Arkan ingin mengajaknya ke tepian pantai yang emang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat mereka. Vanesa hanya menuruti keinginan Arkan, meski dia yang harus pegang kemudi.
Tak berselang lama, mereka pun sampai. Vanesa kali ini lebih tenang dan merespon Arkan dengan baik. Dia tahu apa yang dilakukan Arkan, membuat tak tega menyakitinya untuk saat ini. Arkan dan Vanesa pun turun. Mereka berjalan berdampingan, dan duduk di batu besar yang berada di jalanan besar dekat pantai.
"Kamu nggak capek, ngejar aku terus?" todong Vanesa.
"Enggak, kok. Jujur, sakit, sih. Tapi, kalau memang ini ini jalannya apa boleh buat aku tanggung semuannya," jawab Arkan.
Vanesa memalingkan wajahnya. "Rasa yang hadir dalam hati orang tidak pernah tahu bagaimana nantinya. Aku tuh nggak masalah kau mau nolak atau apa, tapi aku mohon kejujuranmu. Kenapa kau bilang akan menunggu jika saat ini kamu milih orang untuk jadi kekasihmu."
"Hah, maksud kamu apa, sih?" tanya Vanesa mengernyitkan dahinya . Dia berputar kembali menatap Arkan.
"Kalau nggak mau, bilang nggak mau aja. Biar aku nggak terlalu berharap ke kamu. Jangan bilang kalau fokus kuliah untuk menutupi perasaanmu. Sakit itu, Van," jawab Arkan. "Aku menaruh harapan besar ke kamu sebab ucapanmu itu. Kayak merasa ada peluang untuk cintaku ke kamu gitu."
"Sumpah, aku nggak paham apa yang kamu ucapkan itu, Arkan. Aku sampai saat ini memang masih ingin fokus kuliah, tapi untuk ke depannya aku belum tahu pasti seperti apa," jawab Vanesa.
"Kau tak masuk kuliah karena kekasih barumu kan? Bahkan kau selama ini acuh terhadapku gara-gara dia?" tanya Arkan seakan-akan menghakimi.
"Hah! Hahahaha. Kenapa kau menghakimiku seperti itu. Kenapa kau tak tanya aku baik-baik saja atau tidak? Apa aku sehat atau nggak? Hahaha. Belum jadi pasangan aja, posesif banget kau itu." Vanesa menyeringai menatap Arkan.
"Bu-bukan begitu, Van. Aku tadi mendengarmu dengan seorang pria makanya berpikir kau hanya mempermainkan perasaanku. Lalu, kau kenapa? Apa kamu ada yang terluka?" tanya Arkan yang saat ini terlihat sedikit panik.
Vanesa kembali menyeringai, tapi tak kunjung menjawab pertanyaan dari Arkan.
"Kamu kenapa, Van?" tanya Arkan.
"Nggak apa-apa. Rubah sikapmu, maka aku akan memantaskan diri bersanding denganmu. Aku tak pernah berjanji akan bersanding denganmu saat ini atau beberapa tahun lagi. Berdoa aja, dibukakan hatiku untukmu," jawab Vanesa. Dia tak menjawab sama sekali ada apa dengannya hari ini. Namun, dengan itu membuat Arkan tersenyum lebar.
"Van, maafin aku, ya. Aku memang salah, terlalu egois sama kamu. Aku janji akan merubah sifatku hanya untukmu," ujar Arkan mencoba meyakinkan.
"Hahaha, jangan jadi seseorang yang bodoh. Kau berhak menentukan sikapmu. Jangan pernah terpengaruh dengan orang lain. Aku suruh kau berubah, apa kau akan berubah beneran?" Vanesa menatap Arkan dengan matanya yabg bersorot tajam. "Jadi orang jtu, punya pendirian yang kuat. Kau akan jadi imam, jadi wajib mengarahkan kekuargamu. Kalau kau plin-plan yang ada kau dimanfaafkan," tegur Vanesa.
"Iya, Van," jawab Arkan.
"Dahlah, Arkan. Kamu jangan terlalu seperti ini, kita ikuti alurnya. Kalau pun kita suatu saat memang ditakdirkan jodoh, seperti apapun bakal bersatu. Kau boleh dekat sama siapa pun, begitu juga denganku, sebab kita tak ada ikatan dengan siapa pun. Makasih, ya. Kamu sudah baik dan memberikan rasamu kepadaku seerti itu. Tapi, maaf jika aku masih belum bisa membalasmu. Kita temenan biasa aja, ya. Kalau kamu terlalu ngeyel dengan apa yang kamu rasakan, aku jatuhnya risih. Bukannya kita semakin dekat, tetapi malah aku akan menjauh," jawab Vanesa.
Vanesa dan Arkan mencoba memahami keinginan masing masing untuk saat ini. Vanesa juga tak bisa melarang Arkan untk menyukainya, sebab rasa suka hadir dengan sendirinya. Setelah cukup lama ngobrol dan mencoba saling mengerti, mereka pun memutuskan untuk kembali pulang.
"Van, makasih waktunya, ya," kata Arkan saat mengantarkan Vanesa di depan rumahnya.
"Iya, Arkan. Makasih juga atas pengertiannta," jawab Vanesa saat turun dari mobil.
Setelah itu, Arkan melajukan mobilnya menjauh dari sana. Sedangkan Vanesa melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
Dia melangkah secara perlahan sembari memikirkan Arkan. Vanesa tahu, jika dia terlalu egois memilih untuk meminta Arkan memahaminya, sedangkan dia tak mau mengerti Arkan saat ini.
Vanesa merebahkan tubuhnya di atas kasur terlihat pesan masuk di layar ponselnya. Zenio mencoba mendekat dengannya.
Berawal dari chatingan yang membuat mereka merasa nyaman satu sama lain. Zenio dan Vanesa semakin deket setiap harinya. Sedangkan Arkan harus merasakan sakit kala setiap kali dengan Vanesa.Dia tak ingin menjauh, tetapi jika dekat serasa ingin memaksa Vanesa untuk menjadi miliknya.
Dalam benak Arkan berkata. "Aku yang terlalu kekeh mengharapkanmu. Aku yang terlalu kekeh untuk memilikimu. Dan aku juga yang merasakan sakit yang begitu menyesakkan. Aku menang bodoh akan hal percintaan."
Arkan menatap Vanesa tersenyum dari kejauhan. Hal seperti itu, selalu ia lakukan untuk meredam kesunyian.
"Eh, lihatin apa?" salah satu teman Arkan datang seraya menepuk bahunya. "Vanesa?"
Arkan hanya membalas dengan senyuman.
"Dekati dan ungkapkan apa yang kamu rasa. Kau sanggup memendam itu semua?" tanya temannya itu.
"Nah, kau tak pernah tahu itu. Dia tahu apa yang aku rasakan dan dia juga tahu apa yang aku inginkan. Apa yang dia katakan, dia tak ingin aku terlalu berharap dengan dia. Dia akan semakin jauh, jika aku terlalu kekeh untuk memilikinya. Bukankah memendam rasa jauh lebih baik, dari pada kehilangan orang yang aku sayangi?" tanya Arkan.
"Wah, sabar, ya. Aku nggak paham dengab keinginan wanita. Fokus kuliah aja dulu, ingat jodog tak akan pergi ke mana memang sudah takdirnya." Temannya kembali menepuk bahunya dan meninggalkan Arkan di sana sendirian.
"Vanesa... Vanesa. Apa ini yang dinamakan perlahan menjauh dan menghilang. Macam mana kau akan membalas rasaku, jika tak pernah dekat denganku. Semakin aku mencoba untuk melupakanmu, semakin aku tersakiti oleh hal itu," gumam Vanesa.
Vanesa terlihat mendekat ke arahnya. Lalu duduk tepat di hadapannya.
"Hei, ngelamun mulu. Main ke pantai waktu lalu, yuk," ajak Vanesa.
Arkan tak menyangka ketika Vanesa mengatakan itu.
"Hah, yang bener?" tanya Arkan.
"Iya, beneran. Kenapa? Nggak bisa, ya," tanya Vanesa.
"Bisa kok, ayo," jawabnya.
"Oke, kamu jemput ja ke rumah, ya. Bye, Arkan." Vanesa beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi.
"Ya Tuhan, apakah inu cobaan orang mau move on. Ketika aku ingin membenci, saat itu ada peluang serasa ingin memiliki kembali," gumamnya.
Tanpa Arkan sadari, percakapan mereka berdua ada yang mendengar.