Kenapa tidak berpisah saja?

1946 Words
Hari-hari sudah semakin berlalu namun Bima masih semakin tidak sabar untuk bisa bertemu dengan Intan. Ia terus saja mencoba untuk menghubungi wanita itu, tetapi tetap saja tidak ada respon darinya. Bukannya mendapatkan ketenangan dan kenyamanan, di rumah justru situasinya semakin terasa menegangkan, apalagi saat ini Badriah sudah kembali ke rumah dan merasakan ada ketegangan antara anak dan juga menantu keduanya itu. “Bima, kenapa kamu selalu saja sibuk dengan ponselmu?” Rika bertanya dengan penuh kecurigaan, karena suaminya itu masih saja sibuk dengan ponselnya. “Aku masih berusaha untuk mencoba menghubungi Intan,” jawab Bima dengan jujur. “Sarapan dulu, kamu akan berangkat ke kantor. Simpan lebih dulu ponselnya,” titah Rika yang tidak ingin ada keributan di pagi hari yang tenang ini. “Sabar dong, Rika. Aku sedang berusaha untuk menghubunginya, kenapa kamu tidak paham sama sekali sih!” “Ini masih pagi dan mungkin saja istri kesayanganmu itu juga sedang bersiap untuk berangkat kerja, Bima.” “Aku tahu, maka dari itu menghubunginya. Siapa tahu aku ini masih bisa mengantarkannya berangkat ke kantor.” Rika memutar bola matanya malas, “Apa kamu sama sekali tidak bisa melepaskannya, Bima? Padahal, sudah jelas-jelas kalau wanita itu tidak ingin kembali padamu.” “Kalau memang Intan tidak ingin kembali padaku, maka tidak akan pernah memberikan syarat, apapun itu, Rika,” jawabnya cepat. “Tapi, istriku itu masih memberikan syarat, dan artinya memang masih mau kembali ke sini.” “Bima … Bima … apa lagi sih yang kamu inginkan darinya? Heum? Wanita mandul seperti Intan itu, apa yang kamu harapkan?” Badriah tiba-tiba datang, ia tidak suka jika nama wanita yang dianggapnya mandul itu masih terus saja terngiang-ngiang di dalam rumah tersebut. Apalagi saat ini sudah ada Rika, menantunya yang paling terbaik dan bisa memberikannya cucu, Badriah merasa itu semua sudah lebih dari cukup, daripada harus terus menuntut Intan kembali. Bima sedikit terkejut karena kata-kata ibunya, mengusap wajahnya kasar dan lupa kalau saat ini di rumah sudah ada ibunya lagi. Merasa tidak memiliki ruang gerak yang bebas, karena Rika sudah pasti akan mendapatkan dukungan dari ibunya itu. “Bu, aku memang harus menyelesaikan semua ini. Aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja, sekarang statusnya masih sebagai istriku.” “Kalau begitu, ceraikan! Tidak sulit, bukan? Kamu yang justru mempersulit semuanya, Bima? Kamu ini maunya apa? Seharusnya bersyukur karena sudah memiliki Rika yang saat ini sedang mengandung anakmu,” tegas Badriah membuat Bima merasa tidak berkutik. “Bu, menceraikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan! Aku sampai saat ini masih mencintainya dan sampai kapanpun juga masih. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja, Bu.” “Dulu, aku mendapatkannya begitu sangat susah sekali. Perjuangannya luar biasa, bagaimana bisa aku melepaskannya begitu saja?” “Lalu, untuk apa juga dipertahankan, Bima? Bukankah wanita itu tidak bisa memberikan apapun padamu? Bahkan, kebahagiaan saja tidak bisa diberikan. Kamu selalu saja membelanya terus-menerus, padahal wanita yang kamu bela sama sekali tidak peduli padamu.” “Intan itu masih peduli denganku, Bu. Bahkan masih sangat mencintaiku–” “Memangnya, kamu tahu bahwa dia masih mencintaimu? Heum? Tidak kan?” “Kalau memang, wanita mandul itu masih mencintaimu dan menghargaimu sebagai suami, maka ia tidak akan pergi begitu saja dari rumah ini, Bima. Seharusnya, ia bisa menerima semua ini, toh keadaannya tidak akan seperti ini kalau memang dia bisa memberikan seorang anak dan cucu di keluarga ini, tapi nyatanya? Tidak bisa, bukan?” “Wanita mandul itu selalu sibuk dengan pekerjaannya dan juga urusan pribadinya. Mana ada waktu untuk mengurusi semua yang ada di sini. Sudahlah, lepaskan saja! Sekarang, sudah ada Rika yang harus kamu pikirkan dan juga anak kalian.” “Kamu itu harusnya bisa lebih memberikan perhatian pada Rika, jangan membuatnya sedih atau menangis karena itu akan membahayakan janinnya. Kamu ini, sudah dikasih istri yang cantik dan bisa hamil, malah masih mau mempertahankan wanita mandul seperti itu.” “Tapi aku harus menyelesaikan semuanya, Bu!” tegas Bima. “Selesaikanlah sampai akar! Ajukan ke pengadilan!” “Bima tidak akan menyelesaikan dengan cara yang seperti itu, Bu,” sambar Rika cepat. “Cara yang diambil olehnya untuk menyelesaikan semua ini adalah terus menghubunginya dan berharap kembali ke rumah ini.” “Apa? Kamu gila, Bima!” bentak Badriah penuh emosi. “Jangan pernah berpikir untuk bisa melakukan semua itu saat Ibu masih hidup, Bima! Ibu adalah orang pertama yang akan menolaknya untuk kembali ke sini!” “Aku tidak peduli akan hal itu, Bu! Setuju atau tidaknya kalian dengan keputusan yang aku ambil ini, aku akan tetap membawa Intan kembali ke sini!” balas Bima tidak kalah tegasnya dari sang ibu. “Kamu jahat, Bima! Sungguh tega sekali padaku dan anak kita!” Rika merasa marah dan ikut frustasi karena sikap Bima yang membuatnya terluka. Ia berjalan menjauhi dapur dan kembali ke kamarnya, meninggalkan suami dan mertuanya dengan pikiran sendiri. Hal itu, membuat Badriah merasa kesal dan marah pada anaknya. “Kamu sungguh sangat keterlaluan sekali, Bima! Jika terjadi sesuatu terhadap cucu ibu, maka ibu tidak akan pernah memaafkanmu dan Intan! Bahkan, ibu akan mengutuk wanita itu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan sampai kapanpun!” * Malam harinya, setelah sibuk dengan segala macam pekerjaan yang menumpuk, akhirnya bisa bersantai juga di rumah. Intan duduk sendirian di dalam kamar tamu, memikirkan untuk langkah berikutnya. Ia berpikir, sepertinya sudah cukup waktu untuk bermain-main di awal ini, karena ia tahu betul kalau suaminya itu semakin terdesak dan frustasi. Tetapi, wanita itu tidak ingin jika rencananya menjadi gagal hanya karena rasa kasihan. Intan mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Bima. Setelah sekian hari, wanita itu baru membalas pesan dari pria itu, membuat suaminya merasa sangat bahagia saat menerima pesan dari istrinya. “Kita bisa bertemu besok hari, di tempat biasa.” Intan mengirimkan pesan tersebut pada Bima, karena kebetulan besok juga hari libur. Jadi, memanfaatkan waktu untuk bicara kembali dengan pria itu. Sepertinya waktunya juga sudah sangat cukup membuatnya stress karena syarat yang diajukan olehnya. Keesokan harinya, Bima tak mengatakan apapun pada keluarganya itu. Ia berangkat diam-diam membuat Rika merasa bingung kemana perginya suaminya itu karena tak seperti biasanya berangkat terburu-buru dan tidak memberitahu kemana perginya. “Bima pergi kemana, Rika?” tanya Badriah yang melihat anaknya pergi terburu-buru seperti itu. “Rika juga tidak tahu, Bu. Bima tidak mengatakan apapun, mungkin ada urusan pekerjaan yang mendadak jadi lupa untuk izin,” jawab Rika berpikir positif. “Sepertinya, tidak. Kenapa Ibu merasa ada yang sedang disembunyikan oleh Bima ya,” katanya. “Tidak ada, Bu. Bima mungkin memang sedang ada urusan mendadak. Sudah tidak apa-apa, kita tunggu saja nanti sampai dia kembali.” “Kamu ini, harusnya bisa lebih waspada pada suamimu itu, Rika! Sikapnya itu sangat mencurigakan sekali! Ibu yakin betul, kalau masih ada usahanya untuk membawa Intan kembali.” “Memang sejak ibu pergi juga mereka ada waktu bertemu, Bu. Tapi, Rika tidak diberitahu akan hal itu, bingung sekali bagaimana caranya menghadapi Bima, Bu.” “Kamu ini jangan terlalu banyak diam! Kalau kamu diam saja, maka Bima akan semakin seenaknya padamu! Ibu tidak mau ya, kamu dan cucu ibu kenapa-kenapa! Seharusnya, kamu bisa mempertegas agar Bima tidak lagi memikirkan wanita mandul itu, Rika.” “Tapi, bagaimana caranya, Bu? Rika tidak tahu harus melakukan apa, terlalu mencintai Bima sampai bingung harus berbuat apa lagi, agar dia mau tetap bertahan denganku lalu melepaskan Intan.” “Jangan sebut nama wanita itu, Ibu muak mendengarnya,” sergah Badriah cepat. “Lihat saja nanti, kalau memang wanita itu berani kembali tinggal di sini, maka Ibu tidak akan tinggal diam! Ibu akan membuatnya hidup semakin menderita dan memilih pergi meninggalkan Bima selamanya,” geram Badriah. Bima sudah lebih dulu sampai di sebuah kafe, tempat biasa ia bertemu dengan Intan. Menunggu beberapa menit saja rasanya seperti menunggu puluhan tahun, rasanya sudah tak sabar menahan rindu untuk bertemu dengan pujaan hatinya. Dan akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun datang. Pria itu langsung memberikan senyuman terbaiknya untuk menyambut kedatangan sang istri tercinta. Intan melangkah dengan sangat tenang dan terlihat anggun, ia terlihat seperti seorang wanita yang tak memiliki beban apapun di pundaknya. Ia karena memang sudah mulai berdamai dengan keadaan, tapi memiliki tujuan yang paling utama dan penting pastinya. “Sayang, terima kasih karena sudah mau datang ke sini untuk menemuiku lagi,” kata Bima dengan suara yang bergetar. Pria itu benar-benar merasakan rindu yang teramat dalam pada sang istri. Intan langsung duduk di depan Bima, tanpa basa-basi sebelumnya dan langsung memberikan tatapan tajam yang mematikan. “Sekarang, apalagi yang ini kau bicarakan, Bima?” “Beberapa hari ini, kau terus saja mengganggu aku. Sudah kukatakan, bahwa aku sedang sangat sibuk dan nantinya pasti akan bertemu, tapi rupanya kamu tak paham dengan apa yang aku jelaskan.” “Sungguh, perbuatanmu itu sangat mengganggu sekali. Banyak pekerjaan yang hampir terbengkalai karena ulahmu, Bima.” “Maafkan, aku. Aku … tidak bermaksud mengganggu atau membuat semua pekerjaanmu terbengkalai, aku hanya ingin bertemu denganmu. Membicarakan tentang syarat yang kau ajukan sebelumnya, sudah itu saja. Tidak lebih dari itu.” “Dan aku sudah bahas sebelumnya, bukan? Aku akan benar-benar kembali kalau memang Rika sudah mau menerima syarat yang aku berikan. Dan mengenai Ibu, apa kau sudah siap membelaku setiap kali Ibu membuat masalah?” “Aku siap membelamu di depan Rika dan Ibu, apapun itu akan aku lakukan agar kau mau kembali padaku, Intan.” Hening. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing, Bima menatap Intan dengan penuh penyesalan, ia memang sudah benar-benar merasa menyesal karena membuat wanita itu pergi dari hidupnya. “Sayang … aku … aku minta maaf, padamu. Aku tahu, kalau selama ini sudah banyak sekali membuat kesalahan yang sangat fatal. Tapi, aku hanya ingin kita bisa berbicara kembali dan mencari solusi atas masalah kita ini.” “Aku … masih sangat mencintaimu dan tidak mau jika harus berpisah denganmu, Sayang.” Intan tersenyum sinis, “Solusi? Solusi apa yang mau kamu ajukan? Dan apa kau pikir semuanya bisa diselesaikan begitu saja? Kurasa, tidak semudah itu, Bima.” “Lagi pula, sudah cukup jangan bicara lagi tentang cinta. Aku tak percaya jika cinta itu masih ada di dalam hatimu, sampai saat ini.” Bima menundukkan kepalanya, merasa sangat tidak berdaya sekali saat ini. “Aku tahu memang semuanya tidak mudah, tapi aku akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki semua kekacauan yang sudah terjadi. Aku benar-benar masih mencintaimu sampai saat ini dan ingin kamu kembali lagi, Sayang.” “Jika cinta itu masih ada, kamu tidak akan pernah berpikir bahkan bertindak untuk menyakiti hatiku, tapi sekarang? Semuanya sudah terlihat jelas, bukan? Kamu menyakiti hatiku bahkan terlalu dalam rasa sakit itu, sampai aku merasa benar-benar hancur berkeping-keping.” Intan menggelengkan kepalanya lemah, “Kau dengan mudahnya mengatakan ingin aku kembali? Apa kamu pikir, aku bisa kembali begitu saja setelah semua luka yang kau berikan? Setelah semua yang kau lakukan padaku? Apakah aku akan diam saja dengan semua ini? Heum?” “Tapi, bukankah kamu sudah memberikan syarat padaku untuk kembali ke rumah?” “Iya, memang tapi semua itu belum bisa terbukti sampai saat ini, bukan? Jika memang, Rika sudah dengan senang hati menerima syarat yang aku ajukan, maka saat ini kamu pasti datang tidak sendirian. Wanita itu pasti akan ikut serta datang dan juga berusaha meyakinkan aku untuk ikut kembali pulang bersama dengan kalian.” Bima kembali terdiam, rupanya tak semudah itu menyakinkan hati istri pertamanya. Mungkin benar, lukanya sudah terlalu sangat dalam sampai-sampai membuat wanita itu sulit kembali untuk memberikan kepercayaan padanya. Maka dari itu, sudah dapat dipastikan pria itu harus berusaha sangat keras lagi seperti dulu untuk meluluhkan hatinya. Pria itu sudah merasa bingung, tidak tahu harus berkata apa lagi. Intan juga sudah memberikan waktu padanya untuk bisa menyakinkan Rika, namun sepertinya masih belum berhasil. “Kenapa kita tidak berpisah saja?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD