"Aku sayang sama dia, Ma. Aku nggak mau, kalau orang lain bisa merebut hatinya dengan mudah," ujar Silvi sembari menangis sesenggukkan. Dia merasa tak terima, jika hati Arkan dimenangkan oleh Vanesa.
"Silvi ...." Mamanya tetap ingin menegur sikap anaknya yang keterlaluan. "Perasaan orang itu tidak bisa di paksa, Nak. Kita, sebagai perempuan itu, jadilah perempuan yang mahal. Jangan kita mengejar laki-laki, apalagi sampai memaksakan kehendak kita. Kita buktikan kalau cinta, cukup sekali aja. Jangan terlalu boddoh soal itu, Nak. Yang ada, nantinya kita dianggap tak memiliki harga diri."
"Mama kalau nggak bisa kasih solusi, mending keluar aja, deh." Silvi mendorong tubuh mamahnya keluar kamar, lalu mengunci pintunya kembali dengan rapat.
"Aaaa. Semua orang sama saja. Tak ada yang pernah berpihak kepadaku!" Silvi tetap kekeh dengan pendiriannya, meski dirinya bersalah.
***
Keesokan harinya, Vanesa seperti biasa bangun pagi, lalu bersiap untuk pergi ke kampus. Dia yang semalam bahagia sebab bisa memberikan surprise ke mamanya, membuat dia merasa lebih semangat menjalani hari ini. Dia melangkah secara perlahan menuruni anak tangga.
"Pagi, Ma," sapanya ketika berada di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Kecupan lembut selalu diberikan mamanya, ketika mengawali hari Vanesa. Hal kecil namun membuat dirinya merasa disayangi dengan sepenuhnya.
"Cantiknya anak, Mama. Kelihatan bahagia banget, Nak. Hayo, kenapa?" tanya mamanya dnegan nada mengejek.
"Biasalah, Ma. Kayak nggak ernah muda aja, lasti itu Vanesa lagi berbunga-bunga karena kekasihnya," sahut papanya.
"Ih, Papa apaan, sih? Aku itu, nggak pengen pacaran dulu. Mau fokus kuliah aja, soal cowok nanti aja, deh," jawabnya.
"Vanesa ... Vanesa. Kayak beneran aja, pengen tahu, sampai mana ucapan itu bertahan. Palingan besok, ketemy cowok ganteng juga mau," ejek mamanya.
Vanesa memilih untuk cemberut untuk balasan perkataan mamanya. Keluarga yang sangat bahagia, celotehan, ejekan membuat kebahagiaan hadir karena hal yang simpel.
Selepas sarapan, Vanesa berpamitan untuk berangkat terlebih dahulu. Dia mengendarai mobilnya secara perlahan. Namun, saat dia sedikit meleng sebab mencari sesuatu di dalam tasnya, tiba-tiba terdengar benturan.
Brak!! Dentuman yang berasa dari depan mobilnya. Dia yang mendengarnya spontan mengerem dengan cekatan.
"Ya Allah." Vanesa bergegas keluar untuk memberikan pertolongan ke orang yang ia tabrak.
"Maaf, Kak. Ayo, kita ke rumah sakit," ajak Vanesa.
Seseorang laki-laki yang memakai jaket jeans dan menggunakan helm terduduk di sana sembari menahan kesakitan di area tangannya. Orang-orang yang melihatnya berlarian hendak membantu.
Perlahan laki-laki itu membuka helmnya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi matanya.
"Kamu ...." Vanesa terperangah kala melihat siapa orang yang ditabraknya saat ini.
"Kamu lagi?" jawab Cowok itu. "Kenapa kalau ketemu kalau ketemu selalu sial, sih? Ya Tuhan."
Laki-laki yang tak sengaja di tabrak oleh Vanesa adalah Zenio. Mereka bertemu kedua kalinya namun dalam keadaan yang menyebalkan.
"Naik ke mobil, aku antarkan ke rumah sakit. Buruan!" bentak Vanesa.
"Biar aku bantuin, Mas," ujar seseorang yang berkerumun di sana.
Zenio kali ini hanya nurut kepada Vanesa, sebab dia merasakan sakit di area tangannya sebelah kana. Dia tak mau, terjadi cedera serius saat dia memilih untuk membesarkan gengsinya. Zenio pun masuk ke dalam mobil, sembari dibantu orang itu. Kemudian, Vanesa secara perlahan melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Motor Zenio dengan sengaja di letakkan di warung yang kebetulan tebat berada di depan lokasi kejadian.
"Maaf, ya. Aku tadi meleng nyetirnya," ujar Vanesa dengab lembut.
Zenio yang duduk telat di samping kursi kemudi, hanye bisa menoleh tanpa berkata-kata.
"Kenapa, sih? Kok kamu natap aku seperti itu?" tabya Vanesa.
"Kamu bisa kalem juga, ya?" Zenio bertanya-tanya.
"Hahaha. Jangan mancing-mancing, deh. Apanya yang sakit?" Vanesa berbalik bertanya.
"Tangan aku, ini. Sekarang kaya mati rasa gitu," jawab Zenio.
"Ya Allah, maaf, ya." Vanesa begitu khawatir dengan keadaan Zenio saat ini.
Dia sembari mengemudikan mobilnya, sesekali menoleh ke arah Zenio yang merasa kesakitan. Sesampainya di rumah sakit, Vanesa mau tidak mau harus membantunya berjalan. Walaupun Zenio mengeluhkan tangannya yang sakit, tanpa ia sadari ketika berjalan kakinya sedikit pincang hal itu yang membuat Vanesa membantunya untuk berjalan.
"Makasih, ya. Kamu baik juga ternyata," gumam Zenio.
"Bukan masalah baiknya, sih. Aku cuma mau tanggung jawab sama kesalahanku aja. Lah, kalau nggak gini, bisa-bisa kau melaporkan aku ke kantor polisi juga." Vanesa malah menjawab sesuai dengan kenyartaannya.
Zenio hanya menyeringai tanpa ingin menyanggah perkataan dari Vanesa. Saat itu, Zenio diantar masuk ke dalam unit gawat darurat sedangkan Vanesa duduk di ruang tunggu. Dia terpaksa tidak masuk kuliah, hnya ingin memastikan Zenio baik-baik aja.
Cukup lama menunggu, akhirnya dokter pun keluar bebarengan dengan Zenio. Dokter mengajaknya ngobrol entah apa yang menjadi topik pembicaraan mereka.
"Gimana, Dok?" tanya Vanesa menghampiri mereka berdua.
"Ehm, ada retakan di area pergelangan tangannya. Bisa di bantu kompres menggunakan air hangat, untuk menghilangkan bengkak dan tidak terjadi mati rasa berkelanjutan. Mati rasa itu, disebabkan karena ada salah satu saraf yan terjepit saat kecelakaan tadi." Dokter menjelaskannya.
Setelah menyelesaikan administrasi dan menebus obat, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam mobil kembali.
"Makasih, ya." Zenio menatap ke arah Vanesa.
Vanesa pun menoleh ke arah Zenio sembari tersenyum.
"Seharusnya aku minta maaf ke kamu, bukannya kamu yang bilang terima kasih. Aku di sini yang salah, kalau ada apa-apa ngomong aja, ya. Aku bakal tanggung jawab mastiin kamu dapat pengobatan sampai sembuh," ujar Vanesa.
Zenio hanya menganggukkan kepala. Dia terpesona dengan senyuman manis yang digoreskan Vanesa di wajahnya. Senyum itu seakan-akan dengan sekejap memikatnya. Tanpa Zenio sadari, karena kekagumannya membuat dia betah menatap Vanesa yang sedang serius mengemudikan mobil.
"Motor kamu nanti langsung minta tolong orang buat bawa ke bengkel aja, ya. Biar semuanya aku yang urus," pinta Vanesa.
Namun. saat itu tak terdengar respon sama sekali dari mulut Zenio. Vanesa pun menoleh ke arah Zenio. tapi terlihat pandangannya terpaku pada dirinya saat.
"Heh." Vanesa menepuk bahu Zenio.
Zenio pun tersadar dari lamunannya.
"Eh, iya kenapa?" tanya Zenio.
"Kamu lihatin apa, sih? Ada yang salahkah?" tanya Vanesa.
"Nggak, kok. Kamu tadi tanya apa? Maaf, nggak fokus tadi," ujar Zenio memberikan alasan.
"Itu, motor kamu, minta tolong teman, saudara atau siapalah, biar di bawa ke bengkel. Nanti, semua administrasi aku yang tanggung." Vanesa kembali memberitahukannya.
"Nggak usahlah, nggak apa-apa, kok. Aku sudah cukup merepotkanmu, apalagi kamu terlihat mau berangkat kuliah malah nggak jadi," ujar Zenio.
"Eh, nggak apa-apa, kok. Yang penting saat ini kamu baik-baik aja," ujar Vanesa.