Dua

1606 Words
Kiara: >>>>> Enam bulan yang lalu aku memutuskan menjadi bagian hidup dari orang yang kebetulan Tuhan kirimkan padaku. Dari pernikahan kami yang baru seumur jagung ini, aku sudah belajar banyak hal terutama tentang perjuangan, pengorbanan dan sabar tak terbatas. Aku terlalu berani berekspektasi soal kehidupan rumah tangga jarak jauh. Nyatanya tidak semudah yang dijanjikan oleh suamiku dulu, saat mencoba meyakinkanku untuk menjalin hubungan jarak jauh. Aku masih ingat percakapan kami saat dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dia sudah memenangkan hatiku secara telak saat itu. Sama sekali tak ada keraguan di hatiku saat mengiyakan ajakannya menjalin hubungan jarak jauh. Tak berselang lama setelah pernikahan digelar, Tuhan memberikan kepercayaan kepadaku dan suami untuk menjadi calon orang tua. Bagaimana perasaanku saat itu sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Haru dan bahagia menyelimuti hatiku dan suami. Meskipun akhirnya suami yang mesti berkorban karena harus lebih rajin mengunjungiku ke Jember. Aku sudah bilang supaya tidak terlalu mengkhawatirkan aku dan calon bayi dalam kandunganku, tapi bukan Dastan namanya kalau sehari saja tidak berhenti mengungkapkan kekhawatiran demi kekhawatirannya. Tak perlu banyak protes, aku hanya tinggal menikmati saja segala perhatian dan kasih sayangnya padaku yang teramat besar itu. Di bulan kelima usia kandunganku kini, aku sudah mulai mengeluh soal keinginanku yang selalu ingin berada di dekatnya. Namun tidak mudah bagiku mengungkapkan keinganku itu. Mengingat sifat dasar laki-laki itu yang begitu protektif pada hal apa pun yang berkaitan denganku, seringkali mengurungkan niatku untuk mengungkapkan apa yang mengganggu pikiran dan kesehatanku pada Dastan. Seperti yang terjadi pagi ini, aku merasakan rasa tidak nyaman melanda perut bagian bawahku. Rasanya seperti mulas, ditambah nyeri juga. Namun karena loyalitasku pada perusahaan yang menaungiku selama bertahun-tahun itu tidak terbatas, aku menguatkan diriku untuk tetap masuk kerja seperti biasa. Nanti aku izin pulang lebih cepat saja daripada tidak masuk kerja lalu semuanya kacau balau karena ketidak hadiranku di kantor hari ini. Andra yang mengerti gelagat anehku pagi ini memaksa akan mengantarku ke kantor. Aach... dia sekarang ikutan menjadi protektif sejak insiden kecelakaan beberapa waktu lalu. Kecelakaan yang pada akhirnya malah membawa aku bertemu kembali dengan Dastan. Kadang aku suka tersenyum sendiri jika mengingat insiden kecelakaan itu. Bisa dibilang kecelakaan yang mendatangkan kebahagiaan. "Kenapa nggak naik motor aja, Dra?" tanyaku pada adik semata wayangku itu, saat mendengar suara deru mesin mobil sedang dipanaskan di dalam garasi rumah. "Sekalian dipanasin mobilnya,Mbak," jawab Andra singkat. Aku tak banyak bertanya lagi, pamitan pada Mama, masuk mobil, pasang sabuk pengaman dan kirim pesan singkat pada Dastan kalau aku akan berangkat ke kantor dengan Andra. Di pesan singkat Dastan mengatakan seolah ingin sujud syukur, karena Andra bisa mengantar sekaligus aku mau diantar oleh Andra. Sesampainya di kantor aku disambut dengan seabrek pekerjaan. Demi mempersingkat waktu aku segera menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan unit-unit bulan ini tanpa mengeluh. Aku bahkan mengabaikan panggilan telepon dan pesan singkat bernada kekhawatiran dari Dastan sejak sampai di kantor yang menanyakan soal perkembangan kondisi perutku pagi tadi. Akan kubalas nanti saja saat jam istirahat makan siang. Nyeri di perutku rasanya makin tak tertahankan. Kepalaku juga mulai cenat cenut rasanya. Membebaskan mataku dari frame kacamata yang menekan punggung hidung dan pelipisku selama beberapa jam terakhir, aku menyandarkan punggung sepenuhnya ke sandaran kursi. "Lagi sakit, Bu?" tanya Triana, dia teman kantor yang kebetulan memiliki jabatan berada di bawahku langsung. Bisa dibilang bawahanku dalam struktur organisasi perusahaan perbankan ini. "Iya nih. Perut saya mules, kepala juga rasanya cekot-cekot," jawabku lemah. "Saya pesankan teh hangat sama OB ya, Bu," tawar Triana sopan. Aku menggeleng lemah, membenarkan posisi kacamataku ke tempat semula lalu beranjak dari kursi. "Saya mau ke toilet dulu ya," ujarku sambil melangkah meninggalkan meja kerjaku.  "Bu..., Bu Kiara!" seru Triana memanggil namaku. Saat menoleh kuliha Triana sedang melangkah lebar ke arahku. "Kok Bu Kiara datang bulan? Bukannya lagi hamil ya?" tanyanya setelah sudah berada di sampingku.  "Loh iya?" tanyaku tak percaya, menoleh dan menyentuh sedikit ke bagian belakang rok sepan yang tengah aku gunakan. Seketika aku menjadi gusar saat merasakan ada sesuatu yang mengalir di sekitar pahaku, dan warnanya merah setelah sampai di betis.  "Saya pendarahan, Tria," ujarku, masih berusaha tenang. Aku lantas meminta Triana minta tolong pada siapapun yang sedang berada di kantor untuk membawaku ke rumah sakit, yang kebetulan letaknya tidak jauh dari kantorku. Bersyukur pimpinan cabang sedang berada di kantor. Tanpa banyak tanya beliau mengantarku menuju rumah sakit terdekat. Aku terus berusaha menghubungi Dastan. Namun tidak ada satupun panggilan teleponku yang diresponnya. Mungkin dia masih berada di ruang rapat. Karena pesan terakhir yang dia kirim mengabarkan kalau akan mengadakan rapat dengan timnya. *** Andra dan Mama datang saat aku sudah ditangani di unit gawat darurat. Mama tak hentinya menangis dalam pelukan Andra. Sedangkan aku, bahkan tak meneteskan air mata sedikitpun. Aku berusaha kuat di depan adik dan mamaku ini. Bahkan aku masih tersenyum tipis meski kelu, ketika menyambut kedatangan Mama. Aku meminta Andra untuk terus menghubungi Dastan dan mengabarkan suamiku itu, kalau saat ini aku sedang dirawat intensif di rumah sakit. Tubuhku terasa begitu lemah untuk sekadar memegang ponsel dan menghubungi Dastan. Rasanya aku tak sanggup mengabarkan sendiri soal kondisiku padanya. Aku merasa menjadi orang paling bersalah jika sampai terjadi apa-apa pada calon bayiku nanti. Bahkan untuk bertatap muka dengan suamiku rasanya aku tak sanggup. Semua ini sampai terjadi atas andilku juga. Beberapa minggu terakhir aku terlalu ngoyo dalam bekerja. Dalam keadaan hamil yang sebelumnya sudah diingatkan oleh dokter kandunganku, supaya jangan terlalu lelah dan melakukan banyak aktivitas karena kandunganku tergolong lemah. Sedangkan aku malah sering melakukan perjalanan dinas bahkan bisa dibilang lebih sering dari saat sebelum menikah dan hamil. Aku memang sering mengacuhkan semua nasihat dokter dan kekhawatiran Dastan. Aku bersikukuh kalau aku tidak kenapa-kenapa bahkan kerap berjanji pada Dastan, bahwa aku dan calon bayi kami akan baik-baik saja. Mungkin ini teguran dari Tuhan supaya aku sadar satu hal, menjadi istri itu harus menurut pada apa yang dikatakan oleh suami selama perintahnya tidak melanggar aturan dan menyimpang dari syariat agama. "Mas Dastan sudah on the way ke Jember, Mbak," ujar Andra saat masuk ke kamar tempatku dirawat. "Kamu bilang apa sama Dastan?" "Aku ngomong apa adanya soal kondisi Mbak Kiky sekarang." "Dia pasti khawatir dan bingung banget sekarang, Dra. Kasihan Dastan." "Mbak kenapa jadi mikirin kondisinya Mas Dastan? Sekarang yang harus dikhawatirkan itu kondisinya Mbak Kiky." Nada bicara Andra sedikit meninggi dari biasanya. Wajar kalau dia kesal padaku. Aku sama sekali tidak tersinggung atas sikap adikku itu. Aku sangat tahu dia sama khawatirnya seperti Dastan mengkhawatirkan aku. Tepat saat aku akan menjawab ucapan Andra, sahabatku datang berkunjung. Nadine masih mengenakan jas dokternya. Seingatku jam segini dia memang baru akan memulai jadwal praktek rutinnya di rumah sakit swasta tempatku dirawat saat ini. "Kibem, gimana perasaanmu? Kalau ada yang nggak nyaman bilang ya, jangan dipendem sendiri," ujar Nadine seraya mengusap kepalaku. "Bener tuh yang dibilang Mbak Nadine. Apa-apa dipikirin sendiri, kalau ditanya baru jawab. Memangnya semua orang punya indra keenam apa," gerutu Andra. Nadine menyikut perut adikku tanpa ampun. Andra mengaduh pelan sambil mengusap perutnya. Biasanya aku akan menertawakan Andra jika mendapat perlakuan seperti itu dari Nadine. Namun aku terlalu lemah saat ini, bahkan untuk sekadar tersenyum sekalipun. Sadar kondisiku tidak kondusif Andra memilih keluar kamar meninggalkan aku dan Nadine berduaan saja. "Dastan udah tau kondisi kamu, Ki?" tanya Nadine sesaat setelah kepergian Andra. Aku mengangguk lemah, menahan tangis lalu berujar, "aku takut, Nad." "Takut kenapa, Kiky?" "Takut Dastan marah besar sama aku." Nadine kemudian memelukku sambil menangis terisak. "Ya nggak mungkinlah dia marah sama kamu. Semuanya nggak murni kesalahan kamu. Lagian Dastan itu nggak akan pernah bisa marah sama kamu, Ki. Sekarang dia pasti jadi orang yang paling merasa khawatir dan memiliki ketakutan melebihi kita-kita yang selalu bisa berada di dekatmu setiap saat, Ki." Aku membalas pelukan sahabatku itu, tapi tidak ikut menangis seperti dirinya. Nadine tidak tahu saja betapa banyak kebohongan yang aku sembunyikan dari Dastan mengenai kondisi kehamilanku, hanya demi menjaga ketenangan hidup Dastan yang tidak bisa selalu berada di sisiku dalam kondisi apa pun. Aku berhasil menahan diriku supaya tidak menumpahkan segala kesedihan dan kegelisahanku pada Nadine. "Kata dokter gimana keadaanmu?" tanya Nadine sambil melerai pelukannya. "Kecil kemungkinannya kandunganku selamat, Nad. Doain yang terbaik aja untuk aku dan bayiku," pintaku tulus, pada Nadine. Nadine mengangguk lemah, lalu tak mengajakku mengobrol lagi. Dia harus menjalankan prakteknya. Kata Nadine pasiennya cukup banyak siang ini. Mungkin bisa sampai petang selesainya. Dia tidak mungkin menunda demi menemaniku. Namun dia berjanji akan menjengukku lagi setelah prakteknya selesai. Aku memilih beristirahat karena tubuhku terasa semakin lemah, diiringi rasa nyeri di perutku yang kembali tak tertahankan rasa sakitnya. Aku juga memilih menonaktifkan ponselku, menghindar dari kekhawatiran yang akan dihujankan oleh Dastan bila aku sampai membalas satu saja pesan atau sekali saja menerima panggilan telepon darinya. Biarkan dia mengetahui kondisiku dari Andra atau melihat dengan mata kepalanya sendiri saat sudah berada di sini nanti. Memejamkan kedua mata, aku berusaha terlelap seraya memanjatkan doa untuk keselamatan suamiku yang sedang berada dalam perjalanan, juga doa untuk keselamatan aku dan calon bayi kami. Di keheningan kamar tanpa seorang pun ada di sekitarku saat ini, akhirnya aku bisa menumpahkan segala kesedihanku yang akan kehilangan calon bayiku. Aku mengubah posisi tidur miring ke kanan, mengusap perutku, lalu memeluknya seolah sedang memeluk bayi yang tengah tidur dalam dekapanku. Aku tidak bisa merasakan gerakan lembut itu lagi. Apa dia benar-benar telah tiada? Tuhan, beginikah caramu menguji iman dan taqwa umatMu? Aku tidak marah pada Tuhan atau siapapun. Aku hanya menyesal kecewa pada diriku sendiri, karena tidak bisa lebih baik lagi dalam menjaga titipan dari Sang Kuasa ini. Air mata terus berderai seiring usapan di perutku. Hanya begini caraku melampiaskan kesedihanku. Ketika nanti aku berhadapan dengan orang lain mereka harus melihat ketegaranku dan menganggap bahwa aku baik-baik saja. Apa pun cobaan yang sedang menderaku. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD