<~Rolas~>

1081 Words
**Author POV** . . . . Sepanjang perjalanan Yogi hanya diam. Tak ada kata-kata apapun yang ia ucap. Jelas ia benar-benar terpaksa dan Reina jadi bosan sendiri ia menatap ke luar jendela. Pagi ini situasi kota padat merayap. Sepertinya, banyak yang berlibur dan memilih berangkat pagi-pagi begini. Reina melirik Yogi, ia ingin bertanya hanya saja takut salah. Apalagi Yogi saat ini dalam mode judes seperti ini. Sesekali melirik pada sang atasan yang sepertinya tak menyadari kegelisahannya. "Kenapa?" Si judes bertanya tanpa menatap pada Reina. Rupanya ia sadar juga jika wanita di sampingnya merasa gelisah. "Pak, maaf, saya harus kaya gimana ya nanti?" Reina bertanya takut. Yogi melirik, tak ada senyum. "Kaya biasa aja. Seperti kamu ketemu sama mami saya di kantor." Reina mengangguk, mereka telah melakukan kesepakatan sebelumnya di kantor. Yogi telah banyak membaca informasi mengenai Reina dan keluarganya. Sementara, sang sekertaris tak perlu melakukan apapun. Ia telah mengetahui semua tetang atasannya. Tanpa Yogi sadari sepertinya ia memilih seorang yang tepat. Tak perlu banyak penyesuaian. Dan itu menguntungkannya dalam banyak hal. Mobil pemilik Karuna Textile itu melaju tak lebih dari tiga puluh menit untuk sampai di tempat tujuan. Mobil memasuki rumah Yogi,di teras sang mami menanti dengan antusias. Si pucat menatap sang ibu yang tersenyum membuat ia juga ikut tersenyum. "Biar saya yang bukakan pintu nanti," ia berucap pada Reina yang sudah bersiap merapikan tas miliknya. 'Iya, Pak." Mobil berhenti di depan teras. Dengan cepat Yogi melangkah ke luar bergegas membukakan pintu untuk Reina. Sejujurnya, gadis bertubuh tambun itu mengerti sekali ini hanya kesan yang Yogi berikan untuk sang ibu. Hanya saja tiap kali sikap dan kata-kata manis keluar dari bibir sang atasan, makin buat ia jatuh hati. Kali ini yang buat dia ambyar adalah si judes tersenyum lalu merangkul pinggang Reina. Lalu mengajaknya berjalan masuk seraya menyerahkan kunci pada Juki yang ikut menatap dengan heran. Mami menyambut berjalan mendekat, lalu memeluk Reina mengecup kedua pipi gadis itu. "Kok kamu enggak bilang sih Reina?'' "Ii-ya Bu," jawabnya terbata. Kaku dan canggung sekali rasanya padahal ia biasanya mengobrol dengan Nindi. "Mami antusias banget nunggu kita Honey.' Gadis itu syok, menatap Yogi yang menggerakan seikit bola matanya. Meminta Reina untuk tak bersikap seperti itu. "Uhhuuukkk." Sial memang seolah tenggorokannya kering, Reina menelan ludah dan berakhir dengan tersedak. Dengan kurang ajarnya tangan Yogi mengacak rambut Reina. "Saya kan udah bilang kamu jangan gugup." "Jangan gugup dong Reina. Seperti biasa aja." Nindi menggandeng tangan Reina mengajaknya duduk di ruang tengah. Rumah yang bisa dibilang cukup sederhana untuk ukuran rumah bos besar. Nindi memang tak pernah mempunyai keinginan untuk pindah dari sana. Rumah itu peninggalan sang suami yang di beli semasa awal kejayaan Karuna textile, tempat dimana Yogi lahir dan dibesarkan. Semua kenangan yang berharga yang tak akan ia lupakan tentu saja. "Gimana kamu sehat 'kan?" "Alhamdulilah, Bapak bilang Ibu Nindi sakit?'' Nindi menatap Yogi. ''Bapak?" Yogi tersenyum. "Honey, kan ini bukan kantor?" Saat Nindi menatap Reina kembali, Yogi menggelengkan kepala seraya menyilangkan tangannya dii depan wajah. Ia meminta Reina tak memanggilnya dengan sebutan 'bapak'. "Kamu kok masih panggil Yogi 'bapak' sih?" "Hehehe, iya Bu kebiasaan." Nyengir jadi andalan bbuat Reina. Tak tau bagaimana menanggapi dengan tepat. "Mas Yogi .., bilang ibu sakit?" Mami senyam-senyum mendengar Reina memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan 'Mas'. "Lucu kalian, yang satu manggilnya mas yang satu honey. Mami sehat deh nih, liat kaya gini." Mami melirik pada Reina. Menggenggam tangan Reina. "Mulai sekarang panggil saya mami ya. Hmm?" "Oo-oke Mami." Obrolan dimulai membahas makanan enak tentu saja. Reina dan Mami memang paling cocok membicarakan perihal jajanan. Yogi hanya menatap keakraban keduanya dirinnya bahkan seperti tak dianggap oleh sang ibu. "Mami mau aku buatin apa? Mumpung aku di sini. Biar mami sehat." "Mami ingat dulu kamu pernah bawa ayam bakar itu. Bisa?" Reina coba mengingat. "Ah, itu buatan Ibu Mi, Reina enggak yakin bisa masak seenak itu. Biar aku tanya ibu dulu ya?" "Loh, ibu kamu memang di mana?" "Di kampung nemenin eyang sakit.'' Reina baru saja akan beranjak ke depan sebelum tangan Nindi menahannya. "Di sini aja, kaya sama siapa gitu.' Dengan terpaksa ia menghubungi ibu di depan Nindi dan Yogi yang sibuk dengan ponselnya sendiri. "Assalamuallaikum, ibu?" "Waalaikumsalam. Opo Nduk?" "Bu, Reina bisa minta tolong ibu kirimkan chat, resep ayam bakar yang biasa ibu buat?" "Ayam bakar solo? Buat siapa tho?" Reina melirik pada Bu Nindi. "Buat Ibu Nindi." Sementara Nindi jadi tertarik kemudian meminta ponsel dari tangan Reina. Mau tak mau ia memberikan ponselnya. "Bu, Bu Nindinya mau ngomong." "Assalamuallaiku Jeng," sapa ramah Nindi pada calon besannya. "Waalaikumsalam Bu," Ibu masih menyapa sopan karena yang ia ketahui adalah yang saat ini berbicara padanya adalah ibu dari atasan anak gadisnya. "Santai aja Jeng, sebentar lagi kan kita besanan." "HAH?! BESANAN SAMA SIAPA BU?!" Nindi melirik Reina seolah bertanya apa ia belum memberitahu orang tuanya. Reina hanya mengangguk memberitahu jika memang ia belum memberitahu. "Anak saya sama Reina dong Jeng. Siapa lagi." "PAK YOGI? BOS KARUNA TEXTILE?'' Teriakan ibu kali ini sampai membuat Nindi menjauhkan ponsel dari telinganya. "Bu jangan teriak-teriak." Reina meminta. "Astagfirullah maaf Bu, kaget saya. Reina enggak bilang saya. Ya Allah ngimpi opo iki? Beneran tho Bu anak saya mau pacaran? Kemarin saya tanya, enggak mau nikah lho Bu. Tolong itu di kurek kupingnya Bu." Nindi menahan tawa, mendengar reaksi yang diberikan oleh calon besannya. "Iya, tenang aja Jeng, saya paksa nikah cepat sama anakku. Kan biar kita bisa cepat dapat cucu tho?" Mendengar kata cucu tatapan Reina membulat, ia lalu melirik pada Yogi yang terus fokus pada ponselnya. Apalagi yang ia lakukan kalau tak sibuk chating dengan Disha. Seolah Reina kini menjadi tumbal untuk rencana keduanya. Sementara Nindi dan Ratih sibuk membicarakan masa depan kedua anak mereka yang sepertinya hanya akan ada dalam angan dan harapan keduanya. Perihal cucu yang utama dan akan sulit untuk diwujudkan. Keduanya hanya akan menikah secara pura-pura dan pastinya tidak akan ada hubungan lain di luar kontrak yang akan bisa membuat Reina mengandung anak dari Majendra Yogi Finanda. Reina tau, hanya Disha yang akan bisa mengabulkan itu semua. Reina sesekali menatap kebahagian Nindi, saat ini rasa bersalah menyeruak. Bagaimana, kalau pada akhirnya Nindi dan Ratih, kedua ibu yang kini tengah tertawa dan membayangkan masa depan kedua anak mereka yang akan dipersatukan. Kemudian mengetahui jika hubungan keduanya hanya omong kosong? *** Jun dan Bumi berada di rumah. Sore ini Bumi duduk menatap pagar menunggu Reina pulang. Sementara Jun sibuk menatap ponsel yang penuh dengan urusan pekerjaan. Ia menatap Bumi. "Enggak usah di tungguin." "Biasa nunggu." "Kelamaan nunggu jadi kehilangan," sela Jun kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD