kamu belum juga bisa memberikannya.” “Aku juga sebenarnya tak ada niat bahkan tidak ingin menyakiti hatimu, tapi Rika sudah terlanjur ada di dalam kehidupan kita berdua. Adik madumu itu sudah masuk ke dalam dunia kita, tidak mungkin jika harus diusir begitu saja bukan? Apalagi–” “Apakah kamu benar-benar mencintainya? Atau mungkin rasa cinta itu masih ada di antara kalian?” Bima terdiam, kembali bingung harus menjawab apa tapi akhirnya ia mengangguk perlahan dengan tetap menatap istrinya. Khawatir, jika anggukan kepalanya itu akan menyakiti hatinya. “Maaf, tapi aku memang sudah mulai mencintainya. Cinta itu datang dengan sendirinya, kenangan indah semakin membuat cinta kita berdua menjadi kuat.” “Tapi, kamu jangan salah paham. Aku memang mencintainya, tetapi bukan berarti aku tidak mencintaimu. Aku masih tetap mencintaimu sampai saat ini, Intan.” Intan tak bisa lagi menahan dirinya, air mata lolos begitu saja mulai mengalir membasahi pipi. Sedangkan Bima, hanya mampu memejamkan matanya karena tidak sanggup untuk melihat air mata itu kembali membasahi wajah istrinya. “Tapi, bagaimana mungkin bisa kamu mencintai dia orang sekaligus, Bima?” “Bisa, Intan. Buktinya, saat ini aku sama-sama mencintai kalian berdua, namun dengan porsi yang berbeda. Kalian, sama-sama ada di dalam hatiku tapi tetap saja berada di tempat yang berbeda di dalamnya.” “Aku tidak bisa hidup seperti ini, Bima. Aku butuh kejelasan yang benar-benar jelas.” “Tapi, keadaannya memang sudah seperti ini, Intan. Kita tidak bisa menolaknya.” “Bisa, Bima! Bisa menolak dan menyingkirkannya, tidak ada kata terlambat.” “Tapi, maaf … aku tidak bisa melakukan hal itu.” “Lalu, aku harus hidup bersama dengan madu, begitu maksudnya?” “Ya keadaannya memang sudah menjadi seperti ini, bukan? Lalu, kamu inginnya yang bagaimana?” “Mari kita bercerai, Bima.” “Tidak! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menceraikanmu, Intan!” “Kalau begitu, ceraikan wanita itu.” “Tidak bisa. Aku juga tidak bisa menceraikannya, Intan. Dia sedang mengandung, anak kita. Tolong pahami akan hal ini.” “Anak kalian, bukan anak kita!” tegas Intan kesal. “Sayang, sudahlah! Jangan terus seperti ini, jangan terlalu keras dengan keadaan yang sudah terjadi ini. Ayo kembali bersama denganku, aku akan berusaha untuk adil.” “Bohong! Mana ada lelaki yang bisa adil, Bima! Itu tidak akan pernah mungkin terjadi!” “Tidak. Aku berbeda, aku benar-benar bisa bersikap adil pada kalian. Percayalah padaku, Sayang. Ayo, kembali ke rumah. Aku mohon, aku merasa hilang arah tanpamu.” “Ada Rika yang menggantikan aku.” “Intan, mungkin Rika memang pengganti tapi hanya sebagai pengganti rahim saja. Kamu, akan tetap bersemayam di dalam hatiku, sampai kapanpun itu.” “Tidak usah membual! Aku muak dengan semua yang kamu katakan.” “Oh sayang, ayolah. Jangan terus seperti ini, aku rindu kamu yang lemah lembut dan penuh cinta.” “Kamu yang membuatku menjadi seperti sekarang ini, Bima. Tapi, kamu juga yang merasa tidak terima diperlakukan seperti ini,” geram Intan. “Sayang, sudah ya. Kita kembali ke rumah bersama-sama, ya.” “Apa jaminannya kalau aku kembali ke rumah, keadaan akan baik-baik saja? Kamu yakin, aku dan Rika tidak akan pernah bertengkar? Kamu yakin, Ibu tidak akan terus-menerus mengganggu dan mengusikku?” “Aku janji dan menjamin semuanya, Sayang. Percayalah padaku. Semuanya pasti akan baik-baik saja.” “Baik, aku akan kembali ke rumah, tapi dengan beberapa syarat,” tawar Intan. “Syarat? Kenapa harus memakai syarat segala, Intan? Kamu hanya perlu kembali denganku ke rumah, sudah itu saja.” “Iya, aku tahu. Tapi, aku ingin mengajukan syarat padamu, Bima.” Bima menghela nafas panjang dan akhirnya mengangguk, memilih mengalah agar istrinya kembali ke rumah. “Baiklah. Apa saja syaratnya, Ntan? Aku akan siap melakukan apa saja agar kamu mau kembali bersama denganku ke rumah kita,” jawab Bima menatap sendu istrinya. Intan balik menatap Bima dengan sorot mata yang penuh dengan ketegasan, ia tak akan terbuai dengan sorot mata sendu yang diberikan oleh suaminya. “Pertama, aku ingin kamu memberikan waktu dan ruang untuk. Aku butuh waktu lagi untuk menyesuaikan diri di rumah, karena saat ini sudah ada orang lain, bukan?” “Kedua, aku juga ingin kita berbicara tentang Rika. Sejujurnya, aku tidak bisa jika hidup bersama dengannya satu atap, aku tidak bisa hidup dengan bayang-bayangnya, Bima.” “Ketiga, kamu harus selalu membelaku di depan ibu.” Bima menghela nafas kembali, tampak berpikir sangat keras. Syaratnya hanya tiga, namun semuanya terasa sangat menyulitkan sekali. “Syarat yang pertama, aku cukup paham dengan keadaan hatimu. Aku akan berusaha semaksimal mungkin memberikan ruang untukmu. Syarat yang ketiga, aku sanggup membelamu di depan ibu.” “Lalu syarat yang kedua?” tanya Intan sebelum Bima kembali menjawab. “Tentang Rika … aku nanti akan berusaha bicara dengannya, tapi … aku tidak bisa jika memintanya pergi dari rumah. Bagaimanapun, Rika juga istriku, Intan.” “Aku tahu, tapi aku tidak merasa nyaman, jika ada Rika juga di sana.” “Baiklah. Aku akan mencoba untuk memikirkan segalanya. Ini sebagai salah satu bukti, bahwa aku memang masih sangat mencintaimu sampai saat sekarang.” Intan tersenyum sinis, “Bima, cinta saja sepertinya tidak cukup. Aku butuh kepastian dan juga butuh sebuah komitmen untuk bisa lebih saling menghargai dan menghormati lagi, satu sama lainnya.” “Jadi, kamu bisa kan membuat Rika keluar dari rumah?” Bima kembali terdiam, sungguh itu adalah pilihan yang sangat sulit sekali, ia sendiri merasa tidak bisa untuk memilih di antara keduanya. Karena ya merasa, mereka berdua sama-sama istrinya, jadi untuk apa memilih. “Intan, jangan paksa aku untuk mengusir Rika dari rumah. Bagaimanapun juga, Rika saat ini sedang mengandung anakku, darah dagingku sendiri.” “Baik, kalau begitu … aku ada penawaran lainnya.” “Apa katakan? Asal jangan memintaku untuk membawa Rika pergi dari rumah.” “Baiklah, tidak masalah jika wanita itu berada di rumah. Tetapi, setiap malamnya kamu selalu harus bersama denganku, tak boleh bermalam di kamar Rika. Kalau ketahuan ada di kamar Rika, maka kita akan segera bercerai.” “Baik. Aku setuju, aku akan selalu bersama denganmu setiap malam, Intan.” “Jadi, malam ini kami sudah bisa kembali ke rumah, bukan?” “Belum–” “Loh apalagi? Semua syarat yang kamu ajukan, aku sudah setuju bukan?” “Iya, memang. Tapi, aku tidak mau menginjakkan kaki di rumah, jika keadaannya tidak baik-baik saja. Aku ingin kembali ke rumah dalam keadaan yang baik-baik saja dan juga tenang. Jadi, akan lebih baik, jika kamu bicarakan semuanya terlebih dahulu dengan Rika. Agar, suatu saat nanti tidak akan pernah ada kesalahpahaman.” “Aku tidak ingin, jika kembalinya aku ke rumah justru membuat pikiran Rika akhirnya buruk dalam menilaiku. Padahal, sampai saat ini kamu yang selalu mengejarku, ya bukan?” “Ya, aku merasa sangat takut sekali kehilanganmu, Intan. Dan aku, akan berusaha semaksimal mungkin untuk . membawamu kembali pulang.” “Maka dari itu, bicarakan semuanya dengan Rika. Yakinkan wanita itu, sama hal yang seperti kamu menyakinkan aku saat ini, Bima.” “Baiklah, aku akan lebih dulu bicara pada Rika. Walaupun sebenarnya, tanpa persetujuan wanita itu juga, aku bisa bicara dan langsung mengambil sebuah keputusan.” “Jika semua pihak sudah setuju, maka tidak akan ada alasan lagi untukku tidak kembali ke rumah, Bima.” “Iya, aku akan melakukan apapun demi kamu, Intan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD