Empat Belas

1618 Words
Perjalanan pulang ke desa Violet lalui dengan kembali tertidur, membuat ayahnya menggelengkan kepala. “Dia minum obat anti mabuk, sampai-sampai mobil baru keluar dari halaman langsung tertidur.” “Kalau perjalanan jauh anaknya memang seperti itu. Tidak usah heran.” Jawab istrinya. Perjalanan yang mereka lalui lancar, tidak terjebak kemacetan parah. Saat mereka tiba di rumah, Violet akhirnya bangun. Dengan mata yang masih mengantuk bertanya kepada orangtuanya. “Kita di mana Yah?” “Sudah sampai putri tidur. Ayo turun, istirahat di kamar.” Jawab ayahnya dengan sayang. Mendengar penjelasan ayahnya, Violet tersenyum malu. Dengan gaya baru tidur yang belum sepenuhnya terjaga dia keluar dari mobil. dan berjalan ke tempat ayahnya yang sedang mengeluarkan barang bawaan mereka. Violet bermaksud membantu membawa barang-barang tetapi langsung di suruh ayahnya untuk istirahat di dalam. “Biar ayah saja. Tidak banyak, kamu istirahat saja jangan sampai demam lagi.” mendapat perhatian itu membuat Violet terharu. “Biar Vio bawa travelbag yang punya Vio saja Yah. Sekalian berjalan ke kamar.” Violet meyakinkan ayahnya. “tetapi langsung istirahat.” Ayahnya mengalah dengan keinginan Violet. “Oke Bos.” Violet tersenyum dan membawa travelbagnya ke kamarnya di atas. Sesuai dengan perkataan ayahnya, sesampai di kamar dia langsung tidur kembali tanpa mengganti pakaiannya. Berdasarkan pengalaman mereka ke kota kemarin, ayahnya masuk ke kamar untuk mengecek Violet. Saat dia sudah memastikan Violet tidak panas dia lega dan kembali ke dapur tempat istrinya menyiapkan makan malam mereka. “Vio deman tidak mas?” tanya istrinya, sambil mengaduk masakan yang dia buat. “Tidak, tetapi sudah pulas.” Jawab suaminya nada lega terdengar dari suaranya. “Kamu begitu sayang dengannya.” “Saya tidak bisa tidak sayang kepadanya. Saat pertama bertemu dulu, saya seperti bertemu dengan anak perempuan saya.” Dia mengambil minum di dalam kulkas dan minum sebelum melanjutkan. “Kalau dia sampai sakit, dia tidak bisa mulai belajar, saya lihat dia sangat antusias. Aku suka dengan semangatnya.” “Vio memang suka belajar dari kecil. Sebagai orangtua saya bangga dengannya.” Istrinya tersenyum kepada suaminya dan menyajikan makanan untuk mereka. “Makanan untuk Violet, mau di bawa ke atas?” “Tidak perlu, kalau kemarin dia belum familiar dengan letak rumah pasti dia tidak akan turun untuk makan. Kalau di sini dia sudah hafal, kalau lapar dia pasti turun sendiri untuk makan. Ayo kita makan.” Violet yang kecapekan tidak bangun malam itu, dia pulas sampai pagi. Saat pagi tiba dia merasa lapar dengan badan yang masih lemas karena staminanya belum seratus persen pulih. Dia turun dan melihat ibunya yang sudah di dapur membuat sarapan, dia tidak melihat ayahnya yang berarti sudah melakukan rutinitasnya di halaman sambil olahraga. “Bagaimana perasaan kamu?” tanya ibunya yang melihat Violet menghampirinya. “Masih lemas Bu. Istrirahat sehari lagi sepertinya baru balik lagi staminanya.” “Habis sarapan tidur saja lagi. tidak perlu bongkar travelbagnya dulu, atau mulai belajar.” Nasehat ibunya. “Vio juga pikir begitu. Kalau ibu tidak perlu bantuan Vio hari ini.” “Memang ada kerjaan yang menunggu?” tanya ibunya heran.. Violet hanya tersenyum. Dia sarapan sedikit dan langsung ke kamarnya lagi untuk kembali istirahat. “Vio nya kemana Say. Tadi saya dengar suaranya.” Tanya Hendra kepada istrinya yang sudah menyiapkan sarapan untuknya. “Sudah ke kamar lagi. masih lemas anaknya, jadi saya suruh untuk istirahat lagi saja. Makannya hanya secuil, untung dibantu dengan susu.” Istrinya terdengar sedih. “Tidak sakit kan?” tanya suaminya pensaran. “Tidak. Janganlah sampai sakit saja, kalau sudah sakit akan lama sembuhnya. Dia juga mau belajar untuk ujian masuk universitas.” Harapan istrinya terasa dari kata-katanya. Selesai sarapan mereka menghabiskan waktu bersama di halaman belakang, yang dibuat lebih nyaman untuk mereka bersantai menghabiskan waktu dengan lebih tenang dibandingkan dengan taman di depan rumah. __***___ Keesokan harinya, Violet sudah segar. Dia melakukan aktivitasnya yang biasa membantu ibunya saat pagi hari. Melihat anaknya yang sudah pulih kembali, senyum mereka di wajah ibunya. Selesai sarapan dan mandi pagi, Violet memulai start belajar untuk ujian masuk universitas. Kebiasaannya kalau sudah belajar sampai lupa waktu, membuat kedua orangtuanya bergantian mengingatkannya untuk makan. Sebulan tidak terasa hari ujian untuk masuk universitas tinggal seminggu lagi, mereka ke kota ke rumah kediaman Radeya. Antisipasi Violet yang gampang kecapekan dan tidak ingin dia tidak fit saat pelaksanaan ujian. Adrian tidak mengetahui kedatangan mereka, saat dia tiba di rumah dia sangat terkejut dan sekaligus senang melihat ayah dan ibunya yang sedang duduk di ruang keluarga. “Assalamu’alaikum.” Sapa Adrian kepada mereka dan duduk di dekat mereka berdua. “Wa’alaikumsalam.” Jawab keduanya dan menoleh melihat kedatangan Adrian. “Kapan sampai Yah? Kok tidak kasih kabar mau ke sini.” Tanya Adrian, matanya menjelajah ke ruangan sebelah seakan mencari sesuatu. “Tadi siang.” Melihat pandangan Adrian yang tidak juga tertuju kepada mereka akhirnya yang sukses mendapat pertanyaan menohok dari ayahnya. “Siapa yang kamu cari? Calon istrimu?” tanya beliau dengan bercanda yang langsung dihadiahi istrinya yang duduk disebelahnya dengan sikutan di lengannya. Mendapat sikutan istrinya membuat Hendra menoleh dan berbicara isyarat dengan matanya “Apa?” istrinya Salma hanya mendelik dan menunjuk ke arah Adrian seolah bicara “Nanti anaknya tersinggung.” Yang hanya dijawab dengan senyuman darinya seakan menenangkan “Tenang saja.” Tangannya menggenggam tangan istrinya dan mengelusnya menenangkan. “Ayah bicara apaan. Adrian tidak melihat Vio.” Dia yang dapat candaan ayahnya langsung bicara dengan nada cuek, seakan-akan dia tidak ketahuan mencari keberadaan Violet tadi. “Sudah tidur. Biasa kalau dari perjalanan jauh dia pasti kecapekan akhirnya lebih cepat istirahat.” Jelas ayahnya. “Adrian, ke kamar dulu Yah. Mau istirahat juga.” dia pamit dan berjalan ke kamarnya. Sementara Adrian ke kamar, Salma ijin ke suaminya mau ke kamar Violet untuk memastikan bahwa anak perempuannya itu tidak panas. Selang beberapa menit dia turun dengan sedikit cemas kearah suaminya. “Mas, ada obat penurun panas?” melihat istrinya yang panik Hendra segera berdiri dan menghampirinya. “Ada apa?” dia sudah sedikit khawatir melihat istrinya yang sedikit panik. “Vio, badannya panas tinggi. Ini tidak biasa, saya takut penyakitnya kambuh.” Mendengar Violet yang demam, Hendra langsung berjalan menuju ke kamar Violet dan memegang kepalanya yang panas tinggi. “Kita ke rumah sakit saja.” Kata Hendra kepada istrinya. “Adri....” teriak Hendra dari kamar Violet. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi kaget mendengar suara khawatir dari panggilan ayahnya. dia berlari ke arah kamar Violet yang hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek dengan handuk yang masih menggantung di lehernya dengan rambut yang masih basah. “Ada apa Yah?” “Siapakan mobil, kita harus membawa Violet ke rumah sakit.” Melihat kearah Violet yang tidak sadar, antara tidur atau pingsan membuat Adrian berlari dan mengambil kunci dan menyiapkan mobil. dia kemudian kembali ke kamar Violet saat ayahnya akan mengangkat Violet. “Biar Adri saja Yah.” Tawar Adrian, dia tidak yakin ayahnya kuat membawa Violet turun. Dia menggendong Violet turun yang diikuti oleh kedua orangtuanya. Ibunya masuk duluan duduk di bangku belakang dan menerima Violet yang dimasukan Adrian. Dia memeluknya dengan sayang dan cemas saat dia merasa panas badan Violet lebih tinggi dari saat dia pertama kali memeriksanya tadi. Namun dia diam saja tidak ingin membuat suami dan Adrian khawatir yang dapat menyebabkan kecelakan. dia berdo’a semoga Violetnya dapat segera sembuh. Adrian membawa mobil dengan kencang, namun masih tetap berkendara dengan aman. Mereka sampai setengah jam kemudian ke rumah sakit. Violet di tangani dengan cepat oleh tim medis, Violet menderita Typus, dia harus diopname selama beberapa hari untuk mendapatkan perawatan. Hendra meminta kamar VVIP, karena dipastikan jika istrinya tidak akan pernah meninggalkan sisi Violet sampai sembuh. Jadi dia lebih baik mementingkan kenyamanan mereka yang akan menunggu Violet di rumah sakit. Setelah diruang rawat inap, melihat kedua orangtuanya yang sangat capek membuat dia menyuruh keduanya untuk istirahat. “Ayah dan ibu lebih baik istirahat saja. Violet sudah aman sekarang.” Dia tidak menyuruh keduanya untuk pulang karena pasti akan ditolak mentah-mentah. Tetapi dia melihat ketidakrelaan di wajah keduanya, akhirnya Adrian berjanji. “Biar Adri yang berjaga. Ayah dan ibu tidur saja.” “Yakin kamu bisa berjaga. Kamu baru pulang dari kantor juga. Pasti capek.” tanya Salma dengan suara lelah. “Iya Bu. Ibu tidur saja. Biar Adri yang jaga. Nanti kalian sakit Vio akan sedih.” Mendengar kesungguhan Adrian keduanya akhirnya berjalan ke tempat tidur yang ada di sisi lain ruangan yang memang di khususkan untuk family. Karena kasurnya kecil dan di tempati Salma istrinya, Hendra mengistirahatkan dirinya di sofa yang ada tidak jauh dari ranjang yang ditempati istrinya. Karena keduanya sangat kelelahan dan ditambah kecemasan tadi membuat keduanya langsung terlelap. Melihat keduanya yang lelah membuat Adrian terharu, dia tidak pernah melihat ayahnya seperti ini. Sisi posesif dan protektif ayahnya terlalu kentara, dia tidak pernah mengalami hal-hal seperti sebelumnya. Dia duduk di kursi yang dekat dengan ranjang Violet, dia memperhatikan Violet yang terlelap dengan tenang yang sebelumnya gelisah. Dia menyelami perasaannya, merenungkan tentang perjodohannya dengan Violet. Adrian tidak tahu apa yang dia rasakan dengan Violet, dia menerima perjodohan ini karena dia spontan saja karena keinginan ayahnya dan juga dia tidak memiliki kekasih jadi apa salahnya. Dia juga heran dengan dirinya sendiri, dia bisa bersikap lembut kepada Violet yang tidak pernah dia lakukan kepada siapapun. Menjelang dini hari, sebelumnya suster juga sudah memberikan obat menjelang tengah malam tadi. Sekarang dia sudah merasakan  kantuk menyerangnya. Saat matanya terpejam tepukan pelan di bahunya membuat dia kembali terjaga. “Kamu tidur sana. Biar ibu yang jaga.” Melihat keengganan Adrian membuat dia tersenyum menyakinkan Adrian. “Ibu sudah cukup istirahatnya, sekarang giliranmu. Ayo sana.” “Adri istirahat dulu Bu.” Adrian berjalan menuju ranjang yang ada di sisi lain ruangan dan langsung tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD