Bab 8. Hati Arkan

1005 Words
8Tak berselang lama, akhirnya Vanesa mrnghentikan mobil di depab salah satu rumah yang mewah. Saat itu, terlihat Zenio bsrgegas turun, tapi Vanesa untuk membuka pintu pun terasa enggan. "Mampir dulu yuk, Van," ajak Zenio. "Takut," jawabnya secara spontan. "Hah, takut apa? Aku bukan orang jahat, kok. Yuk," ajak Zenio. Vanesa pun yang merasa tidak enak hati, akhirnya memilih untuk turun. Dia hanya tak ingin dianggap tak sopan, sebab tak menghargai ajakan orang. Mereka pun akhirnya berjalan berdampingan menuju pintu utama rumah ini. Bel berbunyi saat Zenio memencetnya, dengan secepat kilat pintu itu pun terbuka. "Mbak, tolong siapkan cemilan dan minuman di halaman belakang, ya. Aku mau bersantai di sana. Tolong anterin dia terlebih dahulu," pinta Zenio. "Baik, Den," jawab asisten rumah tangganya. Zenio lantas menoleh ke arah Vanesa. "Kamu tunggu di halaman belakang rumah ini, ya. Biar Mbak yang nganterin kamu, aku mau ganti baju dulu." "Iya," jawab Vanesa. Vanesa pun diantar oleh asisten rumah tangga Zenio menuju halaman belakang. "Pacarnya Mas Zen ya, Non?" tanya asisten rumah tangga ke Vanesa. "Eh, bukan. Aku temennya kok, temen baru, sih. Soalnya baru kenal," jawab Vanesa dengan santai. Halaman rumah yang begitu luas, dibuat bak taman yang sangat indah. Saung-saung kecil didirikan untuk melengkapinya. Bunga-bunga yang ditanam menambah keindahannya. "Tunggu sini ya, Non. Biar saya ambilkan cemilan dulu," ujar asisten rumah tangga Zenio. Vanesa duduk sembari memainkan ponselnya. Saat itu, terlihat puluhan pesan masuk dari seseorang untuk menanyakan keadaannya. Orang itu tentunya Arkan, siapa lagi kalau bukan dia yang selalu khawatir jika tak mendapatkan kabar dari Vanesa. Dia yang terlalu mencintai meski tak pernah dihiraukan tetap kekeh untuk mempertahankan apa yang menjadi tekadnya. Ponsel Vanesa terdengar berdering, dia lantas menatap layar ponsel itu. Dia mendengus kesal, saat hendak menjawabnya. "Halo, kenapa?" tanya Vanesa dengan ketus. "Kamu nggak masuk?" tanya Arkan dari seberang telepon. Sebelum Vanesa menjawabnya, saat itu terlihat Zenio datang menghampiri. "Siapa? Dicari?" tanya Zenio saat baru datang. Arkan tentunya mendengar suara laki-laki itu. "Eh, nggak kok. Temenku tanya," jawab Vanesa ke Zenio. "Kamu di mana, Van? Sama siapa?" Arkan menodong pertanyaan itu. "Bukan urusanmu!" Vanesa lantas memutuskan panggilan dari Arkan, lalu menonaktifkan panggilannya. Arkan yang berada di kampus bukan hanya merasa khawatir, tapi saat ini terasa sesak di dalam dadanya. Bak dihujam pisau berkali-kali, saat mendengar suara Vanesa bersama laki-laki. Dia tahu, kalai bukan siapa-siapa dari Vanesa, tapi selama ini Vanesa selalu beralasan untuk fokus kuliah saat menolaknya. Hal yang sama selalu diucapkan berkali-kali, tapi nyatanya kebohongan semata yang di dapatkan saat ini. Dia menahan air mata yang hendak terjatuh, sehingga menimbulkan rasa sesak yang begitu teramat. Dia memutuskan untuk pergi ke parkiran. Arkan menuju mobilnya, tapi saat itu juga dihentikan oleh Silvi wanita yang selalu ambisius untuk memiliki hati Arkan. "Kamu mau ke mana?" tanya Silvi sembari mengernyitkan dahinya. "Bukan urusanmu!"jawab Arkan dengan ketus. Dia terburu-buru untuk masuk ke dalam mobil, tanpa mendengar celotehan dari Silvi. "Arkan!" teriak Silvi, saat melihat mobil Arkan menjauh. Dia meraih ponselnya hendak menghubungi seseorang, tapi tak berselang lama justru dia terlihat marah dan membanting ponselnya. Ponsel itu baru ia beli hati ini, harus remuk luluh lantak karena emosi dia yang terlalu tinggi. "Silvi, kamu kenapa?" tanya salah satu temannya. "Kenapa harus Vanesa yang memiliki hatinya? Kurang apa aku ini?" Silvi menangis meraung-raung. Temannya saat ini berusaha untuk menenangkan Silvi. Arkan yang saat ini mengemudikan mobilnya, hanya memikirkan satu tujuan yang akan dihampiri. Dia tidak tinggal diam, terus menerus menghubungi nomor Vanesa namun hasilnya nihil. Nomor itu tidak aktif untuk saat ini. Air mata yang sedari tadi ia bendung, akhirnya tumpah saat mengingat suara laki-laki yang bersama Vanesa. Rasa sakit karena cinta yang begitu mendalam menimbulkan kekecaewaan yang tak dapat di jelaskan menggunakan kata-kata lagi. Dalam benak Arkan justru berkata. Jika aku harus menjadi mentari, yang selalu ada tapi tak pernah kau sadari, aku ikhlas untuk menerimanya. Rasa sayang yang begitu dalam aku pendam dalam lubuk hatiku, biarlah sirna dengan seiring berjalannya waktu. Mungkin kau tahu dan menyadarinya, tapi kau begitu angkuh untuk memahaminya. Aku bagai senja bagimu, yang selalu menawarkan keindahan, namun enggan untuk kau tatap. Aku tak bisa menyalahkanmu, sebab aku yang terlalu berharap padamu. Terkadang aku ingin marah dengan keadaan, tapi aku tak mampu. Kenapa cinta harus dihadirkan, jika kita tak pernah ditakdirkan untuk menyatu? Kau dan aku bagaikan matahari dan rembulan, keberadaannya dekat namun sulit untuk bertemu. Dia begitu tulus mencintai Vanesa meski selama ini rasa sakit yang selalu ia dapatkan. Semakin ia memaksa untuk menghilangkan rasa ini, maka semakin sakit yang ia rasakan. Arkan tak tahu, harus bersikap seperti apa. Dia tak memiliki hak sama sekali untuk masalah hati Vanesa. "Kenapa aku harus mencintaimu sedalam ini, Van? Begitu boddohnya aku, sudah tahu jawaban apa yang aku terima tapi justru aku ngeyel kekeh untuk melewatinya. Aku benci dengan diriku sendiri!" teriak Arkan. Dia seraya meminggirkan mobilnya untuk berhenti. Dia mengurungkan niat untuk ke rumah Vanesa. Dia hanya takut Vanesa semakin jauh dengan dirinya, karena sikap bodohnya itu. Arkan tak tahu lagi, harus berjuang berapa lama lagi. Cinta tak dapat dipaksakan, sebab hanya dia yang akan merasa bahagia tapi untuk Vanesa tak akan mungkin merasakan. Percuma memiliki fisiknya, tapi hatinya bukan untuknya. Terlalu pecundang menangis karena cinta, tapi apa boleh buat jika hanya itu yang dapat dilakukan untuk saat ini. Terdengar suara ponsel Arkan berdering. Dia meraihnya, lalu menjawab panggilan tanpa menatap nama siapa yang ada di sana. "Arkan, kamu di mana?" tanya salah satu teman Silvi. "Silvi mau bunuh diri, Arkan. Aku mohon hentikan ini semua." Arkan matanya terbelalak mendengar perkataan itu. Dia tak ingin semakin merasa bersalah, sebab kematian seseorang karena ada sangkut pahutnya dengan dirinya. "Beggo banget, sih. Kalian di mana, biar aku ke sana?" tanya Arkan. "Di kampus, kamu buruan ke sini. Tolongin, bujuk Silvi agar tak nekat melakukan ini semua," rengek temannya. "Iya, oke. Tunggu, ku segera ke sana," pinta Arkan. Arkan yang notabennya tak pernah tega ke wanita, langsung bergegas putar balik untuk kembali ke kampusnya. Yang saat ini ia rasakan bukan karena merasa bersalah ke silvi, justru rasa takut. Dia takut, jika Silvi mengakhiri hidupnya karena menaruh harapan padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD