Barra memarkirkan mobilnya di garasi rumah Fely. Di lihat nya mobil istrinya itu yang terparkir rapi didalam garasi. Sejak menikah, Barra memang jarang keluar malam hari. Karna rasa nya tidak etis saja jika Barra pulang malam ke rumah mertuanya. Jika Barra dan Fely sudah tinggal dirumah Barra, tentunya kebiasaan mainnya dengan teman- temannya akan ia ulangi lagi.
Barra segera masuk kedalam rumah dengan di sambut oleh Winda, mertuanya yang sedang duduk di ruang tv. Barra menghampiri ibu mertuanya itu dan menyalami tangan wanita paruh baya itu. Winda menonton tv sendirian karna Radit yang belum pulang dari kantornya.
"Mom, sendirian aja?" Tanya Barra basa basi.
"Eh iya Barr, baru pulang?" Tanya Winda.
"Iya momm, Barra ke atas dulu ya?". Winda menganggukan kepalanya.
"Iya, istri kamu nungguin kayanya". Barra menganggukan kepalanya. Lalu ia segera pergi menuju kamar Fely yang merupakan kamarnya juga.
***
Ceklek
Suara pintu kamar di buka. Fely yang sedang asyik dengan hp-nya kini menoleh ke arah pintu. Ia segera memalingkan pandangannya ke layar ponselnya lagi saat melihat Barra yang sedang berjalan menuju gantungan tas milik Fely.
Sejak tinggal disini, Barra dituntut untuk serapi mungkin oleh Fely. Fely memang termasuk orang yang perfeksionis dalam hal apapun. Ia tidak suka jika kamarnya berantakan dan barang-barang disimpan tidak beraturan.
Walau pernikahan mereka baru berjalan tiga hari, Barra sering kali kena protes dari Fely jika Barra menaruh barang miliknya sembarang tempat. Maka dari itu, Barra mulai membiasakan diri serapi mungkin jika didalam kamar.
"Lo masih marah sama gue?" Tanya Barra yang kini sedang berjalan menuju ranjang.
Ia kini memilih untuk duduk dipinggiran kasur dekat dengan Fely. Fely yang ditanya itupun hanya terdiam. Ia tidak mengindahkan pertanyaan dari suaminya itu. Amarahnya tadi disekolah masih ada. Itu sebabnya Fely tidak ingin berbicara pada Barra.
"Heh, kalo suami nanya itu jawab, jangan malah asyik mainin hp mulu" protes Barra.
Fely menatap tajam suaminya itu. Ia tidak habis fikir dengan Barra yang saat ini mengungkit kata 'suami'. Padahal, sikapnya di sekolah saja tidak mencerminkan jika Barra seorang suami.
"Gini aja lo bahas masalah suami. Lo lupa ya kalo suami itu dilarang deket-deket sama cewe lain apa lagi didepan istrinya?" Tanya Fely. Barra memejamkan matanya sebentar. Ia harus memperbesar rasa sabarnya jika sedang berhadapan dengan Fely.
"Gue salah, gue minta maaf" ucap Barra yang tidak ingin memperkeruh suasana.
"Gue ga akan maafin lo" ketus Fely lalu ia kembali memainkan hp-nya karna grup wa nya dengan teman-temannya sudah ramai.
"Ck, dosa tau ga lo ga maafin suami".
"Dosa juga tuh suami yang ga tau diri kalo udah punya bini".
Mulut Fely jika sudah menyindir sangat pedas. Melebihi pedasnya cabe jalapeno. Barra tidak bisa membayangkan hidupnya akan seperti apa kedepannya jika ia memulai masalah dengan Fely.
Fely sangat terampil dalam hal membalikan fakta. Jika Fely menjadi pengacara, rasanya semua kasus yang gadis itu tangani akan bisa dimenangkan dengan keahlian debatnya.
"Oke, oke gue bakal jauhin si Jihan" ucap Barra pada akhirnya. Lagi pula, tidak ada ruginya jika Barra tidak berteman dengan Jihan. Toh, ia tidak memiliki perasaan apapun pada gadis itu. Hanya saja fans mereka yang selalu menjodoh-jodohkan keduanya. Padahal, Barra tidak ada niatan sedikitpun untuk memacari Jihan.
"Bagus" jawab Fely.
"Lo mendingan mandi, cuciannya lo taro di tempat cuci biar gue ga cape nyariin baju lo yang kotor" lanjut Fely.
Satu hal lagi yang harus diketahui. Fely mencintai sangat mencintai kebersihan. Terutama kebersihan badan. Fely tidak akan segan untuk menyuruh Barra mandi saat pulang sekolah. Apalagi jika suaminya itu habis olahraga. Selain basket, Barra juga suka fitness. Jadi, dapat dibayangkan seberapa banyak keringat yang akan pria itu keluarkan jika sudah melakukan hobinya itu.
"Mau makan malem diluar ga?" Tawar Barra sebagai kompensasi pada Fely.
"Kemana?" Tanya Fely.
"Terserah lo, gue turutin"
"Yaudah lo mandi dulu sana. Masa jalan sama cewek cantik kaya gue lo malah bau".
"Iya iya gue mandi" Barra segera bergegas menuju kamar mandi. Jika ia tidak mandi sekarang, bisa-bisa ia mendengar suara Fely yang terus menerus menyuruhnya untuk mandi.
***
Setelah berpamitan pada Winda dan juga Radit yang baru saja pulang dari kantor, Barra dan Fely segera keluar dari rumah menggunakan mobil Barra tentunya.
Ini kedua kalinya Fely menaiki mobil suaminya itu. Karna tentu saja Fely akan menolak jika ia diminta untuk berangkat sekolah bareng dengan Barra. Masalahnya, tidak ads seorangpun yang tahu jika Barra dan Fely sudah menikah selain keluarga mereka.
"Ini masih sore, masih jauh ke makan malem, ngapain kita keluarnya sekarang?" Tanya Fely yang heran pada Barra. Jam masih menunjukan pukul empat sore.
Sehabis sholat Ashar, Barra memang meminta Fely untuk siap-siap pergi dengannya. Padahal, tadi Barra hanya mengajak istrinya itu untuk makan malam diluar.
"Gue mau beli sesuatu dulu, takutnya lama dan ga akan keburu makan malem, jadi kita keluarnya sekarang" jawab Barra yang fokus pada jalanan.
"Lo ga takut ketemu sama siapa gitu jalan sama gue?"
"Ngapain takut? Emangnya lo mau nyolong?".
"Ya kaga juga lah gila. Tapi kan ga ada yang tau kalo kita ada hubungan".
"Lo bawa masker?". Tanya Barra yang mendapat anggukan dari Fely.
"Yaudah lo pake itu aja kalo lo ga mau ketauan jalan sama gue".
Fely menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia tidak terganggu jalan berdua dengan Barra. Barra ganteng, fashionable, tajir, keren, tidak ada celah cacat dari suaminya ini. Jadi, tidak ada yang satupun dari Barra yang kurang untuk bersanding dengannya. Hanya saja, Fely takut jika ada yang curiga padanya dan juga Barra.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, Barra dan Fely memasuki salah satu mall terbesar di Jakarta.
Seperti yang Barra katakan, Fely membawa maskernya di dalam tas. Tapi, Fely sengaja tidak memakainya. Selama tidak ada teman-teman mereka rasanya akan aman-aman saja.
Fely berjalan beriringan dengan Barra tanpa bergandengan tangan. Sepanjang jalan juga, banyak sekali yang mencuri-curi pandang pada suaminya itu. Sesekali Fely menatap tajam siapapun yang berani menatap suaminya itu.
"Heh, udah biarin aja" tegur Barra yang menyadari sikap istrinya itu.
"Kayanya yang harusnya pake masker itu elo bukan gue" jawab Fely.
"Cemburu lo gitu amat"
"Gue ga cemburu" elak Fely.
"Iya iya" jawab Barra yang tidak ingin berdebat begitu panjang dengan Fely. Rasanya juga akan percuma bukan? Fely tidak akan pernah mau kalah dengannya.
Barra mengajak Fely kesebuya toko sepatu bermerk terkenal dan tentunya dengan harga-harga yang sangat fantastis. Toko sepatu yang tentunya langganan Barra selama ini. Barra mendapatkan kabar jika mereka sudah mengeluarkan produk terbaru dan tentunya unlimited. Maka dari itu, Barra degan segera datang ketempat ini agar ia bisa mendapatkan barang terbaru.
Barra menghampiri pelayan yang sudah biasa melayaninya jika sedang belanja disini. Barra sudah sangat akrab tentunya. Karna ntah sudah berapa banyak sepatu yang Barra beli disini.
"Mas Barra pasti mau cari sepatu yang keluaran terbaru itu ya?" Tanya Anton, pelayan toko sepatu langganan Barra.
"Iya mas, mau liat ukuran biasa saya ya" pinta Barra.
"Baik sebentar saya ambilin ya" ucap Anton lalu segera pergi ke gudang guna mengambil sepatu keluaran terbaru untuk Barra.
Sambil menunggu Anton, Barra dan Fely melihat-lihat sepatu yang terpajang di etalase toko mereka. Fely sangat tercengang saat melihat harga yang tertera diantara sepatu-sepatu yang toko ini pajang.
Rata-rata harga sepatu di kisaran 950 ribu sampai dengan harga yang sangat fantastis. Fely memang terlahir dari keluarga yang berada. Tapi, ia berfikir dua kali jika harus merogoh sebanyak ini hanya untuk membeli sepasang sepatu saja.
Tidak lama, Anton mengeluarkan dua model sepatu unlimited yang Barra maksud dengan nomor sepatu yang biasa Barra pakai. Anton membuka kotak sepatunya lalu ia perlihatkan pada Barra.
"Ini mas, dua model keluaran yang paling terbaru disini. Untuk warnanya cuman satu aja di tiap model. Mas Barra bisa cobain dulu kedua duanya" Anton menyerahkan dua kotak sepatiu pada Barra yang tentu saja diterima oleh Barra.
Fely menatap dua sepatu yang ada di tangan suaminya itu. Memang harga tidak akan membohongi kualitas. Tapi satu yang membuat Fely tercengang saat suaminya itu langsung membeli kedua sepatu itu tanpa menanyakan harga. Bahkan Barra tidak mencobanya terlebih dulu.
"Saya ambil dua duanya aja mas, bungkus ya" pinta Barra lalu kembali menyerahkan dua kotak sepatu itu pada Anton.
"Baik mas Barra, saya bungkus ya. Pembayarannya mau debit atau cash?"
"Debit aja" Barra mengeluarkan dompetnya yang ia taruh di saku belakang celana chino pendeknya itu. Mengambil black card dengan isi saldo yang lumayan fantastis tentunya.
"Untuk pacarnya ga dibeliin mas?" tanya Anton pada Barra. Barra menatap Fely sebentar.
"Dia ga suka yang kaya ginian, dia suka nya heels sama sepatu- sepatu cewek lainnya" jawab Barra sekenannya. Sedangkan Felly tersenyum kikuk saat Anton mengatakan jika Fely adalah kekasih dari Barra. Lagi pula, tidak mungkin Anton tahu jika Fely adalah istri dari Barra. Secara keduanya masih sekolah.
Fely kembali membelakakan matanya saat melihat benda yang sedang Baara pegang dan diserahkannya pada Anton. Jujur saja, selama menikah Fely tidak pernah mencek dompet Barra walaupun Barra sering menaruh dompetnya di atas meja belajar milik Fely.
"Lo ga tanya harga dulu apa?" bisik Fely pada Barra.
"Ngapain? Kalo gue suka ya beli lah" jawab Barra.
Anton kembali dengan membawa mesin debit card untuk meminta pin atm milik Barra agar proses pembelian barang pria itu bisa di selesaikan dengan cepat. Barra menekan beberapa angka yang merupakan pin ATM nya itu lalu sebuah struk pembelanjaan keluar.
Fely yang melihat itu langsung meraih kertas yang Anton hendak berikan pada Barra. Betapa tercengangnya Fely saat melihat nominal uang yang tertera disana. Barra hampir saja menghabiskan uang 100 juta untuk dua sepatu yang baru saja pria itu beli. Fely tahu Barra anak orang yang sangat kaya. Tapi, Fely tidak menyangka jika Barra memiliki uang sebanyak ini.
"Lo beli sepatu hampir seratus juta" bisik Fely lagi.
"Ya terus?"
"Heh gila, kalo lo kasih uang ini ke gue lo bisa kenyang beberapa bulan tau"
Ditengah bisik-bisik antara Fely dan Barra, Anton menyerahkan satu paper bag yang berisikan dua pasang sepatu milik Barra. Setelah menerima itu, Barra mengajak Fely untuk keluar dari toko sepatu.
***
Karna mendengar ceramahan dari Fely tentang dirinya yang rela merogoh uang hampir 100 juta untuk membeli sepatu, akhirnya Barra membawa Fely kesemua tempat yang Fely mau agar istrinya itu bisa belanja sepuas mungkin. Dengan cara begitu, akhirnya Fely diam juga.
Barra tidak masalah jika Fely belanja sampai habis puluhan bahkan sampai ratusan juta sekalipun. Selagi Fely suka kenapa tidak. Lagi pula sudah kewajibannya sebagai suami dari Fely untuk memenuhi semua kebutuhan gadis itu bukan?.
Fely sendiri sangat kalap hari ini. Setelah diberi kuasa oleh Barra Fely mengambil semua yang ia mau saat itu juga. Fely tidak melihat harga layaknya Barra. Memiliki suami yang sangat tajir melintir membuat Fely serasa dihujani uang begitu saja saat ini. Apalagi Barra yang tidak protes atas barang apapun yang Fely pilih.
Sudah lebih dari lima paper bag berisikan alat make up, skincare, baju, tas, sepatu milik Fely hasil dari merampok isi ATM suaminya. Fey menyerah juga saat ini. Apalagi ia tidak tega jika harus membuat Barra semakin banyak mengeluarkan uang untuknya.
"Lo seriusan udahan belanjanya?" tanya Barra. Fely menganggukan kepalanya.
"Udah ah, lahian mau magrib kita cari masjid dulu abis itu mau makan ramen ya?". Barra kembali menganggukan kepalanya.
"Lo ga ada niatan bawain belanjaan gue apa?" tanya Fely. Tanpa memberi jawaban, Barra segera mengambil alih semua belanjaan yang Fely bawa saat ini.
***
Setelah mengerjakan sholat magrib di masjid yang ada di mall, Barra dan Fely kini sudah berada di tempat ramen. Sesuai apa yang dipinta oleh Fely tadi. Sejujurnya Barra tidak menyukai makanan pedas. Makanya ia memilih untuk memesan ramen original, berbeda dengan Fely yang memilin menu dengan level kepedasan tertinggi. Karna Fely sangat menyukai makanan pedas.
"Hilih, cemen banget sih lo pesen yang ori" komentar Fely saat ia baru mengetahui jika Barra tidak menyukai pedas.
"Bodo amat dari pada gue sakit perut".
"Lagian nih ya, lo tuh jangan kebanyakan makan pedes perut lo sakit tau rasa" lanjut Barra.
"Ya lo jangan doain gue sakit lah gila"
Barra mengangkat kedua bahunya. Ia memilih untuk menghabiskan ramennya saja dari pada harus berdebat lagi dengan Fely. Barra tidak akan menang sampai kapanpun. Jadi, dari pada Barra menghabiskan tenaganya untuk meladeni Fely lebih baik ia fokus pada makanannya saja.
"Barra, gue mau ice cream" pinta Fely.
"Abisin dulu itu makanan sama minuman lo, nanti baru beli sepuas lo aja" jawab Barra.
"Serius?" Barra menganggukan kepalanya.
"Yeay makasih suamikuu" ucap Fely yang berhasiil membuat Barra menoleh ke arahnya.
"Yee gapapa lah disini ga ada yang kenal sama kita juga" ucap Fely yang mengerti akan tatapan Barra.
"Lo ga tau ya, fans gue dimana- mana".
"Hilih, berasa ganteng banget lo" cibir Fely.
"Lah emang gue ganteng".
Apa yang dikatakan Barra benar adanya. Suami Fely memanglah rupawan. Jika dibandingkan dengan semua teman-teman Barra, Barra lah yang paling memukau disana. Wajar saja, jika banyak orang yang suka pada suaminya itu. Tapi, disini tetap Fely lah pemenangnya. Karna Fely dan Barra sudah resmi menikah. Jadi, tidak akan ada yang bisa mendapatkan Barra selain dirinya di dunia ini.
***
TBC.
I hope you like the story
Don't forget to vote and comment
See you in the next part