Tiga Belas

1197 Words
Minggu pagi mereka semua sarapan bersama, mereka menikmati suasana kedamaian pagi yang tenang itu dengan nyaman. Sampai perkataan ayahnya membuat Adrian sedikit protes. “Kami akan kembali ke desa, tengah hari nanti selesai Dzuhur.” Ayahnya memberitahu Adrian dengan tiba-tiba saat dia baru saja menyelesaikan sarapan dan masih menikmati kopi paginya. “Mengapa secepat ini Yah?” tanya Adrian heran. “Bukannya di desa juga ayah tidak ada perkerjaan yang terlalu penting untuk diurus.” “Memang. Tetapi menikmati udara yang segar setiap hari itu bonus yang sangat bagus.” Jawab ayahnya bangga. “Mengapa tidak tinggal di sini lebih lama? Vio juga tidak sekolah lagi, dia bisa juga belajar di sini.” Adrian menyampaikan keberatannya, yang hanya dijawab ayahnya dengan tertawa. “Mengapa kamu seperti itu? Baru kali ini ayah lihat kamu begitu. Nah....siapa sebenarnya yang tidak ingin kamu pergi?” tanya ayah dengan menggodanya. Ayahnya tahu betul dengan anaknya ini, di luar boleh di kenal dengan lelaki yang dingin, egois dan arogant. Tetapi seperti inilah anaknya, ini persis seperti yang dia ingat. Anaknya yang baik hati sebelum kerasnya dunia membentuknya menjadi orang yang terlalu dingin untuk didekati. Itu salah satu alasan mengapa dia menjodohkan Adrian dengan Violet, dia ingin melihat Adrian memiliki sikap yang seperti ini lagi. itu dapat dia lihat, jika Adrian menatap Violet dengan penuh makna. Sikap Violet yang polos dan apa adanya membuat sikap Adrian luluh dengan sendirinya. Violet hanya menjadi dirinya sendiri, termasuk perang dingin diantara mereka berdua. Tetapi sikap itu akan kembali seiring dengan berapa banyak waktu yang dia habiskan dengan teman-temannya. Pengaruh teman-temannya cukup membuat Adrian memiliki sikap yang terlalu jauh untuk di jangkau. Mendengar ayahnya yang menggodanya membuat harus memberikan alasan, bahwa dia hanya benar-benar ingin mereka tetap berada disini sementara. “Ayah ngomong apaan? Yang Adrian katakan juga benar, ayah sama ibu juga tidak terlalu banyak kerja di sana. Apa salahnya lebih banyak menghabiskan waktu di sini.” Adrian lelah menjelaskan kepada ayahnya “Rumah ini butuh pemiliknya untuk mengaturnya.” “Kamu kan ada. Memang rumah ini tidak berjalan dengan semestinya?” ayahnya bertanya pura-pura serius bertanya. “Maksud Adri, bukan begitu Yah. Kalau ada ibu dan ayah di sini, kan ada yang bisa mengontrolnya. Kalau mengandalkan Adri, itu tidak pasti hanya kalau senggang saja. Dan itu sangat jarang.” Melihat ayahnya yang tidak terlalu mendengarkannya, dia kembali menjelaskan yang menurutnya sebagai kendalanya. “Adri kalau sendiri juga lebih sering menghabiskan waktu di apartemen yang dekat dengan kantor. Ke sini hanya kalau senggang, dan habis dari lapangan yang lebih dekat jaraknya.” “Begitu juga bagus. Di sini tidak perlu terlalu banyak yang harus dilakukan. Nanti kalau kamu sudah menikah dan memiliki anak, rumah ini lebih cocok untuk kalian tinggali.” Jawab ayahnya tanpa beban kepada Adrian. Mendengar kata ayahnya, Adrian memandang ayahnya dengan pikiran kosong. Sedangkan Violet yang dari tadi menyimak permbicaran mereka langsung melihat kearah ayahnya dengan kaget. Ibunya tidak terlalu peduli dengan pembicaraan ini, karena keputusan untuk cepat kembali ke desa juga karena suaminya yang ingin lebih cepat ke sana. Dia juga menikmati waktunya di kota dengan suasana baru yang semuanya bergerak seakan lebih cepat disini. Tetapi rasa kangen dengan kehidupan desa yang lebih tenang tidak dapat dipungkiri. “Kamu lakukan saja seperti ini untuk sementara waktu. Ayah percaya denganmu dan tentu saja mengandalkanmu sejak ayah menunjukmu sebagai ceo di perusahaan.” Mendengar keputusan ayahnya, Adrian akhirnya pasrah dan tidak memberikan argumen kembali. Dia meneruskan sarapan tanpa protes lagi, dia sempat melirik Violet yang terkejut karena perkataan ayahnya tentang pernikahan diangkat sepintas oleh ayahnya. Kegiatan mereka setelah sarapan, ayah dan ibunya kembali ke kamar untuk berkemas. Violet sudah berkemas semalam, dia akhirnya duduk di taman yang menjadi tempat favoritnya di sini karena suasananya sangat nyaman. Adrian yang melihat Violet duduk sendirian di taman akhirnya dia mendekat dan duduk di sebelahnya yang dipisahkan meja. Violet tidak mendengar dia datang karena dia sedang memejamkan matanya seolah tertidur. “Kamu tidur pagi begini?” tanya Adrian yang setelah cukup lama duduk dan melihat Violet yang tidak juga membuka matanya. Mendengar suara itu, Violet langsung duduk tegak dari posisi duduknya yang santai tadi. “Saya tidak tidur, hanya menikmati ketenangan yang ada.” “Kalau tidak tidur, mengapa kamu tidak mendengar kakak datang?” Violet heran dengan perkataan kakaknya. “Kakak jalan seperti hantu.” Jawab Violet cemberut. “Sudah belajar?” tanpa melihat Violet lagi Adrian bertanya tentang perkembangan dia belajar untuk menghadapi tes masuk universitas. “Bukunya sudah dilihat, tetapi belum serius belajarnya.” Jawab Violet apa adanya. “Kenapa kamu tidak mau bimbel?” tanya Adrian serius ”Peluangnya lebih besar kamu dapat diterima.” “Tidak perlu kak, Vio cukup belajar sendiri saja.” Violet menjawab mulai merasa tidak nyaman. “Kamu tidak perlu takut soal biayanya. Kakak bi...” “Tidak perlu kak. Buku yang kakak belikan sudah lebih dari cukup.” Potong Violet segera. “Kamu masih marah soal yang dulu?” selidik Adrian. “Tidak juga, tetapi Violet yakin tanpa bimbelpun Vio bisa menembus universitas negeri, walaupun bukan universitas ternama.” Violet tetap memaksakan alasannya. “Kamu yakin?” “Iya, Vio yakin kok. Vio juga tidak ingin membuat kecewa ibu dengan ayah. Vio pasti bisa membuat mereka bangga.” Violet meyakinkan Adrian dan juga dirinya sendiri. “Kamu terkadaang keras kepala juga.” celetuk Adrian setelah mereka cukup lama terdiam. “Bukan keras kepala kak, tetapi punya prinsip dan keyakinan.” Jawab Violet diplomatis. “Kamu sudah berkemas?” “Sudah, semalam Vio langsung berkemas. Baju Vio juga tidak banyak jadi lebih cepat.” Setelah itu mereka terdiam, menikmati kedamaian pagi. Violet yang tidak mendengar suara Adrian lagi langsung memejamkan matanya.,karena semilir angin yang berhembus lembut membuainya membuat Violet tertidur. Mendengar napas Violet yang teratur membuat Adrian menaikkan alisnya heran.  “Dasar, tukang tidur. Tadi saja bilang tidak tidur, sekarang baru sebentar saja sudah mendengkur.” Adrian memandang Violet dengan intens, dia mengakui bahwa Violet itu cantik alami tanpa makeup di wajahnya. Kecantikan polos yang menggugah orang yang melihatnya. Dia teringat saat dia kuliah dulu, bagaimana teman-temannya yang melihat gadis cantik dan langsung mendekatinya. Hal itu membuat dia tidak senang, dia tidak ingin jika Violet banyak pria yang mendekatinya. Adrian memandang Violet yang tertidur cukup lama. Saat dia merasa udara mulai berubah hangat dan melihat Violet yang tidak juga bangun, dia menggendong Violet dan membawanya ke kamar. Dia menggendong Violet dan berpas-pasan dengan ayah dan ibunya yang baru saja dari dapur. Melihat Violet, raut wajah ayah dan ibunya sedikit cemas. Sebelum mereka bertanya kenapa Adrian langsung menjelaskan biar mereka tidak cemas lagi. “Vio tertidur di tanam tadi. Udara sudah mulai hangat, Adri mau bawa ke kamar biar dia tidur nyenyak. Semalam katanya dia berkemas, mungkin sedikit lewat jam tidurnya.” Adrian menjelaskan sambil terus berjalan ke kamar Violet. Mendengar apa yang dikatakan Adrian kecemasan mereka langsung sirna, dan berjalan ke ruang keluarga dan membiarkan Adrian membawa Violet ke kamarnya. Violet bangun saat dipanggil ibunya untuk makan siang. Setelah mereka selesai makan siang dan Dzuhur, ayah, ibu dan Violet berangkat ke desa. Adrian hanya melepas mereka dengan sendu, sedikit rasa kehilangan menerpa dirinya. Untuk menghilangkan rasa yang ada dia akhirnya memutuskan untuk melihat berkas yang dia bawa pulang kemarin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD