~>Telulas<~

1218 Words
**Reina POV** . . . Setelah pertemuan kemarin dengan Ibu Nindi, aku enggak bisa mundur kan? Ini sudah dimulai. Simulasi membuat diri sendiri baper tanpa harus memiliki. Ah, sial kenapa juga harus seperti ini? Pak Yogi manis buat diabetes setiap ada orang lain. Begitu yang lain pergi dan kami berdua, sikap dinginnya datang lagi. Malah kadang kami saling diam dia sibuk sama dunia dari dalam ponselnya. Hari Minggu, enak untuk beristirahat. Besok Senin bakal perang lagi sama jadwal Pak Yogi. Mulai memasuki masa riweuh menuju awal bulan. Aku sudah terbiasa dengan semua teriakan, caci-maki, dan deham dari mulut bosku jika ada kesalahan dan keterlambatan. Dan itu selalu terjadi, selalu ada yang salah dan terlambat memberikan laporan akhir bulan. Aku maklumi karena memang aku sendiri sering sekali kesulitan membuat rekap data yang diminta Pak Yogi. Siang mendung, aku duduk di ruang tengah menonton televisi. Mas Jun sibuk di taman belakang. Kakak kandungku itu perusak, enggak tau apa lagi yang dia perbuat. Minggu lalu keran air patah, padahal sudah diganti bapak dengan yang besi, hari sebelumnya sok-sokan ganti lampu kamarku, yang berkahir dengan korsleting listrik. Enggak tau kenapa, padahal aku biasa sendiri pakai tongkat untuk pasang lampu lancar jaya. Tangan Mas Jun memang ajaib. Untung aku sayang .... Minggu ini hanya ada sedikit acara kartun. Ingat jaman aku kecil dulu. Pagi dimulai dengan sailor moon, lalu Maruko Chan, P-man, Doraemon dan banyak lagi sampai pukul satu siang. Setelahnya ada film China tentang vampir. Ya, itu jaman dulu. Pantas anak-anak jaman sekarang lebih memilih asik main di luar. Mereka belum tau rasanya menanti acara favorit pengisi liburan. Meski aku tau juga kalau anak-anak kekinian, lebih mudah mencari acara favorit mereka dari gadget. Anak SD bahkan TK sudah memiliki ponsel. "Dek jalan yuk." Mas Bumi menghampiri lalu duduk di sampingku. "Ke mana?" "Makan siang, di restoran yang paling jago masalah ayam. Mas sekalian mau ketemu Tedi. Kita makan siang sekalian." "Aku mengangguk, okelah kalau masalah di traktir. Aku ganti baju dulu." Aku segera berdiri dan berjalan menuju kamar. Tak lama untuk berganti pakaian. Hanya mengganti dengan t-shirt hitam dan mengganti celana dengan celana jeans. Setelahnya, kembali turun Mas Bumi sudah ada di dalam mobil. Aku ke taman belakang melihat Mas Jun. Kakakku itu sedang duduk di kursi taman kami. Tersenyum ketika menatapku. "Aku mau ikut Mas Bumi ya Mas?" "Iya, sana." "Mas enggak ikut?" Mas Jun menggeleng. "Males ah, mau tidur. Dah sana, hati-hati." Kukecup tangan Masku sebelum akhirnya melangkah ke luar. Lalu masuk ke dalam mobil Mas Bumi. Segera memakai sabuk pengaman, lalu mencari posisi duduk yang enak. "Skuy Mas!" Ia hanya tersenyum dan menggeleng melihat semangat ku hari ini. Mobil kami melaju, di ibukota yang lengang. "Rei." "Apa Mas?" "Kenapa akhirnya kamu memilih laki-laki itu untuk jadi pacar kamu?" Kenapa juga Mas Bumi malah tanya masalah Pak Yogi? Sumpah aku tuh malas. Setiap aku ingat tentang ide gilanya rasa bersalah muncul. Aku bahagia mendengar ibu juga terdengar bahagia ketika aku punya pacar. Lalu tiga tahun lagi? Aku harus menyaksikan ibu yang mungkin akan terluka karena anaknya yang berubah status menjadi janda. "Hmm, apa ya Mas?" Mas Bumi melirik. "Apa spesialnya dia?" "Dia itu spesial banget kalau judes sama orang, galak, perfeksionis, gila kalau udah kerja. Enggak ada bagusnya." Mas Bumi terdiam sesaat. Menatap jalan yang sepi hari ini. Apa jawabanku salah dan mencurigakan? "Eh, tapi Pak Yogi itu kalau udah sayang sama seseorang beda kok Mas. Dia perhatian banget." Tak ada jawaban hanya anggukan dari Mas Bumi. Yang buat aku deg-degan. Kenapa Mas Bumi diam? Bahkan enggak ada senyum dari bibirnya. Mas Bumi juga cari tahu tentang kebenaran hubunganku sama Pak Yogi? "Rei," panggilnya. "Hmm, apa Mas?" "Kalau—" "Kalau?" Mas Bumi diam lagi. Sebel juga sama sikapnya hari ini. "Mas kalau apa?" "Eh? Mas lupa. Hahahaha. Lagi mikir tadi laptop udah aku bawa belum ya?" Aku menoleh ke belakang, melihat laptop miliknya yang berada di belakangnya. "Ada Mas." "Untung Mas enggak lupa." Mas Bumi melirikku, tersenyum dan mengacak rambutku. "Mas cuma berharap dan berdoa untuk kebahagiaan kamu. Dengan siapapun, asal kamu bahagia Mas ... Rela." Hmm, andai Mas Bumi tau kalau ini sama sekali bukan jalan menuju kebahagiaan. Entah suami seperti apa Pak Yogi nanti. Jadi bos aja kaya gitu. "Iya Mas," sahutku seadanya. Mobil kami memasuki tempat tujuan. Aku tau Tedi sudah datang, tadi aku lihat mobilnya terparkir di parkiran depan. Kami turun, kuambil laptop milik kakakku sebelum turun. Mas Bumi mengambil alih kemudian menggandeng tanganku. Sejak dulu selalu seperti ini. Mas Bumi kakak sepupu yang paling perhatian. Beda banget sama kakak sepupu yang lain. Apalagi Mas Haris yang judesnya sama kaya Pak Yogi. Digandeng Mas Bumi itu hangat tapi licin, tangannya sering banget keringetan. Aku sudah minta Masku untuk cek kesehatan. Aku takut, setelah baca artikel kalau tangan keringetan itu bisa jadi salah satu ciri sakit jantung. Tapi, Mas Bumi bilang dia sehat. Kami masuk mencari di sekeliling. Aku melihat Tedi yang duduk sendirian. Ia melihat kami berdua lalu melambaikan tangan. Berjalan menghampiri aku duduk di samping Tedi yang melirik ku kesal. "Siapa nih." "Kekasih gelap mu." "Bayar listrik bos, biar enggak gelap-gelapan," ketusnya. Sialan memang Tedi, kalau ngambek macam perempuan PMS. "Lo masih marah?* "Menurut ngana?" jawab Tedi sambil memerhatikan Mas Bumi yang mulai membuka laptop miliknya. "Kemarin gue ke rumah Pak Yogi. Udah ketemu sama Mami—" "Uhhukkk! Mami?" Tedi bertanya sambil melotot. Sebel banget rasanya pingin colok mata temanku ini. "Iya, malah kemarin udah telepon Ibu." Mas Bumi menoleh. "Kamu telepon Bulek?" "Iya Mas, biar clear semua. Karena Mas Yogi mau kita nikah cepat." Asik Reina nipu terus! Makin lancar berbohong rasanya aku sekarang. Tapi, memang itu yang dikatakan Pak Yogi. Paling tidak dua atau tiga bulan lagi kami menikah. "Mas Yogi?" tanya Tedi. "Pak Yogi kalau di kantor." "Owh, ada panggilan sayangnya tho." Aku tau Tedi menyindir dan ia masih kesal. "Lo kan suka cowok hangat, perhatian, care kaya Jimmy. Kenapa putar haluan jauh banget?". Ku lirik Mas Bumi yang sibuk dengan laptop miliknya. Rasanya, bagus juga kalau Mas Bumi enggak tertarik dengan pembicaraan ini. "Iya karena—karena waktu aja. Gue terlalu banyak habiskan waktu sama Pak Yogi. Jadi sayang, gitu. Hehehe .., sesimpel itu kok." Aku gugup. "Mau pesan apa kamu Dek? Biar Mas pesan sekalian. Haus banget panas gini." "Aku ikut Mas." "Kamu di sini aja. Biar Mas pesennin." "Aku sama kaya Mas Bumi aja." Kakakku mengangguk lalu berjalan meninggalkan aku dan Tedi. Padahal langit mendung, Mas Bumi malah kegerahan. "Reina," panggil Tedi. "Gue sebagai temen cuma bisa dukung. Cuma perubahan lo tuh kaya jauh banget gitu." "Semua orang bisa berubah Ted." "Li tuh manusia yang paling konsisten. Dari lo SMP sampai sekarang enggak ada yang banyak berubah. Kecuali lo sekarang bisa makeup; dulu tomboi, suka nyuri mangga Pak haji, badan gede tapi usilnya enggak karuan. Selain perubahan sikap Lo dari tomboi ke saat ini yang agak wanitawi. Gue tau banget pola pikir lo." "Ted, percaya sama gue kali ini. Hmm? Doain aja yang terbaik." Tedi menatapku, seolah mencari kebenaran di sana. "Gue coba percaya. Gue cuma bisa doain yang terbaik." Aku hanya mengangguk. Maaf .... *** . . . Halo assalamualaikum terima kasih untuk semua yang membaca ceritaku ini. Terhura... Maaf untuk kekurangan di sana sini. . Aku akan balas/like komen setiap update ya...kalau aku balas komen tandanya aku update chapter baru . Sekali lagi terima kasih...?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD