Arkan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dia takut, jika ada nyawa yabg melayang karenanya. Sesampainya di kampus, Arkan menuju lantai atas tempat Silvi berada. Kampus hari ini terlihat sepi, sebab hanya beberapa lorong yang terisi anak-anak yang sengaja untuk duduk bersantai.
Arkan memilih untuk berlari melalui tangga darurat agar lebih cepat. Tapi, sesampainya di atas dia tak menemukan siapapun di sana. Arkan semakin merasa khawatir, takut dia terlambat untuk datang ke sini.
Arkan kembali meraih ponselnya, lalu menghubungi teman Silvi kembali.
"Hai, kamu di mana?" tanya Arkan dengan perasaan campur aduk. Dia yang sedang sedih, bersamaan dengan rasa khawatir membuat emosinya tak terkontrol.
"Di dekat tangga," jawabnya.
"Tangga?" Arkan bertanya, tetapi sembari menghampiri tempat yang dimaksud.
Dia melihat Silvi tersenyum ke arahnya. Dia terlihat baik-baik saja, tak seperti yang diucapkan.
"Kamu?" Emosi Arkan memuncak, karena merasa dibohongi oleh Silvi.
"Yups, aku seperti yang kamu lihat. Ternyata masih ada rasa simpati dalam dirimu untukku. Sudahlah kau bersamaku yang jelas mencintamu, buat apa kau mengejar seseorang tak pernah melihat akan keberadaanmu," ujar Silvi.
Arkan memilih untuk nyelonong pergi, dari pada emosi yang meluap menimbulkan keributan di sini.
"Arkan ... Arkan. Kau harusnya sadar.
Kau hanya angin yang jelas keberadaannya, namun tak nampak di matanya. Kau juga bagai badut untuknya, yang datang hanya untuk menghiburnya, tetapi diacuhkan saat dia kehilangan rasa sedihnya. Kau memang pantas memperjuangkan, tapi jika ia bagai pelangi yang indah namun sulit untuk digapai untuk apa? Bukan kebahagiaan yang kau dapat, tapi kekecewaan yang semakin dalam. Kau bisa bersaing dengan seseorang yang menyukainya. Tapi ingat, kau tak akan pernah bisa bersaing dengan seseorang yang ia sukai." Silvi mengatakan itu, saat Arkan berada beberapa langkah di depannya..
"Diam!" bentak Arkan.
"Ingat apa yang kau ucapkan. Sampai kapan kau akan terus begini?" Silvi mencoba menyadarkan Arkan.
Tapi, Arkan yang kekeh dengan pendiriannya tak akan pernah tinggal diam.
"Jika aku hanya sebagai angin, yang tak pernah nampak di matanya. Oke, nggak apa-apa. Tapi, aku saat ini ingin menjadi angin yang ada untuk menghidupinya. Aku tak ada maka dia akan mati untuk selamanya. Dia tak akan pernah bisa hidup tanpa diriku. Simpelkan?" jawab Arkan seraya menyeringai. Arkan kembali melanjutkan langkahnya, sebab terlihat Silvi terbungkam dengan jawabannya.
Silvi lantas memukul tembok yang terdekat dengannya. Tangan yang sebelumnya sudah berdarah, saat ini berdarah kembali karena ulahnya .
"Heh, Silvi. Jangan! Kamu mau, Arkan dimiliki orang lain? Semakin sering kau menyakiti dirimu sendiri, itu pertanda kamu berharap jauh dari orang yang kamu cinta. Dampaknya, elu bakalan punya pikiran buat bunuh diri juga tuh. Kalau elu mati, Arkan dan pasangannya bangga karena nggak ada yang mengganggunya." Temannya mencoba memanasi Silvi, sebab itu cara agar Silvi berpikir logis lagi.
Amarah Silvi mereda karena kelakuan temannya. Sedangkan Arkan, dia bergegas kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Siallan!" teriaknya sembari memukul setir mobil itu. Perasaannya campur aduk, dia tak paham harus berbuat apalagi. "Vanesa! Kenapa ... Kenapa kita dipertemukan jika tidak mungkin bersatu? Jika aku bisa memilih, tak mau menaruh perasaan terhadapmu jika harus menanggung rasa sesakit ini."
Arkan memilih untuk pulang ke rumahnya. Dia mengurungkan niat untuk mencari Vanesa, sebab dia sadar jika bukan siapa-siapanya.
Sedangkan Vanesa, saat ini duduk berdua bersama Zenio. Mereka sama-sama canggung untuk memulai ngobrol.
"Kok diam?" tanya Zenio ke Vanesa.
"I-iya, kamu sendiri juga tidak ngomong, sih," jawabnya.
"Ehm, kamu kuliah di mana?" tanya Zenio.
Vanesa pun menjawab sesuai nama universitasnya. Mereka yang awalnya canggung, lama-lama mencair dengan sendiri.
"Eh, maaf, ya. Entah kenapa, saat ketemu kamu kek pada waktu yang nggak tepat gitu. Pasti aku sedang buru-buru," gumam Vanesa merasa tidak enak hati ke Zenio.
Zenio yang awalnya terlihat angkuh dan menyebalkan, ternyata asik saat sudah dekat seperti ini. Dia orang yang asik saat di ajak ngobrol.
"Halah, nggak apa-apa, kok. Itu pun sama denganku, pasti aku pas lagi repot-repotnya. Sesimpel itu jodoh bertemu," celetuk Zenio. Dia berusaha mengajak Vanesa bercanda, agar suasa tak kembali canggung karena kesalahan masing-masing.
"Eh, apaan, sih. Jodoh beneran, baru tahu rasa!" jawab Vanesa dengan mulutnya yang cemberut.
"Hahaha. Lucu juga kamu ternyata," ujar Zenio.
Mereka melanjutkan ngobrol, hingga hari pun bergulir terasa cepat. Vanesa pun memutuskan pulang untuk hari itu. Pertemuan yang sangat singkat tapi membuat mereka akrab secara cepat. Orang yang saling acuh, saat ini bagai teman lama yang jarang bertemu. Pertemuannya tanpa di sengaja, hadirnya pun bukan karena keinginannya.
Saat Vanesa sedang duduk bersantai di teras rumahnya, terlihat mobil berhenti tepat di depan pintu pagar.
"Ngapain lagi, sih?" gumam Vanesa, lalu memilih untuk beranjak dari tempat duduknya. Vanesa melangkah hendak masuk ke dalam rumah, sebab ingin menghindar dari Arkan.
"Van!" teriak Arkan.
Vanesa memilih untuk acuh dan tetap melangkahkan kakinya.
"Aku mau ngomong sama kamu sebentar. Van!" teriak Arkan lagi.
Vanesa sengaja tak menggubrisnya, agar Arkan cepat pergi dari sana.
"Aku nggak akan pergi dari sini, sampai aku bisa ngomong saka kamu!" tegas Arkan.
Bukannya luluh, tapi Vanesa tetap dengan pendiriannya untuk menjauh. Kamar Vanesa yang terletak di lantai atas, membuat dia mempermudah melihat Arkan dari sini. Dia mengintip dari jendela, apa anak itu masih berada di tempat yang sama.
Matahari yang begitu terik, tak membuat Arkan mengurungkan niatnya. Laki-laki yang baik, akan selalu berpegang teguh dengan apa yang diucapkannya.
Satu jam terlewatkan, Arkan masih tetap berdiri di tempat yang sama. Wajahnya memerah karena terik matahari yabg begitu panas mengenai kulit. Vanesa menjadi tak tega dengan Arkan yang kekeh dengan pendiriannya.
Vanesa memilih meredam egonya hanya karena tak ingin orang tersakiti fisiknya oleh dirinya. Dia kembali menuruni anak tangga, lalu menghampiri Arkan. Dari kejauhan mata Arkan berbinar kala melihat Vanesa berjalan menghampirinya.
"Van," sapa Arkan saat dia berada di depannya.
Bukannya menjawab, justru Vanesa sama sekali tak menatap ke arahnya.
"Jadi ngobrol, nggak? Buruan masuk, biar aku yang kemudikan. Aku nggak mau kecelakaan gara-gara orang teledor nantinya." Vanesa ternyata masuk ke dalam mobil Arkan dan duduk di kursi kemudi.
Arkan hanya terperangah melihat Vanesa melakukan itu.
"Kenapa bengong? Jadi nggak, kalau enggak aku kembali ke rumah," ancam Vanesa.
Arkan pun lantas masuk ke dalam mobil. Dia masih tak menyangka, jika Vanesa mau menemuinya saat ini.
"Ngomong mau ke mana? Nggak usah buang-buang waktu," ujar Vanesa dengan ketus.