Empat

2178 Words
Kiara: >>>>> Tidak ada kesedihan paling menyesakkan dibandingkan dengan kehilangan calon bayi. Dia yang telah mengisi hari-hariku, mendengarkan keluh kesahku, juga sebagai pengobat rindu pada suamiku. Aku menyayanginya bahkan sebelum aku sempat mendekapnya dalam pelukanku. Aku menghadapi kesedihan tersebut dengan cara yang berbeda. Di saat semua orang merasa prihatin dan menatapku penuh rasa iba, aku menjelma bagai sosok Srikandi yang tangguh, tidak menangis, apalagi meratapi kesedihanku di depan banyak orang. Padahal jauh di lubuk hatiku, jiwaku saat ini bagai dedaunan kering yang rapuh, sekali injak, akan menghilang bekasnya seiring dengan terpaan angin. Aku hanya bisa menangis di saat sedang sendiri, di keheningan malam, dan di atas sajadahku. Namanya Anandara, dia calon anakku, buah hatiku, kesayanganku, bahkan dia yang tak sempat aku lihat bentuknya sudah kusebut sebagai belahan jiwaku. Ah, tapi Allah lebih mencintainya, Allah lebih menyayanginya, daripada aku calon ibu kandungnya. Kini yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan cinta dan kasih sayangku adalah, mendoakannya di setiap sujud lima waktuku, dan mengenangnya di dalam lubuk hatiku. Sering kali aku tak kuasa menahan untuk tidak menitikkan air mata, terkadang juga mengeluh dan meronta. Apa salahku? Apa dosaku? Hingga Allah tidak mempercayakan untuk menitipkan amanahnya itu kepadaku? Apa aku dan suamiku belum pantas menjadi orang tua? Aku hanya bisa merenungi saja apa yang sedang terjadi dalam hidupku, hikmah seperti apa yang sedang Allah siapkan di balik cobaan berat untuk aku. Meski sudah 30 hari aku kehilangan calon bayiku, rasanya kesedihan itu tak berkesudahan. Aku harus segera mengakhiri penderitaan ini. Anandara harus melihat mamanya melanjutkan hidup seperti sedia kala. Dia pasti sedih jika aku terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Tetesan air hujan yang mengalir melalui celah kaca jendela kamar, seolah menawarkan diri untuk menjadi teman renunganku pagi ini. Suara pintu kamar diketuk dengan pelan. Kepala Nadine muncul di balik pintu. Senyum di wajahnya seolah menularkan senyuman yang sama di wajahku. "Kibem, lagi apa?" tanya Nadine dengan suara seraknya yang khas, seraya masuk kamar dan meraih toples berisi kacang mete. Sambil berjalan ke arahku duduk, dia mencomot satu biji kacang dan disodorkan ke mulutku. Aku pun menyambut kacang itu dengan membuka kedua bibirku. Nadine menarik kursi kayu dari bawah meja rias, dan duduk di hadapanku. Baik Nadine maupun aku, pasti akan saling mengunjungi jika kami punya waktu senggang di luar padatnya aktivitas kami masing-masing. "Udah bersih nifas, Ki?" "Huumh." "Cepet juga ya, nggak sampai 40 hari ya?" Aku hanya mengangguk dan tersenyum segaris. "Dastan sudah bisa dapat jatah lagi dong ya? Wah..., kalo kamu udah di Jakarta, aku yakin dia akan lembur ngejar setoran tuh." Kedua alisku saling bertaut mendengar ucapan sahabatku ini. "Lambemu rusak, Nad!" jawabku sambil menarik ujung rambutnya yang saat ini sudah ganti model jadi lurus kayak telenan. Nadine hanya tertawa dan aku menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatku ini. Boro-boro lembur kejar setoran, membayangkan hal itu saja, cukup membuatku bergidik nyeri. Lagian juga, ini Nadine memang kebangetan ya, berapa kali juga dibilangin untuk nge-rem itu mulut selama hamil. Ckck. "Hush! Orang hamil harus bisa jaga omongannya loh, Nad." "Engge, mbakyu. Kalau kamu mutasi ke Jakarta, tetep jabatan yang sekarang nggak, Ki?" "Turun lah, Nad," jawabku singkat sambil mengedikkan kedua bahuku. "Ke posisi apa?" "Apa ya? Belum tahu pasti. Orang daerah pindah ke kota besar, saingan padat, terima sajalah kalau balik jadi jongos lagi." "Nggak ngerti aku." "Udah jadi rahasia umum, apalagi dunia perbankan soal itu. Paling kalau nggak jadi Teller, ya..., Customer Service." "Hah? Itu kan posisi kamu delapan tahun yang lalu, Ki? Kok merosot jauh gitu?" "Ya namanya juga mutasi, beda tipis sama demosi. Ya sudahlah, terima saja. 'Kan kamu sendiri yang pernah bilang waktu itu, 'Karier, jabatan, uang itu bisa dicari, tapi kebersamaan dengan suami, mendampingi suami, itu nggak bisa dicari, suami itu surga kita Kiara'. Gitu 'kan kata kamu." Nadine menatapku kosong, mata bulatnya menyorotkan tanda tidak terima. Tapi memang benar adanya--apa yang pernah Nadine sampaikan dulu adalah seperti itu--saat aku mengatakan bahwa, surat mutasiku sudah turun dan dalam waktu dekat bisa pindah ke Jakarta. "Ya, tapi 'kan aku nggak tahu kalau mutasi itu sama dengan demosi." "Makanya itu awalnya aku ragu. Apalagi teman-teman yang pernah mutasi juga cerita begitu. Tapi mau gimana lagi, udah terlanjur ini." "Ya minimal 'kan kamu demosinya ke jabatan kamu dua atau tiga tahun yang lalu, Ki." Aku cuma tersenyum menanggapi perkataan Nadine. Suara ponselku berhasil membuat pandanganku teralihkan dari wajah tidak suka Nadine--ketika mendapati ketidakadilan terhadap sahabatnya. Karena kalau diteruskan perdebatan ini tidak akan ada juntrungannya. Dastan A: Aku sudah di Juanda. Ini dijemput sama mobil kantor. Dastan A: Aku sama Arif, dia habis ikut meeting direksi kemarin. Hari ini mau ke Banyuwangi, tapi mo mampir Jember, sayang. Dastan A: aku cuma mampir aja tapi. Nggak lama. Besok baru nginepnya. Me: salam sama mas Arif. Kalau cuma sebentar, knapa nggak besok aja sekalian. Lebih cepet lewat jalur pantura kan kalau naik mobil? Dastan A: aku kangen kamu Me: Yo wis Aku meletakkan ponselku di atas nakas, percuma memberikan seribu pendapat terbaik, tidak akan ada yang bisa mematahkan keinginan Dastan--jika menyangkut soal 'kangen' nya itu. Lalu aku pun mengajak Nadine menuju dapur untuk membantuku mempersiapkan masakan untuk akan menyambut kedatangan suamiku. Tepat selesai adzan Duhur, deru mesin mobil terdengar di depan gerbang rumah. Pasti Dastan, pikirku. Karena tidak mungkin Andra, dia sekarang sedang ke luar kota dan tidak akan kembali secepat ini. Terdengar derap langkah terburu mendekati rumah, langkah itu semakin mendekati dapur. Dastan langsung saja mendekap tubuhku, padahal saat ini aku sedang menggoreng ikan tenggiri. "Aku kangen kamu, sayang," ujarnya, seraya menenggelamkan wajahnya di tengkukku. "Dastan! Aku lagi goreng-goreng loh ini. Malu sama Nadine dan Mama tuh," ucapku dengan wajah otomatis merona seketika, saat menatap wajah Nadine dan Mama yang ternyata tengah mengulum senyum. Arrggh... Dastan kemudian melepas pelukannya, lalu menyalami Mama dan Nadine bergantian. Dastan dan Arif pamit solat dhuhur terlebih dahulu sebelum makan siang. Aku patut bersyukur karena akhir-akhir ini ibadah Dastan memang mulai membaik. Belum sempurna memang, tapi setidaknya temannya sudah berhenti menyebutnya atheis. Kalau dipikir-pikir parah memang Dastan dan sahabat-sahabatnya itu kalau sudah saling mengolok. Aku tahu hal itu, karena pernah beberapa kali diajak Dastan nongkrong bareng Alvin dan Fandi. Laki-laki di mana-mana sama saja. Di kantor juga, rata-rata karyawan laki-laki kalau sudah berkumpul, ya tidak beda jauh dengan Dastan CS jika sedang berkumpul. Dastan tiba di meja makan dengan wajah segar, rambutnya juga masih terlihat basah bekas air wudhu. Jantungku pasti akan berdebar cepat setiap kali melihatnya seperti ini. Di saat mata kami telah bertemu, akulah yang pasti akan memutus kontak mata. Dastan akan tersenyum penuh kemenangan jika sudah begini. Selesai urusannya di Banyuwangi, Dastan akan memboyongku ke Jakarta. Berat rasanya jika harus meninggalkan kota ini, rekan kerja, sahabat seperti Nadine, Andra, terutama Mama. Namun ini jalan yang harus aku tempuh. Aku yang memutuskan, maka aku pula yang harus menjalaninya, susah senangnya, dan juga segala risikonya. Termasuk berpisah seperti ini. Semua melepasku dengan berat hati, begitu juga dengan aku. Ah, aku pasti akan sangat merindukan mereka semua, merindukan kota Jember dan segala hal yang ada di kota ini. (***) Sudah dua minggu ini aku di Jakarta, dan aku mulai merasa bosan dengan suasana ibukota ini. Aku yang terbiasa hidup di kota kecil seperti Jember, sangat merasakan kecanggungan ketika harus beradaptasi dengan Jakarta. Ke mana-mana jauh, belum lagi macet, panas, dipenuhi rasa was-was, dan takut. Jadi kalau mau keluar, aku harus menunggu Dastan dulu. Sedangkan Dastan harus pergi dari apartemen sejak pukul enam pagi, dan baru pulang sekitar pukul delapan malam. Liburnya hanya di hari Minggu. Jadi seharian penuh, waktuku dihabiskan hanya dengan duduk diam di apartemen, setelah menyelesaikan pekerjaan mengurus apartemen ini. Aku juga tidak punya kenalan yang bisa aku ajak ngobrol santai, untuk mengisi kekosongan waktuku. Jarak antara apartemen dengan rumah orang tua Dastan, ternyata cukup jauh, jadi tidak memungkinkan bagiku untuk mengunjungi rumah mertuaku tanpa didampingi oleh Dastan. Aku yang terbiasa memiliki segudang aktivitas di luar rumah, tentunya akan dengan mudahnya merasakan kebosanan seperti ini. Dulu jika Sabtu Minggu libur kerja, aku akan mengunjungi rumah Nadine dan menghabiskan waktu bersamanya, kadangkala menemani Andra di showroom mobil, nggak jarang juga, ikut Andra mengunjungi kebun sengon milik Papa--yang sekarang dikelola oleh Andra. Kebun itu dulunya sempat bekerja sama dengan salah satu pabrik milik PT. Natanegara Plywood saat papa masih ada, jauh sebelum aku mengenal Dastan juga tentunya. Namun sayang sekarang sudah tidak lagi, setelah ada gesekan soal p********n yang selalu tidak tepat waktu. Setelah mengenal Dastan setahuku dia pernah mengajukan kerja sama kembali dengan Andra. Namun aku juga kurang tahu, apa Andra sudah menyetujui atau belum kerja sama yang ditawarkan oleh Dastan dan Mas Arif itu. Alasan pengajuan kembali kerja sama itu, karena sengon yang dihasilkan oleh kebun mendiang Papa, adalah yang terbaik dan sangat dibutuhkan untuk bahan baku produk-produk unggulan yang akan diekspor oleh PT. Natanegara Plywood. Meski aku sudah dua minggu tinggal bersama, kami masih belum berani melakukan hubungan suami istri hingga detik ini. Ada rasa trauma tersendiri dalam diriku. Bukan karena rasa nyeri akibat beberapa jahitan di bawah sana. Namun rasa trauma kehilangan lebih menyakitkan bagiku, ketimbang rasa nyeri itu sendiri. Bukan juga tak mau mencobanya lagi, tapi aku hanya butuh waktu yang tepat dan kesiapan mental. Ada rasa was-was jika ternyata nanti membuahkan hasil dan aku harus kehilangan lagi. Nah ... di situlah letak ketidak siapan mentalku. Apalagi dokter pernah menyampaikan bahwa, sel s****a dan sel ovum kami sama-sama subur, jadi sangat memungkinkan untuk terjadinya pembuahan dalam waktu dekat jika bertemu. Untunglah Dastan bisa mengerti perasaanku dan masih sabar menunggu kesiapan mentalku untuk meminta haknya itu. (***) Seperti biasa jika telah menyelesaikan acara makan malam, aku dan Dastan akan menghabiskan waktu untuk duduk sambil menonton siaran televisi. Kebanyakan aku yang nonton, karena tak jarang Dastan akan membawa pekerjaannya pulang ke apartemen. Alasannya, kalau diselesaikan di kantor, maka yang ada, dia akan sampai apartemen di atas pukul sepuluh malam. Namun untuk malam ini, dia absen tidak membawa pulang pekerjaannya. Jadi, inilah waktu yang tepat untuk mengajukan keinginanku, yang ingin masuk kerja secepatnya. "Aku pengin masuk kerja secepatnya," ucapku mantap, dan Dastan seketika menoleh. Padahal pandangannya sedang menekuni layar televisi yang sedang menayangkan acara National Geographic kesukaannya. "Loh, kenapa? 'Kan masih lama cuti kamu, sayang? Dinikmati aja dulu ya." "Dinikmati sendirian mana enak. Mending kerja, jadi nggak mikir yang macem-macem," jawabku berusaha tegas agar tidak mudah dipatahkan oleh Dastan, keputusanku yang sudah bulat ini. "Terus, rencana kamu gimana?" Dastan pun akhirnya mengalihkan fokus menontonnya, dengan memutar tubuhnya menghadapku. "Senin besok ini, aku mau masuk kerja," ujarku mantap, sekali lagi. "Loh? Yakin?" tanya Dastan dengan nada agak sedikit meremehkan. "Iya. Besok anterin aku ke kantor baruku ya." "Mana coba lihat alamatnya?" Aku pun menyodorkan ponsel yang menampilkan isi email--yang aku terima beberapa bulan lalu--dari kantor pusat perihal persetujuan mutasi yang aku ajukan, beserta alamat kantor tujuan mutasi, dan posisi baru yang bisa aku tempati di tempat baru. "Loh kok kamu ditunjuk jadi Teller sayang? Kamu kan kepala audit? Setahuku teller itu bagian dari frontline, yang biasanya diperuntukkan bagi fresh graduate?" "Iya konsekuensinya mutasi itu, demosi atau turun jabatan." "Oh... ya? Baru tahu aku kayak gitu. Di tempat aku nggak gitu tuh. Kamu juga nggak pernah cerita soal itu?" "Beda perusahaan beda peraturan. Lagian, kamu nggak pernah nanya konsekuensi atau risikonya kalo aku mutasi." "Apa nggak terlalu drastis turunnya, Kia? Kok nggak turun jadi wakil kepala audit kek atau atasannya teller gitu? Nggak wajar ini namanya, Kiara!" Nada suara Dastan justru ikutan naik beberapa oktaf. "Yang kosong cuma posisi itu dalam waktu dekat. Kalau ngejar posisi yang sama, ya harus nunggu kepala audit yang lama resign atau pensiun. Aku sudah mencari di seluruh cabang di Jakarta, tapi posisi yang sama dengan yang aku jabat, belum ada yang kosong. Kemungkinan kosongnya minimal 5 tahun lagi. Mau kamu nunggu selama itu?" Intonasi bicaraku juga mulai meninggi, mengingat tidak cuma dia saja yang tidak terima dengan penurunan jabatan ini, tapi aku lebih tidak terima. Aku di sini yang berkorban, merelakan jabatan yang telah aku raih selama pengabdian delapan tahun, demi bisa berkumpul dengannya, suamiku. Tapi dia justru malah membalas dengan perasaan tidak terima, tidak memberiku suport sedikitpun, bahkan malah menanggapi dengan marah tanpa alasan. "Aku mana ngerti kalau bakal kayak gini dampak dari mutasi kamu. Lagi pula kamu nggak pernah menceritakan soal itu sama aku. Seandainya kamu cerita ada dampak buruk seperti itu, aku bisa aja berpikir ulang saat memaksa kamu segera mutasi ke Jakarta," ucap Dastan. Dastan menghela napas panjang lantas menghempasnya dengan kasar. "Oh, iya..., aku lupa kalau kamu memang selalu menyimpan banyak persoalan hidup kamu dari aku. Sekarang persoalan apa lagi yang sedang coba kamu sembunyikan dari aku?" Dastan tertawa sumbang, menyerahkan kembali ponselku, lalu masuk kamar. Aku menghampirinya ke kamar untuk meminta penjelasan atas kemarahannya yang tanpa alasan itu. Namun Dastan tetap bungkam dan pura-pura tidur tidak merespon satupun ucapanku. Dia selalu seperti itu. Menyelesaikan pertengkaran dengan cara tidur. Sangat kekanakan. ~~~ Lambemu rusak: mulut kamu rusak (kalimat umpatan) Yo wis: ya sudah Teller: kasir sebuah bank yang melayani segala transaksi di bank. --- Semoga nggak bosan meski berulang kali membaca kisah mereka. ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD