Semalaman suntuk Intan sudah mulai tidak bisa tidur dengan nyenyak, setiap kali berusaha untuk memejamkan matanya dan terlelap, pasti kembali terbangun seperti sebelumnya. Semua perkataan Rina benar-benar terngiang-ngiang di dalam pikirannya. Pikirannya seakan terhenti pada obrolan tadi.
Obrolannya dengan Rina memang terus saja berputar-putar di dalam kepalanya, mengusik ketenangan hati dan jiwanya. Tak ingin memikirkan, tapi semuanya terpikir begitu saja tanpa diminta atau diinginkan, dan lagi semua yang dibicarakan oleh wanita itu memang benar adanya untuk dipikirkan karena semuanya harus segera selesai agar bisa kembali melanjutkan hidup yang sebelumnya sempat tertunda.
Sebuah kenyataan pahit, terpampang nyata di depan matanya. Ia sendiri tidak pernah terbayangkan jika harus kembali ke rumah ini, dengan situasi yang tidak memungkin ini. Semuanya karena Rika, andai saja madunya itu tak tinggal bersama dengannya satu atap, mungkin ia masih ingin kembali tapi jika berada di dalam satu atap, rasanya sungguh sangat menyesakkan d**a sekali.
Intan berusaha untuk berdamai dengan keadaan walaupun sulit, apalagi berdamai dengan diri sendiri itu masih sangat susah sekali. Tak ingin memaksakan dirinya sendiri untuk bisa menerima semuanya dengan baik secara sepenuhnya, tapi akan berusaha untuk menerima takdir yang sudah digariskan untuknya.
Dalam waktu dekat, wanita itu sudah dapat dipastikan akan kembali. Ia juga tidak ingin kehilangan segalanya, sebenarnya ini bukan tentang harta atau sebuah perhitungan tapi tentang rasa yang tidak pernah dihargai dan dihormati, bahkan kehadiran yang tak pernah dianggap sama sekali. Jika mereka bisa memperlakukannya dengan sangat jahat, maka tidak ada salahnya bukan jika Intan membalaskan hal yang sama?
Intan akan kembali dengan keadaan yang pastinya harus tenang dan tidak penuh dengan konflik. Akan memanfaatkan suaminya masih terus saja menantikannya untuk kembali. Ia mencari cara yang aman dan damai untuk kembali ke tempatnya sendiri tanpa harus berdebat dengan siapapun, terutama Ibu Badriah - mertuanya.
Intan memang memikirkan segala macam cara yang menari-nari di dalam pikirannya itu, namun tetap saja tidak ada solusi yang tampak mudah. Semuanya tetap pasti akan beresiko dan ia pun harus bisa berpura-pura menerima semuanya, walau sakit hati dan merasa sesak di dalam d**a. Tapi, ia harus berani melangkah untuk menyelamatkan semua yang harus menjadi miliknya.
Akhirnya, setelah semalam suntuk memikirkan banyak hal, ia mengambil keputusan untuk bertemu dengan Bima dan membicarakan semuanya secara langsung. Khawatir, jika hanya melalui sambungan telepon akan terjadi kesalahpahaman nantinya, jadi mungkin memang lebih baik bertemu saja.
Beruntung, sampai saat ini Bima masih berusaha semakin mungkin untuk membuat hatinya luluh, ya walaupun Intan belum mengetahui apakah itu tulus atau tidak. Terlebih, pria itu sudah mengetahui bahwa ia adalah seleb t****k yang cukup terkenal dan memiliki banyak pengikut, mungkin ada maksud tersembunyi di dalamnya dan hal itu, membuatnya merasa harus waspada.
Kembali ke rumah dan berpura-pura menjadi istri yang patuh seperti sebelumnya, sepertinya tidak ada masalah. Mungkin, dengan hal itu bisa menjadi kesempatan untuk mengatur semuanya dengan baik. Intan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada saat ini pastinya.
*
Pagi itu, Intan keluar dari kamar dengan langkah yang gontai. Matanya terlihat sangat lelah sekali, karena memang tidak bisa tidur dengan nyenyak. Berjalan menuju dapur dan langsung duduk di meja makan, ia mengambil kopi dan langsung menyeduhnya lalu menyeruputnya sambil memejamkan mata. Merasakan sensasi pahit dan manis yang menyatu padu dalam satu minuman yang dinamakan kopi itu.
Rina pun keluar dari dalam kamarnya dan ikut bergabung di meja makan dengan Intan. Matanya memicing, menatap wanita itu dengan penuh sangat perhatian. Heran, karena bukankah semalam tidur tapi wajah dan matanya terlihat sangat lelah sekali.
“Ntan, kamu itu kenapa? Kok malah jadi seperti terlihat kelelahan sekali seperti itu?” tanya Rina penuh perhatian.
“Aku semalam suntuk susah tidur dan baru tidur pagi, hanya sejam atau dua jam.”
“Hah? Jadi, kamu tidak tidur semalam?”
“Iya, memang sudah untuk tidur, Rina. Aku memikirkan banyak hal, makanya susah sekali untuk memejamkan mata.”
“Memangnya, apa lagi yang kau pikirkan?”
“Obrolan yang semalam itu, benar-benar sangat mengganggu pikiranku, Rina. Aku harus kembali ke rumah ini dan bertemu dengan Bima setiap hari, bahkan bukan hanya dia saja tapi ada Rika dan Ibu. Duh, itu benar-benar mengganggu pikiranku deh pokoknya.”
Rina mengangguk dan menghela nafas panjang. Paham betul bahwa keputusan yang saat ini diambil itu sangat berat, tapi Intan tidak ada pilihan lain. Harus menyelesaikan semua ini dengan cara bertemu dan tinggal kembali di rumah itu.
“Kamu sudah tahu apa yang akan dikatakan padanya? Atau masih belum juga kepikiran?”
“Aku sampai saat ini masih belum punya rencana detail, Rina. Tapi, mungkin hari ini aku akan membuat janji bertemu dengannya. Aku ingin bicara baik-baik tanpa ada emosi di antara kita berdua nantinya.”
“Iya, lebih baik seperti itu. Keputusan yang kamu ambil sudah sangat baik dan bijak, Intan. Semoga saja, pria bodoh itu bisa mendengarkan semua yang kamu katakan dan menanggapinya dengan kepala dingin.”
Intan tersenyum lelah, merasa sedikit lega karena mendapatkan dukungan dari Rina. Saat ini, hanya wanita itu yang berada di pihaknya dan selalu mendukungnya. Maka dari itu, ia merasa sangat nyaman bersama dengan wanita itu.
“Terima kasih, Rina. Aku akan mencoba semuanya yang terbaik, toh ini juga untuk kebaikan aku, ya kan?”
“Iya, betul sekali. Ya sudah, ayo kita sarapan, setelah itu berangkat kerja. Jangan sampai telat, nanti Pak Mahendra marah.”
*
Hari ini, pekerjaan tidak terlalu banyak, jadi Intan juga tidak terlalu sibuk. Beruntung karena saat ini kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja, ternyata tak banyak juga pekerjaan yang berat.
Mahendra keluar dari ruangannya karena jam makan siang sudah tiba, berjalan mendekati meja Intan.
“Intan, hari ini pekerjaan tidak terlalu berat, bukan?”
“Ah, iya pak.”
“Kalau begitu, temani saya makan siang, ya.”
“Maaf, Pak. Tapi, saya sudah janji sama Rina, mau makan siang bersama.”
“Ya sudah, saya ikut gabung dengan kalian.”
“Tidak bisa, Pak. Saya hanya mau makan siang bersama dengan Rina.”
“Kamu ini kenapa? Masa mau ikut gabung saja tidak boleh?”
“Pak Mahendra yang kenapa, selalu saja mau ikut kemanapun saya pergi! Apa tidak bisa jika sekali saja tidak merecoki, Pak?”
“Hah? Saya merecoki apa memangnya? Bukankah hanya ikut makan siang bersama, kenapa seperti terlalu berat sekali?”
“Pak Mahendra makan siang sendiri saja, tidak usah ikut bergabung!”
“Tapi, kenapa?”
“Iya tidak kenapa-kenapa, Pak. Saya hanya sedang ingin menghabiskan waktu dengan Rina.”
“Bukankah kalian juga setiap harinya bertemu? Masih kurang memangnya waktu kalian?”
“Bapak ini kenapa, sih? Memang ya salah kalau saya mau bersama Rina? Sudahlah, Pak! Jangan terlalu ikut campur dengan hal apapun, masa iya sampai makan siang saja harus di atur. Heran!” gerutu Intan merasa sangat kesal sekali dengan pria itu.
“Intan, kamu ini kenapa sih?”
“Bapak yang kenapa? Kok terus saja seakan-akan mengatur segala macam yang terjadi dalam hidupku.”
“Saya tidak–”
“Intan, sudah belum? Ayo makan siang!”
Rina sejak tadi sudah melihat perdebatan mereka, tak ingin ada masalah nantinya, akhirnya segera mendekati mereka dan mengajak Intan untuk pergi.
“Saya ikut!”
“Tidak usah!” jawab kedua wanita itu serempak.
Mereka berjalan menuju kantin beriringan, mencari tempat yang paling aman dan nyaman pastinya untuk duduk juga menikmati makan siang bersama.
“Kesal sekali deh, selalu saja mau ikut! Heran,” gerutu Intan setelah mereka dapat tempat duduk.
“Ntan, kayaknya ini bakal semakin rumit kalau kamu tidak tegas.”
“Maksudnya?”
“Kurasa, kamu tidak bisa hanya tegas pada Bima tapi juga pada Pak Mahendra,” bisik Rina.
Intan memicingkan matanya, menatap lekat sahabatnya itu. Merasa bingung dengan apa yang dikatakan olehnya, tidak tahu apa yang dimaksud.
“Kamu tidak paham?” Intan menggeleng lemah.
“Ya ampun, begini maksudnya. Kamu mau sampai kapan diganggu seperti ini? Ya sebenarnya bukan diganggu, tapi terus dikejar-kejar seperti ini?”
“Ntan, gosip sudah mulai semakin menyebar. Kamu dan Bima masih belum menyelesaikan semuanya, status kalian masih suami istri. Kalau untuk membalas dendam dan membuat pria itu cemburu, aku setuju jika sedikit memanfaatkan Pak Mahendra. Tapi, sepertinya bos kita itu benar-benar jatuh hati banget sama kamu. Dan, kamu itu bisa diam saja, Intan.”
“Ya aku harus bagaimana?” tanya Intan juga bingung, sungguh ia tidak tahu harus bersikap seperti apa dan bagaimana pada Mahendra, karena pria itu begitu sangat menyebalkan sekali.
“Aku juga bingung, Intan.”
“Hah … kamu itu bagaimana sih? Tidak bisa memberikan saran, huft.”
“Ya sudah, kita makan saja dulu, deh. Biasanya karena lapar, jadi tidak bisa berpikir.”
Intan mengangguk setuju, cacing di dalam perutnya juga sudah mulai keroncong. Mereka memesan makanan dan langsung melahapnya hingga merasa kenyang. Ngobrol sebentar, membahas hal-hal yang tidak penting, sampai Rina mengingat satu hal.
“Kamu sudah menghubungi Bima?”
Intan menggeleng lemah. “Belum, Rina. Rencananya sekarang.”
“Ya sudah, telepon sekarang dan bicarakan semuanya.”
Intan mengangguk dan mengumpulkan banyak keberanian untuk menghubungi pria itu. Mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celana dan langsung menghubungi Bima. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya dijawab oleh pria itu.
“Halo Intan!” pekik Bima bahagia. “Akhirnya, kamu mau menghubungiku juga, setelah selama beberapa waktu ini pesan dan teleponku tak pernah dijawab olehmu. Ada apa, Sayang?”
“Bima, kurasa sepertinya kita berdua ini perlu bicara empat mata. Banyak sekali yang harus dibicarakan.”
“Iya, Sayang. Kita memang harus bicara dari hati ke hati, aku bahagia sekali karena kamu mau bicara padamu.”
“Jadi, bisakah kita bertemu hari ini?”
“Bisa! Sangat bisa! Kapanpun kamu mau, aku bisa meluangkan waktu untukmu,” jawab Bima cepat, Intan yang mendengar hal itu hanya memutar bola matanya malas.
“Aku ingin bertemu malam ini, membicarakan semua dan menyelesaikan semuanya dengan baik-baik.”
“Malam ya,” gumam Bima terdiam sejenak, ia berpikir terlebih dahulu sebelum menjawabnya.
Bima memikirkan alasan apa yang paling masuk akal nantinya diberikan pada Rika, untuk bisa bertemu dengan Intan. Di seberang sana, istrinya masih menunggu keputusan.
“Bagaimana? Tidak bisa? Katanya, akan meluangkan waktu kapanpun aku inginkan? Hanya bertemu saja tidak bisa? Ya sudah–”
“Sayang, tunggu dulu. Aku bisa kok, malam ini kita bertemu ya. Aku jemput, bagaimana?”
“Tidak usah. Bertemu saja di tempat, aku tidak perlu dijemput olehmu.”
“Baiklah. Kita bertemu di tempat biasa, jam tujuh malam ya, bagaimana?”
“Baik. Aku akan datang nanti malam, terima kasih.”
Intan menutup teleponnya, menghela nafas lalu memandang Rina yang sudah tersenyum tulus padamu. Hatinya merasa sangat gelisah, tapi ia memang harus melakukan semua ini. Ada ketegangan di wajahnya, namun berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi semuanya.
“Kamu hebat, Intan. Tetap tenang saat bertemu dengannya, ya.”
Intan mengangguk dan tersenyum lemah, “Iya. Aku harus menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin dan tenang.”
Di tempat yang berbeda, Bima merasa sangat senang dan bahagia sekali karena akhirnya, istrinya itu mau menghubungi bahkan mengajaknya bertemu. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyakinkan Intan untuk kembali bersama dengannya.
“Hah … akhirnya, kamu mau bertemu denganku, Sayang,” gumam Bima. “Aku benar-benar sangat merindukanmu, Intan. Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi sampai kapanpun.”
“Aku menyesal karena sudah menyakitimu sampai seperti ini, rasanya tak sanggup melihat tangismu yang luar biasa malam itu. Maafkan aku … aku seperti ini karena ingin membahagiakan Ibu.”
“Kamu tidak bisa memiliki seorang anak dan Rika bisa. Tapi, tidak apa-apa, Sayang. Aku akan tetap menerima apapun kekurangan karena semua sudah dipenuhi oleh Rika. Aku akan membuatmu kembali kedalam pelukanku.”