Intan baru saja mendaratkan bokongnya di atas sofa empuk di rumah Rina. Ya beberapa waktu ini, ia memilih untuk bermalam di rumah sahabatnya itu, karena tidak memiliki lagi tempat berlindung. Sebelumnya, Bima yang selalu menjadi pelindung baginya tapi setelah kehadiran orang ketiga, membuat semuanya kacau balau, bahkan kekacauan tersebut juga didukung serta diawali oleh Badriah yang selalu meracuni pikiran anaknya.
Rumah tangga yang telah dibina olehnya selama beberapa tahun belakangan ini, benar-benar sudah diambang kehancuran dan bahkan terancam berpisah, karena kehadiran sosok wanita lain, Rika. Perasaannya benar-benar sangat campur aduk, antara lelah dan gelisah menjadi satu. Kepalanya terasa berdenyut, merasakan sakit yang sangat luar biasa karena memikirkan masalah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya beberapa waktu belakangan ini.
Terlebih lagi, saat ini Mahendra terus saja berusaha untuk mendekatinya kembali. Hal itu semakin membuat hati Intan merasa ragu dan bimbang, ia bingung harus melangkah ke arah yang mana. Tetap maju ataukah berhenti ditengah jalan, setelah semuanya yang terjadi ini.
Intan paham dan sangat menyadari bahwa hal yang seperti ini, tidak seharusnya terjadi. Bagaimanapun, Bima masih sah suaminya, walau nanti pada akhirnya mereka akan tetap berpisah tapi saat ini statusnya masih sebagai seorang istri sah. Dan, tak seharusnya bermain dengan rasa pada orang lain.
Tapi, jika mengingat semua rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh Bima padanya, terlintas pikiran untuk membalaskan dendam yang sama. Rasa sakit yang diterima oleh hatinya, tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya saat ini. Bahkan, rasa sakit itu begitu sangat besar sekali dirasakan olehnya.
Tak seharusnya menyeret Mahendra dalam masalah ini, tapi ia juga tak bisa membohongi hatinya sendiri. Intan sudah mulai merasakan kenyamanan dan juga keamanan saat bersama dengan pria itu, hanya saja … jalan mereka saat ini masih sangat sulit sekali.
“Ntan.” Rina mendekatinya, merasa penasaran karena melihat sahabatnya itu seperti sedang melamun.
Intan menoleh dan memberikan senyuman lemah pada Rina yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu yang luar biasa.
“Ada apa?”
Intan menghela nafas panjang, “Entahlah. Aku sendiri sedang merasa bingung dengan pikiranku.”
“Memangnya kenapa?”
“Rin, yang aku lakukan saat ini … menurutmu salah satu benar?”
“Hm … tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya juga benar. Kenapa sih memangnya?”
“Aku merasa dan mulai menyadari, bahwa saat ini apa yang aku lakukan itu salah besar, Rina,” jedanya menatap lekat sahabatnya, menunggu ekspresi yang diberikan. Dan memang terlihat jelas, Rina begitu bingung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Intan.
“Aku tahu, Bima memang salah, Rina. Tapi, dengan aku pergi melarikan diri seperti ini, bersembunyi di tempatmu, bukankah itu adalah hal yang salah? Seharusnya, aku tidak seperti ini, Rina.”
“Ditambah lagi, Mahendra terus saja berusaha mendekatiku terus. Aku merasa, jika seperti ini … maka aku tidak ada bedanya dengan Bima. Aku dan suamiku itu sama-sama pengkhianat.”
Rina menghela nafas dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku paham maksudmu dan kemana arah pembicaraanmu ini.”
“Sekarang, aku ingin bertanya satu hal padamu.”
“Apa? Katakan saja.”
“Ntan, sebenarnya aku ini merasa sangat penasaran sekali. Hubunganmu dan Pak Mahendra tuh sebenarnya sekarang sudah sampai mana?”
“Tidak. Maksudku, kalian ini sering pergi bersama, kemanapun itu, ya kan? Nah, perasaanmu dan hubungan kalian itu seperti apa dan bagaimana?”
“Apa hubungan kalian sudah lebih dari urusan pekerjaan atau memang masih benar-benar menyangkut pekerjaan tapi diselingi oleh rasa-rasa yang tidak biasa dan sudah mulai bersemayam di dalam hati?”
Intan mengenal nafas panjang, membuang muka karena tak sanggup lagi menatap sahabatnya. Merasa bingung, karena ia mengelak dan berbohong itu tak akan ada gunanya, sebab Rina akan mengetahui semuanya. Sulit berbohong jika sudah bersama dengan wanita itu. Akhirnya, ia memilih menatap lantai, seolah-olah untuk mencari jawaban dari sana, berharap ada jawaban di saat dirinya menatap lekat lantai yang kosong.
