Bima duduk di ruang kerjanya dengan penuh kelelahan, kepalanya tertunduk dan tangannya memijat pelipisnya yang terasa sakit juga pusing. Pikirannya terasa sangat kalut, memikirkan pertemuannya dengan Intan beberapa waktu yang lalu. Wanita itu sudah memberikan syarat dan disanggupi olehnya tapi ketika pria itu ingin memperjelas semuanya, justru merasa sangat dipermainkan oleh istrinya itu.
Bima merasa kalau saat ini, istrinya sedang mempermainkan hatinya dengan cara enggan bertemu setiap kali diajak untuk bertemu dan membicarakan mengenai syarat yang diajukan juga sudah disetujui. Ia merasa seakan psikologisnya sedang dipermainkan dalam permainan yang lembut dan penuh ketenangan, menarik ulur keadaan membuatnya dirinya semakin merasa sangat frustasi.
Wanita itu memang pandai sekali untuk mempermainkan psikologis seseorang, Intan sudah mulai memakai cara yang sering digunakan oleh ibu mertuanya. Tapi, Bima tidak menyadari bahwa perubahan istrinya itu ada andil dari ibunya sendiri. Dan berujung membuatnya merasa sangat frustasi dibuatnya itu.
Di rumah yang sebelumnya terasa sangat tenang kini mulai berubah menjadi selalu menegangkan dan panas. Hubungan Bima dan Rika semula sangat baik bahkan romantis, perlahan mulai lebih sering bertengkar karena keegoisan keduanya. Mereka lebih sering bertengkar dikarenakan pria itu yang masih merasa sangat ingin Intan kembali, sementara istri keduanya selalu berusaha memberikan yang terbaik dan menolak kehadiran kakak madunya. Setiap malam, selalu saja pertengkaran mereka semakin terasa menjadi-jadi.
Tidak pernah ada lagi kedamaian dan keharmonisan seperti sebelum-sebelumnya, biasanya mereka setiap malam akan selalu memadu kasih dan tertawa bersama dikala senggang, kali ini hanya ada keributan dan pertengkaran saja. Dan pemicu utamanya adalah Intan yang diharuskan kembali ke rumah, sedangkan wanita itu sendiri sedang asik menikmati hidupnya dan juga yakin kalau memang banyak sekali keributan yang tercipta di dalam rumah Bima.
Seperti saat ini, Bima kembali masuk ke dalam kamar, Rika berpikir bahwa suaminya itu sudah mulai perlahan bisa melepaskan Intan, tapi ternyata salah. Pria itu masih saja terus memikirkan bahkan menjadikan kakak madunya itu sebagian lamunan yang harus dilakukan setiap waktunya.
Rika merasa marah dan sudah tidak dihargai lagi keberadaannya, padahal saat ini wanita itu sedang mengandung, tapi Bima seakan tidak peduli dengan darah dagingnya sendiri. Pria itu lebih memilih untuk memikirkan bagaimana caranya membuat Intan kembali ke dalam pelukannya seperti sebelumnya.
Beberapa kali, Bima sering melihat Intan pergi berdua bersama dengan Mahendra, setiap kali ingin memergoki dan memarahinya, selalu saja tidak ada celah. Karena, ternyata kepergian mereka itu memang urusan dengan klien. Tapi, pria itu tak menyukai, jika istri pertamanya lebih dekat dengan bosnya dibandingkan dengan dirinya.
“Bima, kenapa kamu terus memikirkan dia? Kenapa aku tidak pernah sedikitpun memikirkan aku!” Rika menjerit menahan amarah pada malam ketika Bima kembali larut dalam pikirannya dan juga lamunannya tentang Intan.
Bima cukup terkejut dengan jeritan yang baru saja terdengar lantang dari bibir Rika. Ia menghela nafas panjang, menahan amarahnya agar tidak lepas kendali. Bagaimanapun juga, wanita itu masih sah sebagai istri keduanya, walaupun mereka menikah siri tapi tetap saja, harus diperlakukan dengan baik.
“Rika, tolong jangan membuat masalah! Aku sedang tidak ingin bertengkar malam ini,” jawabnya datar.
“Oh … sedang tidak ingin bertengkar? Lalu, apa yang kau inginkan? Melamun sepanjang malam? Memikirkan istri pertama yang mandul? Iya!” sergah Rika.
“Rika, tutup mulutmu! Aku tidak mengizinkanmu untuk menghina atau mencemoohnya! Jangan lancang! Aku tidak akan segan-segan menghajarmu, kalau berani bicara kasar seperti itu!”
“Apa yang salah? Memang benar begitu adanya, bukan? Kamu selalu saja memikirkan dia, tanpa pernah bisa memikirkan aku dan anak kita!”
“Bima, aku saat ini sedang mengandung anakmu, anak kita! Kenapa kamu tidak bisa mengerti sedikit saja, sih? Kenapa kamu terus saja memikirkan wanita itu, tanpa pernah melihat adanya aku di sini? Kenapa?”
Rika berusaha untuk menahan dirinya agar tidak menangis, walau rasa sesak di dalam dadanya sudah mulai menyebar ke seluruh relung hatinya yang paling dalam. Tapi, ia tak ingin menangis karena memikirkan janin yang ada di dalam perutnya itu. Tak ingin terjadi sesuatu pada anaknya, hanya karena amarah pada seseorang.
“Rika, saat ini bukan tentang aku memikirkan Intan. Tapi, ini tentang memperbaiki sebuah kesalahan yang sudah aku buat, aku memang harus bicara dengannya dan segera membawanya kembali pulang ke sini!”
“Kamu juga sudah menyetujui hal itu, bukan?”
“Aku memang menyetujuinya, tapi bukan dari lubuk hatiku yang paling terdalam. Aku melakukan semua itu, hanya karena kamu, Bima.”
“Sama saja, kamu ingin aku bahagia, bukan? Dan, kebahagiaan aku pun ada padanya. Maka dari itu, bersikaplah bahwa kamu benar-benar bisa menerimanya, jangan terus seperti ini. Aku semakin susah untuk memintanya kembali, kalau kau tetap bersikap seperti ini, Rika.”
“Bahkan, jika disuruh memilih … aku memilih untuk dia tidak kembali ke sini, Bima.”
“Lagi pula, apa lagi kesalahan yang ingin kau perbaiki? Kesalahan karena sudah menikahi aku? Iya? Bukankah pernikahan ini juga kau yang menginginkan? Kau yang memintaku untuk menjadi istri keduamu dan juga menjadi ibu dari anak-anakmu, lalu ini balasan yang kau berikan padaku?”
“Aku sudah meninggalkan semuanya demi kamu, Bima. Tapi, kamu sama sekali tidak bisa melihat keberadaanku di sini.”
Bima mengusap kasar wajahnya, merasa semakin frustasi karena istri keduanya itu. Ia hanya meminta sebuah dukungan dari Rika, tapi wanita itu justru seakan menentang semuanya. Tak ingin jika kakak madunya kembali, karena hanya ingin menjadi satu-satunya wanita yang menduduki hati suaminya sampai kapanpun.
Rika menatap suaminya sendu, sungguh tak pernah terpikirkan olehnya, bahwa akan berada di posisi yang sulit seperti ini. Ia masih ingat betul, pertemuannya tempo hari lalu bersama dengan Intan. Wanita yang saat ini masih menjadi madunya itu dengan tegas dan lantang bahwa tidak akan kembali pada Bima. Tapi, kenapa sekarang justru menjadi sebaliknya? Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Apa mungkin suaminya itu memohon dan memintanya kembali sehingga memberikan syarat yang sungguh sangat tidak masuk akal?
Jika memang ingin kembali, Rika akan berusaha untuk menerimanya tapi kenapa harus memberikan syarat yang tidak masuk akal? Ia tak masalah jika harus berbagi waktu, namun kenapa kakak madunya itu bersikap seakan-akan ingin menguasai suami mereka dan tidak sedikitpun memberikan celah padanya untuk bisa di bahagiakan oleh Bima.
“Rika, tolong pahami posisiku saat ini. Sungguh, aku hanya ingin menebus kesalahanku saja–”
Rika berdiri dengan tatapan tajam dan tangan berkacak pinggang. “Kesalahan? Kesalahan apa? Kamu terus saja membahas sebuah kesalahan? Tapi, bahkan kamu sendiri tidak tahu apa yang kamu inginkan!”
“Kamu lupa? Bahwa, kamu sendiri yang mengusirnya pergi dari dalam hidup kita dan sekarang? Kau ingin membawanya kembali masuk ke dalam hidup kita berdua? Iya? Kamu gila!”
Bima menatap tajam istri keduanya, tidak suka karena sikapnya sudah semakin menjadi-jadi. “Dengarkan aku, ini bukan hanya tentang aku saja! Tapi, Intan juga pantas mendapatkan sebuah kejelasan atas tindakan yang aku ambil ini. Aku tidak bisa terus hidup dalam kekacauan yang seperti ini, Rika.”
“Semua kekacauan ini, sudah jelas kamu yang membuatnya, Bima. Dan sekarang, kamu ingin menyelesaikan semuanya dengan caramu sendiri tanpa membicarakannya terlebih dulu padaku dan tidak memikirkan perasaanku?”
“Apa kamu ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan orang berbeda, Bima?”
Bima semakin merasakan hatinya sangat berat sekali saat ini. Setiap kali bertengkar dan beradu argumen dengan Rika hanya akan membuatnya semakin merasa frustasi dan juga bersalah akan semua hal yang sudah terjadi saat ini. Di sisi lain, Intan sedang sangat menikmati permainan yang dibuat olehnya, kedua manusia pengkhianat itu sedang terjebak dalam konflik yang mereka buat.
Intan tersenyum sinis saat melihat semuanya dengan sangat jelas. Sebelum keluar dari rumah itu, diam-diam ia sudah memasang cctv tersembunyi untuk memantau semuanya. Tanpa sengaja, cctv itu berfungsi juga saat ia sudah memulai permainan sederhana ini. Namun sayang, ia belum melihat pemandangan dimana Ibu mertuanya ikut campur dalam setiap malam, entah dimana wanita tua itu saat ini, kemungkinan sedang pergi dalam beberapa waktu.
Intan saat ini sedang bersantai di ruangan keluarga di rumah Rina, memandangi ponselnya dengan senyum merekah. Sebelumnya, ia telah menerima banyak sekali pesan dari Bima, tetapi dengan sengaja tidak membalasnya karena memang ingin mempermainkan pria itu. Paham betul bagaimana perangainya, semakin ditarik ulur oleh waktu, maka hal itu akan semakin membuat suaminya frustasi.
“Hei, apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau terus saja tersenyum bahagia begitu?” tanya Rika saat mereka akan sedang makan malam bersama.
Intan tersenyum tipis, menatap lekat Rina. “Aku hanya sedang berpikir, tentang bagaimana semuanya akan segera berakhir.”
“Aku ingin membuat mereka merasakan apa yang sudah aku rasakan selama ini, Rina.”
Rina menatap sahabatnya itu penuh dengan kecurigaan. “Apa yang sudah kamu lakukan?”
“Aku belum melakukan apapun. Aku hanya masih mengulur waktu untuk kembali ke rumah itu dan ternyata baru dikasih petasan kecil saja, sudah mampu membuat keributan cukup besar di sana.”
“Seperti apa yang aku duga, Rika tidak akan semudah itu memberikan izin untukku masuk kembali ke sana. Sepertinya, sampai saat ini dia masih belum tahu siapa pemilik rumah itu sebenarnya, makanya masih ngotot agar aku tidak kembali.”
“Sedangkan suamiku, oh calon mantan suamiku itu … semakin frustasi karena aku terus menarik ulur hatinya, semakin bersalah karena kesalahan yang dibuat olehnya. Dan … bom … mereka bertengkar hebat,” kekeh Intan dengan senyum sinis dan tatapan tajam, sungguh terlihat sangat mengetik sekali saat sisi lainnya terlihat jelas.
“Aku tenang saja, aku tidak akan membalas dendam dengan cara yang keji tapi cukup mengesankan untuk mereka semua.”
Rina mengangguk paham, “Selalu hati-hati, ya. Jangan membiarkan hatimu kembali terluka.”