Bima kembali pulang ke rumah, melangkahkan kakinya dengan berat menuju ke rumahnya, ia tak berhasil sama sekali untuk membujuk Intan kembali ke rumah malam ini. Kegelapan malam, membalut langkah kakinya yang terasa sangat lamban dan berat. Di kepalanya, berbagai macam pikiran berkecamuk tentang bagaimana caranya ia akan menghadapi Rika.
Syarat yang diajukan oleh Intan sungguh bukan syarat yang biasa tapi dapat membuat salah paham, jika tidak pandai untuk menatanya. Intan yang sudah hampir dua Minggu ini pergi dari rumah, karena merasa marah dan kecewa atas penghianatan yang diberikan oleh Bima, masih memiliki posisi yang paling sangat penting dalam hidupnya.
Walaupun hanya dua Minggu pergi, tapi tetap saja Bima menginginkan istrinya itu kembali. Bahkan, saat Intan mengajukan diri untuk meminta cerai, pria itu menolaknya mentah-mentah. Tak pernah terpikirkan bahkan tak ingin berpisah dengan wanita itu. Terlebih lagi, saat ini mereka akan memiliki anak dari Rika, rasanya sudah tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan karena akan ada warna baru di dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Bima memijit pelipisnya saat mengingat perkataan wanita itu, ingin kembali setelah mendapatkan persetujuan dari Rika atas syarat yang diajukan olehnya. Ya, pria itu paham betul, kalau istri pertamanya merasa khawatir, kembali ke rumah justru akan menimbulkan keributan dan perselisihan dengan Rika. Maka dari itu, mengajukan persyaratan yang sedikit tidak masuk akal tapi membuatnya senang, karena setiap malam akan bisa menghabiskan banyak waktu dengan Intan, seketika ujung bibirnya tertarik dan tersenyum lebar.
Sesampainya di rumah, Bima membuka pintu dengan sangat pelan sekali. Suasana rumah begitu sangat gelap dan sepi, membuatnya merasa semakin bersalah dengan keadaan ini. Biasanya, selarut apapun pulang, Intan pasti akan menunggunya tapi setelah menikah kembali dengan Rika, maka semuanya terasa sangat berubah sekali. Wanita itu tak pernah menyambutnya saat pulang ke rumah.
Bima berpikir, semua orang sudah terlelap tapi ternyata ia salah menduga. Di ruang tamu, sejak tadi ada seseorang yang sedang menunggunya dengan penuh kegelisahan dan kesal. Rika sudah menunggu kedatangannya dengan penuh kekhawatiran, terlihat juga dari wajah yang menahan amarah.
“Kemana saja kamu, Bima? Hah? Kamu tahu sudah jam berapa sekarang? Kenapa sama sekali tidak memberikan kabar padaku? Aku menunggumu dengan penuh kekhawatiran!” omel Rika dengan nada tinggi membuat Bima terkejut dan langsung mundur seketika.
Bima yang sudah mengetahui bahwa istrinya yang marah-marah, langsung menghela nafas panjang. Bingung harus menjawab apa, jika tidak dijawab maka wanita itu akan terus-menerus bertanya tapi jika dijawab, maka sudah dapat dipastikan akan semakin marah-marah tidak jelas.
“Maafkan aku, Rika. Aku … aku tadi habis bertemu dengan Intan.”
Kalimat tersebut membuat Rika semakin merasa marah. Masa kehamilan memang membuatnya semakin sensitif, apalagi jika mendengar nama wanita yang sangat dibenci olehnya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya dan menatap Bima dengan tajam.
“Apa yang kau katakan, Bima? Intan? Kau baru saja bertemu dengan Intan? Iya?” Bima terpaksa mengangguk.
“Intan lagi? Kenapa harus Intan, Intan dan Intan? Kenapa? Hah? Kenapa? Apa aku saja sendiri di sini, itu tidak lebih dari cukup untukmu? Iya?”
“Sejak kepergiannya dua Minggu yang lalu, kamu terus saja berusaha untuk membujuknya kembali. Kenapa? Ada apa? Kau mulai menyesal karena berpisah dengannya? Atau menyesal karena sudah menikah denganku?”
“Di sini, sudah ada aku, Bima. Kenapa sih kamu masih saja memikirkan dan menginginkan dia? Hah? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak lagi bertemu dengannya? Apa aku dan anak yang masih di dalam perutku ini, tidak cukup untukmu?”
Bima menggelengkan kepalanya lemah. “Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu. Kalian bertemu memiliki tempat yang sama seperti Intan di hatiku. Maaf, jika aku ingkar janji, tapi … tapi aku belum bisa melupakannya begitu saja, Rika.”
“Enam tahun … bukan waktu yang sebentar! Aku dan Intan melewati banyak hal bersama, baik suka maupun duka, susah dan senang selalu bersama. Aku hanya ingin dia kembali ke rumah ini, tinggal kembali bersama dengan kita dan juga anak kita.”
“Aku ingin, kita bertiga hidup dengan penuh kedamaian dan juga ketenangan, itu saja. Aku masih mencintainya dan aku juga mencintaimu.”
“Tidak bisa, Bima. Kenapa kamu begitu sangat egois sekali ingin memiliki keduanya? Kamu tidak bisa memiliki keduanya dan harus memilih salah satu diantara kita berdua.”
“Tidak, Rika. Aku tidak bisa memilih salah satu diantara kalian berdua dan tidak akan pernah melakukan hal itu. Kalian berdua, sama-sama wanita yang aku cintai. Kalian berdua sama-sama memiliki tempat di dalam hatiku. Jadi, aku tidak akan pernah melepaskan salah satu diantara kalian berdua.”
“Intan mengajukan syarat dan aku sudah menyetujui hal itu. Namun, tetap saja belum bisa membawanya kembali, jika tidak ada persetujuan darimu. Maka, aku minta persetujuan darimu untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Intan. Tapi, tetap saja dengan persetujuan atau tidak darimu, aku akan membawanya kembali ke sini.”
“Bima, kamu ini apa-apaan sih? Kok kamu jadi seakan tidak bisa menghargai aku seperti ini? Segala sesuatunya harus dibicarakan bukan? Lagi pula, syarat apa yang diajukan oleh w************n itu?”
“Hei, jangan bicara omong kosong! Lancang sekali kau mengatakan bahwa Intan adalah w************n! Intan itu istriku dan kakak madumu! Bukan w************n!”
“Kamu itu kalau mau bicara pikirkan dulu apa ucapan itu untuk orang lain atau diri sendiri, Rika!”
“Maksudnya apa, Bima? Kau ingin mengatakan bahwa aku ini w************n? Iya?”
“Loh, aku tidak bicara seperti itu! Kamu yang mengatakan barusan, bukan? Berarti, kamu yang merasa, bukan aku.”
“Bima …,” jeda Rika merasa speechless dengan apa yang dikatakan oleh Bima, memang pria itu tak mengatakannya secara langsung, tapi tetap saja kata-katanya itu benar-benar menusuk hingga ke relung hatinya yang terdalam. Tidak menyangka, jika suaminya bisa mengatakan hal tersebut.
“Kamu … kenapa jahat sekali padaku?” tanya Rika lemah, ia tak sanggup lagi bicara dengan nada tinggi, karena hatinya terluka.
“Aku tidak jahat. Aku hanya secara tidak langsung menegaskan posisimu juga seperti apa, Rika. Sudahlah! Jangan ajak aku terus berdebat seperti ini!”
“Ingat, setuju tidak setuju, maka aku akan tetap membawa Intan kembali ke rumah ini. Aku tidak peduli akan hal apapun tapi kamu harus bisa menjaga sikap!”
Bima baru akan melangkah pergi kembali ke kamar, tapi Rika dengan cepat mencegahnya. Wanita itu merasa sangat penasaran, syarat apa yang diajukan oleh kakak madunya sampai membuat suami mereka langsung setuju tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.
“Tunggu, Bima–”
“Apa lagi? Aku lelah, mau istirahat.”
“Syarat apa yang diajukan oleh Intan padamu sampai lauk langsung setuju begitu saja tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu?”
“Bukan syarat yang susah, Rika. Intan hanya meminta setiap malamnya aku tidur bersama dengannya di kamar kami, bukan denganmu,” jawabnya santai tanpa beban.
Rika melotot sempurna mendengar hal itu. Tidak terima dengan syarat yang sungguh baginya itu tidak masuk diakal, jika syaratnya adalah membagi waktu, mungkin masih bisa diterima olehnya tapi jika menginginkan Bima kembali sepenuhnya setiap malam, ia merasa tidak terima.
“Syarat macam apaan itu! Sungguh sangat tidak masuk akal sekali, Bima! Dan kamu langsung menyetujuinya?”
“Iya, memang apa salahnya? Intan juga kan istriku, wajar dong kalau aku bersama dengannya setiap malam?”
“Tapi aku juga istrimu, Bima! Aku juga membutuhkan waktumu setiap malam! Dan, wanita itu ingin aku menerima persetujuan ini? Tidak! Aku tidak setuju!”
Bima meradang mendengarnya, ia tidak terima dengan ketidaksetujuan yang diajukan oleh Rika. Baginya, wanita itu sungguh sangat berlebihan sekali, padahal tinggal menyetujui semuanya maka keadaan rumah tangga mereka akan terasa sangat tenang dan tentram.
“Kamu ini kenapa sih, Rika? Hanya perlu untuk setuju, tapi kenapa begitu sangat sulit sekali?”
“Ya tapi aku tidak setuju, Bima. Persyaratannya sungguh tidak masuk akal! Aku tidak mau!”
“Ya terserah! Aku tidak peduli! Dengan persetujuan atau tidak darimu juga aku akan tetap membawanya kembali ke sini.”
“Bima, kamu tidak bisa seperti ini. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menerima keadaan ini. Tapi, kenapa sekarang harus aku lagi yang selalu mengalah? Kenapa tidak Intan yang mengalah dan merelakanmu untukku? Lagi pula, aku sedang hamil anak kita.”
“Rika, aku tahu ini mungkin memang sangat tidak mudah bagimu. Tapi, bisakah kamu memberikan sedikit saja ruang untukmu dan Intan? Semuanya aku lakukan ini demi hatiku, Rika. Tolong … kamu pahami akan hal itu.”
“Dan lagi, ini juga untuk kebaikan kita semua. Intan pun bisa mengajarkanmu banyak hal menjadi istri yang baik seperti apa dan bagaimana. Kamu juga bisa mengajarkan banyak hal menjadi ibu yang baik seperti apa dan bagaimana. Sungguh, terdengar sangat sederhana tapi penuh kehangatan bukan? Hanya itu saja yang aku inginkan, kita bertiga hidup dengan tenang dan damai.”
“Gila kamu, Bima! Kamu sudah gila!” teriak Rika di depan wajah Bima. “Kebaikan untuk kita semua? Itu bukan kebaikan untuk kita semua, tapi hanya untukmu, Bima!”
“Kau tidak memikirkan perasaanku? Hah? Bagaimana dengan perasaanku? Bagaimana dengan lukaku nantinya setiap kali melihat kalian bermesraan bahkan sepanjang malam? Kamu pikir, ini semua mudah bagiku? Iya? Tidak, Bima! Tidak!”
“Sungguh, ini sangat tidak mudah bahkan terlalu sulit untuk aku jalani,” tambah Rika menegaskan apa yang dirasakan olehnya.
“Aku mengerti dan paham betul, Rika. Kalau semua ini memang sangat tidak mudah, untukku, untukmu dan Intan. Tapi, bisakah kita membicarakan semua ini dengan kepala yang dingin? Bijak mengambil keputusan dan tenang? Kita cari jalan tengahnya agar semua bisa merasa lebih baik.”
“Aku hanya ingin kita bisa menjadi keluarga yang akur. Toh nantinya, anak kita juga bisa dibantu oleh Intan, dalam hal mengurus anak, ya kan?”
“Jadi, tolong kesampingkan lebih dulu rasa egoismu itu, Sayang. Kita bisa kok hidup damai, bersama-sama.”
Rika menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, dadanya terasa sangat sesak sekali. Berusaha untuk tenang walaupun hatinya merasa sangat panas sekali.
“Baiklah, aku akan mendengarkannya. Tapi, jangan harap aku akan langsung setuju begitu saja dengan apa yang kau katakan, Bima.”
“Iya, Sayang. Aku tahu ini sangat berat sekali untuk kita semua. Ayo kita bicara di dalam kamar,” ajak Bima agar istri keduanya itu merasa lebih tenang dan tidak lagi marah-marah seperti sebelumnya.