“Aku … aku juga sebenarnya tidak tahu, apa yang sedang dirasakan saat ini, Rina. Aku … bingung ….”
“Mahendra memang sangat baik sekali orangnya, bahkan pria itu akan selalu ada disaat aku membutuhkannya. Ketika aku tidak ada tempat bersandar, maka pria itu akan selalu ada saat aku butuh seseorang. Jadi, sejujurnya aku merasakan kenyamanannya yang diberikan olehnya dan tidak pernah aku dapatkan dari Bima.”
“Tapi … tapi aku sadari kok, Rina. Aku sadar betul, apa yang saat ini dirasakan olehku itu tidak benar. Karena, sampai saat ini aku masih istri Bima.”
Rina mengangguk dan memahami semuanya, betapa rumit dan sulitnya saat ini situasi yang sedang dihadapi oleh Intan. “Itu yang menjadi masalahnya, Ntan.”
“Aku tahu betul, bahkan sangat memahami sekali posisimu saat ini. Aku juga paham, kalau kamu sedang merasa bingung dan juga dilema. Tapi, kamu tidak bisa terus lari dari masalah seperti ini, Ntan.”
“Aku tidak memintamu untuk kembali pada Bima, tapi percayalah, semua ini harus diselesaikan segera sampai ke akarnya. Saat ini, Bima masih sah menjadi suamimu, Ntan.”
“Begini, aku disini tidak mendukung siapapun, tidak mendukung kamu dan tidak juga mendukung Bima. Aku juga tidak akan menyalahkanmu dengan perasaan yang saat ini bersemayam di dalam hatimu, untuk Pak Mahendra.”
“Tapi, bukankah akan lebih baik, jika kamu lebih dulu menyelesaikan seharusnya sampai selesai? Selesaikan terlebih dahulu masalah rumah tangga kalian, lalu kembali melanjutkan hidup yang sempat tertunda karena hal ini.”
Intan mengangkat kepalanya, menatap Rina dengan mata yang berkaca-kaca. Pelupuk matanya sudah siap meloloskan buliran kristal untuk membasahi pipinya. Tapi, ia juga merasa malu jika harus terus menangis di depan wanita itu.
“Aku … bingung. Aku … tidak tahu harus memulai semuanya dari mana, Rina. Semua ini terlalu sulit sekali untuk diselesaikan, seperti benang kusut rasanya.”
“Jujur, kehadiran wanita itu benar-benar sudah menghancurkan semuanya. Duniaku, hidupku, mimpiku dan juga semua yang aku miliki. Semuanya hancur dan aku merasa sudah kehilangan segalanya, Rina.”
Rina menepuk pundak Intan dengan penuh kelembutan, mencoba untuk memberikan kekuatan.
“Aku paham semuanya, tapi kamu harus bisa kuat menjalani semua ini, Intan. Kamu harus mengambil sikap mulai saat ini, tidak bisa terus terombang-ambing seperti ini. Kamu harus menjalani hidup yang tertunda, Intan.”
“Bagaimana caranya?”
“Pulang dan kembali ke rumah itu, Ntan. Aku sama sekali tidak pernah mempermasalahkan kamu tinggal di rumahku. Rumah ini akan selalu terbuka untukmu, percayalah.”
“Tapi, untuk saat ini … kamu memang benar-benar harus menyelesaikan semua masalah, Ntan. Kehadiran Rika, memang sudah membuatmu kehilangan Bima, tapi jangan sampai kehadiran w************n itu, membuatmu kehilangan segalanya.”
“Ya, kehilangan segalanya yang sudah menjadi milikmu sejak awal, Intan.”
Intan terdiam, mencoba untuk memikirkan dan mencerna semua yang dikatakan oleh Rina. Sedikit banyaknya ia paham dan juga menyetujui apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Jika terus saja seperti ini dan tidak langsung mengambil tindakan besar, maka ia bukan hanya kehilangan seorang suami tapi segalanya.
“Ntan, kamu selama ini sudah bekerja sangat keras sekali. Bahkan selalu memberikan yang terbaik dan juga yang diinginkan oleh mereka. Tapi, mereka sama sekali tidak bisa menghargai kamu.”
“Semua yang kamu dapatkan tidak mudah, berada di posisi yang saat ini terbaik pun sangat tidak mudah. Jangan biarkan kamu kehilangan semuanya, Intan. Jangan bodoh! Kamu harus sudah memikirkan segalanya, harus ada langkah besar yang kamu ambil.”
“Jika hanya kehilangan suami, mungkin hal itu tidak terlalu menjadi masalah besar, karena masih bisa mencari suami lagi yang terbaik nantinya. Tapi, jika sampai kamu kehilangan semua harta yang didapatkan dari kerja kerasmu selama ini, itu sangat merugikan dirimu sendiri.”
Intan mengangguk pelan, berat memang rasanya tapi kenyataannya seperti ini yang harus dihadapi olehnya. Tak bisa lengah karena tahu betul kalau mertua dan madunya itu culas, sedangkan suaminya bodoh karena bisa diracuni pikirannya oleh mereka semua.
“Ntan, kamu memiliki banyak hal. Jangan sampai kamu justru seakan membiarkan Bima dan airka menikmati semua yang sudah menjadi milikmu sebelumnya. Apalagi, semua itu adalah hasil dari kerja kerasmu selama ini.”
Intan kembali menarik nafas dalam-dalam, pikirannya melayang-layang dan mulai melalang buana, memikirkan segala hal untuk merebut kembali semua yang dimiliki olehnya. Tidak, ia tidak ada niatan untuk merebut suaminya, hanya ingin merebut semua yang sudah dimiliki olehnya. Jika Bima, ia sudah berusaha untuk merelakannya, walaupun memang sangat tidak mudah, mengingat selama enam tahun ini pria itu yang sudah berada di sampingnya dan membelanya.
Wanita cantik yang masih sangat muda itu berusaha untuk mengumpul seluruh keberaniannya dan memikirkan sikap apa yang akan diambil olehnya setelah ini. Gerakannya harus cepat dan tepat sasaran, karena berusaha dengan orang licik harus dibalas dengan kelicikan juga.
“Iya, Rina. Kamu memang benar. Aku tidak bisa terus lari dari semua masalah ini. Aku harus segera menyelesaikan semuanya dan berhadapan dengan pria b******k itu.”
Rina mengangguk dan tersenyum bahagia, merasa lega karena sahabatnya sudah mulai memikirkan untuk masa depan yang lebih baik lagi. Menemukan jalan keluar yang mungkin memang masih belum sepenuhnya terpikirkan, tapi melihat kesungguhannya untuk bisa keluar dari masalah ini, cukup membuatnya bahagia.
“Semangat! Aku akan selalu ada untukmu dan juga mendukungmu, Intan. Jangan pernah ragu jika kau membutuhkan bantuanku.”
“Rina, terima kasih banyak. Kamu sudah mendukung segalanya untukku. Entahlah, jika tidak ada kamu, akan seperti apa jalan hidupku ini. Mungkin aku akan terluntang-lantung dan tidak ada teman untuk bersandar.”
“Sama-sama, kapan saja kamu butuh, aku pasti ada untukmu.”
Mereka berpelukan dan saling memberikan dukungan. Rina berusaha terus untuk menyakinkan Intan, untuk tetap tenang saat menghadapi masalah yang runyam dan bagaikan benang kusut. Tapi, selalu mendukung apapun yang akan menjadi keputusan wanita itu.
Setelah semua obrolan dari hati ke hati itu selesai, mereka masuk ke dalam kamarnya masing-masing untuk istirahat karena esok hari akan kembali beraktivitas seperti biasanya.
Intan memang sudah merasa hidupnya tak ada lagi semangat ketika semua dunianya sudah berhasil dirampas oleh Rika. Tapi, Rina menyadarkan semuanya, bahwa jalan hidup masih terlalu sangat panjang. Kehilangan seorang suami, bukanlah hal yang perlu diratapi, apalagi kehilangannya karena direbut oleh seorang w************n.
Maka dari itu, Intan harus bisa kembali menjalani hidupnya karena perjalanan masih panjang. Nasibnya masih bisa lebih baik setelah berpisah dari Bima, apalagi wanita itu begitu sangat cantik sekali, hanya karena belum bisa memberikan keturunan, sampai mereka menyakiti hatinya dengan menghadirkan seorang wanita yang diperkenankan sebagai madu dan bisa memberikan keturunan pada keluarga itu.
Sungguh, kejam sekali rasanya dan sekarang bukan saatnya terus diam juga meratapi kehidupan. Tapi harus ada perubahan dengan mengambil sikap dan mungkin sedikit memberikan pelajaran bagi mereka semua itu ada salahnya. Tidak harus memberikan pelajaran yang sama, cukup sedikit tapi akan selalu diingat sepanjang masa.