Tiga

1915 Words
Dastan: ~~~~~ Tepat pukul delapan malam gue sudah tiba di Jember. Syukurnya rumah sakit tempat Kiara dirawat nggak begitu jauh dari stasiun, jadi gue bisa naik ojek yang ada di sekitaran stasiun untuk bisa cepat sampai tujuan. Touch down rumah sakit. And damn! Ponsel gue mati dan tadi saking keburunya nggak sempat bawa charger ataupun powerbank. Akhirnya gue masih harus tanya bagian administrasi untuk mencari di mana kamar Kiara dirawat. Saat sedang menunggu petugas rumah sakit mencari kamar atas nama Kiara, gue melihat sahabat Kiara. Itu Nadine, baru keluar dari lift dan masih mengenakan jas dokternya. Dia berjalan cukup tergesa. "Nadine! Nadine!" Gue terpaksa berteriak memanggil nama Nadine beberapa kali, karena memang jarak kami agak jauh kalau memanggilnya hanya bisik-bisik tetangga. Nadine berbalik arah mencari sumber suara yang menyerukan namanya. Dia langsung bisa menemukan dan melangkah tergesa ke arah gue. "Kiara, Nad!" ujar gue penuh kekhawatiran. "Baguslah kamu sudah di sini. Ayo, ikut aku. Kamu harus menemui dokter kandungan yang merawat Kiara selama ini." Nadine bukannya mengajak gue ke kamar Kiara, malah mengajak gue ke ruangan dokter. "Tapi aku mau ketemu Kiara dulu," jawab gue, menahan Nadine yang sudah melangkah lebih dulu. "Kiara lagi tidur, ada Bude Mayang yang jagain. Kamu mending ketemu sama dokternya dulu, ya?" Dengan berat hati gue menuruti ajakan Nadine. Setelah berjalan beberapa menit gue dan Nadine masuk ke ruangan dokter yang merupakan dokter kandungan Kiara. Seorang dokter perempuan, berusia kira-kira empat puluhan. Gue ketemu dokter ini baru dua kali, pertama waktu tahu Kiara hamil. Kedua sekitar dua bulan lalu saat jadwal periksa rutin dan kebetulan gue lagi cuti. Jadi bisa menemani kontrol ke dokter kandungan. "Selamat malam Pak Dastan. Mari silakan duduk," ujar dokter tersebut ramah. "Ya, Dok. Terima kasih." Nadine meninggalkan ruangan dokter, setelah gue duduk di kursi yang telah disediakan di depan meja konsultasi. "Begini, Ibu Kiara mengalami pendarahan hebat tadi siang, dan ternyata bayi di dalam kandungannya sudah tidak bergerak lagi saat ibu sampai di rumah sakit." Tiba-tiba hening... Bahkan yang bisa gue dengar hanya suara detak jam dinding memenuhi ruangan ini. "Maksud dokter?" tanya gue kemudian. "Saya minta maaf, karena calon bayi bapak dan ibu tidak bisa kami selamatkan. Kami bersyukur, bapak bisa segera tiba di sini. Karena kami butuh persetujuan bapak supaya bisa segera melakukan kelahiran spontan untuk mengeluarkan bayinya dari rahim Ibu Kiara." "Jadi maksud dokter, calon anak saya sudah meninggal?" tanya gue sekali lagi, memperjelas apa yang disampaikan oleh dokter. "Iya, Pak. Maaf, kami turut berduka cita." "Apa penyebabnya, Dok? Apa karena kelelahan, stress atau apa?" "Bisa jadi semuanya benar. Sejak awal saya sudah mewanti Ibu Kiara supaya tidak mengerjakan pekerjaan berat atau perjalanan jauh selama kehamilan masih memasuki trimester pertama. Tapi bukan cuma itu saja permasalahannya yang menyebabkan kematian mendadak pada calon bayi. Sepertinya sel s****a dan sel ovumnya bukan yang terbaik saat terjadi pembuahan. Sehingga janin tidak bisa berkembang sempurna. Sudah pernah saya terangkan dulu, saat ibu Kiara mengalami bedrest di usia kandungannya yang baru berusia tiga bulan, bahwa kandungan Ibu Kiara bermasalah, janin agak terlambat perkembanganya. Namun ibu Kiara bersikeras bisa mempertahankan janin tersebut hingga lahir. Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa non medis, agar bapak mengerti maksud saya. Tapi nanti saya akan melakukan observasi kembali. Semoga saja tidak ada myom atau kista di dalam rahim Ibu Kiara." Gue masih diam. Mencoba mencerna apa yang diucapkan ibu dokter di hadapan gue ini. Kiara sama sekali nggak pernah menyampaikan hal-hal yang mengkhawatirkan soal kondisi kandungannya pada gue. Selama ini dia selalu meyakinkan gue bahwa dia dan kandungannya akan baik-baik saja. Begonya, gue percaya begitu saja pada semua yang dikatakan oleh Kiara. Dan Kiara pernah bedrest? Kok gue nggak tahu ya? Gue terus bertanya pada diri sendiri. "Apa istri saya tahu soal kondisi terakhir bayinya, Dok?" "Iya, Ibu sudah tahu. Saya sudah menyampaikan tadi sore. Saya bersyukur karena Ibu Kiara terlihat lebih tegar dari dugaan saya. Beliau sama sekali tidak terguncang menghadapi cobaan ini. Malah saya yang ragu saat menyampaikan berita soal kondisi bayinya," jelas dokter tersebut. "Mari saya antar ke ruang rawat inap istri bapak." "Nggak usah, saya bisa sendiri, Dok Terima kasih atas bantuannya." "Semoga bapak dan ibu bisa saling menguatkan menghadapi cobaan ini. Tolong untuk jangan saling menyalahkan. Karena hal tersebut bisa mengganggu kesehatan mental seorang ibu yang baru saja mengalami keguguran. Saat si ibu merasa tertekan akibat rasa bersalah dan disalahkan pihak lain, kemungkinan terburuknya si ibu bisa tertekan hingga mengalami depresi," ujar dokter sebelum gue meninggalkan ruangan dokter. *** Di depan kamar rawat inap, Andra sedang berdiri menyandar di dinding. Saat menyadari kehadiran gue, dia mendekat lalu memeluk gue. Tanpa sepatah kata, Andra cuma menepuk pundak gue beberapa kali. "Mama mana, Dra?" "Saya suruh pulang, Mas. Soalnya mama juga lagi kurang sehat." Setelah mendapat penjelasan Andra, gue masuk ke ruang rawat inap VIP. Kondisi lantai kamar sangat dingin saat telapak kaki telanjang gue menyentuh lantai. Gue lihat Kiara sedang tidur. Gue nggak langsung menemui Kiara di ranjangnya. Menuju ke kamar mandi terlebih dulu, menyegarkan wajah dan membersihkan tangan serta kaki, sekaligus menenangkan perasaan gue sendiri, supaya nggak terlihat sangat terpukul di hadapan Kiara. Gue harus lebih kuat untuk Kiara. Seperti yang dipesankan oleh dokter tadi. Setelah bersih, gue ikut berbaring di atas ranjang, memeluknya dari belakang, karena posisi tidur Kiara dalam posisi miring favoritnya. Gue menciumi puncak kepalanya berkali-kali. Gue nggak kuasa menahan diri mengusap perut Kiara yang bentuknya masih seperti terakhir gue sentuh dua minggu lalu. Perbuatan gue membuat Kiara menggeliat, tapi dia nggak membalikkan tubuhnya menghadap gue. Saat ini gue bisa merasakan tubuhnya mulai bergetar secara perlahan. "Maafin aku. Aku nggak bisa jadi ibu yang baik, aku-" ucap Kiara dalam isak tangisnya. "Sssh ..., sudah ya. Nggak ada yang salah. Kita bisa coba lagi nanti. Mungkin memang belum rejeki kita, sayang." Kiara akhirnya menangis, gue semakin mengeratkan pelukan di tubuhnya.  Dia seolah sedang menumpahkan tangis yang sudah ditahannya sejak berjam-jam lalu. Gue paham. Kiara memang perempuan kuat yang tidak mudah menangis, apalagi menangis di hadapan orang lain. Tanpa Kiara sadari, bantal di belakang kepalanya juga telah basah karena perbuatan kelenjar mata gue. Malam ini nggak ada yang mengganggu kami. Baik Andra, maupun Mama, keduanya nggak ada yang kembali lagi ke kamar setelah gue masuk. Banyak hal yang ingin gue tanyakan dan gue bahas dengan Kiara. Namun momennya sangat nggak tepat kalau gue membahasnya sekarang. Terlebih lagi Kiara sepertinya sudah terlelap dalam tidurnya. Paginya gue terbangun karena mendengar ketukan pelan dari pintu. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah enam pagi. Kiara masih tidur nyenyak di pelukan gue. Sebenarnya gue masih enggan untuk beranjak, tapi suara Mama terdengar memanggil nama gue beberapa kali. Menyadarkan kalau gue harus segera bangun. Pagi ini Kiara akan melahirkan spontan, untuk mengeluarkan calon bayi kami, yang sudah lebih dahulu meninggalkan dunia sebelum sempat merasakan pelukan hangat kedua orangtuanya. Benar yang dikatakan oleh dokter kandungan semalam, bahwa Kiara lebih tegar dari dugaannya. Bahkan dia sama sekali nggak menampilkan ekspresi kesedihan yang begitu mendalam. Wajahnya tetap datar seperti nggak terjadi sesuatu hal yang menyedihkan. Padahal jika mendengar isak tangisnya tadi malam sangat memilukan hati siapapun yang mendengarnya. Setelah proses melahirkan selesai, gue dan Andra yang akan ke lokasi pemakaman, tempat Papa Kiara juga disemayamkan. Sebelum dibungkus kain putih, gue meminta waktu untuk bisa bersama calon bayi gue beberapa menit saja. Anak gue perempuan, sudah berbentuk bayi, bukan embrio lagi. "Assalamualaikum, adek baby. Ini Papa, nak. Sayang sekali ya, kita belum sempat ngobrol lebih sering. Maafkan Papa karena nggak memiliki waktu lebih banyak bersamamu. Terimakasih, karena kamu sudah rela memilih menjadi kunci pintu surga untuk Papa dan Mama kelak di akhirat, daripada melihat indahnya dunia. Baik-baik di surga, sambut Papa dan Mama nanti dengan senyummu di pintu surga ya, Nak." Gue pun melantunkan lafal adzan beseta iqomah di telinga kanan dan kirinya. Setelah itu, gue menyelimutkan kain putih sebagai selimut terakhir. Di sini gue nggak bisa lagi menahan diri. Tangis gue tumpah detik ini juga. Dalam hati gue berujar, gue masih sanggup kalau hanya untuk membelikan pakaian terbaik yang ada di toko dengan brand apa pun dan berapapun harganya. Tapi lihatlah sekarang, anak gue cuma memakai selembar kain putih, yang harganya jauh, jauh, jauh lebih murah ketimbang harga selembar kemeja gue. Ya Tuhan, rasanya nggak sanggup menopang tubuh gue sendiri saat ini. Di saat gue hampir ambruk dan nggak sanggup menyelesaikan tugas menyelimuti bayi, bokap sudah ada di samping gue dan memberi dukungan terhebatnya layaknya seorang ayah pada anaknya lewat pelukan hangatnya. Akhirnya bokap yang meneruskan kegiatan gue, karena sumpah gue benar-benar nggak sanggup lagi. "Nak Dastan, bayinya harus dikasih nama ya, karena dia sudah berwujud bayi, bukan janin lagi," tukas Mama, saat gue dan bokap keluar dari ruang khusus bayi. Mama betul, gue belum sempat kasih nama untuk anak gue. "Namanya Anandara, Mas. Mbak Kiky pernah cerita, kalau punya anak perempuan, dia pengin kasih nama itu." Andra menjawab kebingungan gue. Gue memilih mengangguk setuju. Gue nggak punya pilihan lain karena memang belum menyiapkan satupun nama. Gue dan Kiara sepakat menentukan nama bayi kami setelah menggelar acara tujuh bulanan beberapa satu bulan lagi. "Iya, namanya Anandara saja," jawab gue lesu. Akhirnya, gue, bokap dan Andra menuju pemakaman. Sedangkan Nyokap dan Mama kembali ke kamar, untuk melihat keadaan Kiara yang sejak tadi hanya ditemani oleh Nadine. *** Setelah dari pemakaman, Andra mengajak mampir sebentar ke rumah, untuk membersihkan diri sebelum kembali ke rumah sakit. Gue mengganti pakaian dengan yang lebih bersih, lantas kami kembali lagi ke rumah sakit. Gue memang meninggalkan beberapa pakaian di rumah orang tua Kiara. Jaga-jaga kalau pakaian yang gue bawa dari Jakarta kurang saat berkunjung ke Jember. Saat gue masuk kamar rumah sakit, gue lihat Kiara menatap layar televisi dengan pandangan kosong. Dia hanya menoleh sekilas saat menyadari kehadiran gue di ambang pintu. Nyokap dan Mama memilih keluar dari kamar memberikan gue dan Kiara ruang untuk berdua saja. "Hai," sapa gue dengan suara kelu. Kiara hanya menepuk sisi ranjang di sampingnya, setelah tubuhnya sedikit bergeser untuk memberikan ruang buat gue. Gue lalu duduk menyandar di sandaran ranjang dan Kiara menyandarkan punggungnya di d**a gue. Dia nggak lagi menangis kayak semalam. Dia memang terlihat lebih tegar dari yang gue kira. "Aku dapat cuti melahirkan, selama tiga bulan. Setelah cuti, aku sudah mulai ngantor di Jakarta," ujarnya dengan suara lemah seraya menjalin jemari kami. "Alhamdulillah."  Cuma ucapan syukur itu yang bisa gue lontarkan saat ini. Selebihnya kami sama-sama terdiam dalam laju pikiran masing-masing. Tanpa kata gue hanya membelai rambut Kiara dan menciumi kepalanya. "Cewek apa cowok bayi kita?" tanya Kiara tiba-tiba di tengah kesunyian kami. "Cewek, sayang. Namanya Anandara." "Andra ya, yang kasih tahu nama itu?" "Iya, aku setuju kok. Apa Anandara kependekan dari Anak Dastan dan Kiara?" Kiara hanya menggangguk lemah. Gue mendekap tubuh Kiara semakin erat ke dalam pelukan gue. Nggak lama kemudian ada perawat datang ke kamar untuk menyuntikkan obat ke cairan infus, juga dokter kandungan yang datang untuk memeriksa kondisi Kiara. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" "Insya Allah, semua baik-baik saja. Rahim Ibu Kiara bersih dari myom ataupun kista." "Lalu apa penyebab pasti bayi kami meninggal, Dok?" tanya Kiara. "Intinya tidak berkembang dengan sempurna, Bu. Ibu dan bapak bisa lega, karena Ibu Kiara kemungkinan besar masih bisa hamil lagi. Hanya tinggal menunggu waktu saja." "Syukurlah," ucap gue dan Kiara berbarengan. "Kalau begitu saya permisi dulu." Gue mengantar dokter hingga ke pintu kamar, dari balik pintu ada Mama, Nyokap, Bokap, Andra dan Nadine mau masuk ke kamar ini. Gue membiarkan semua orang masuk dan memberi dukungan pada Kiara. Setidaknya jika banyak orang terdekat berkumpul seperti saat ini, membuat gue dan Kiara jadi merasa nggak sendirian dalam menghadapi kondisi pelik ini. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD