Sembilan

1559 Words
Keesokan harinya, karena masih hari kerja Adrian berencana untuk berangkat ke perusahaannya. Saat akan pamitan dengan orangtuanya setelah selesai sarapan, ayahnya mengajak Adrian untuk berbicara dengannya di taman depan. “Ayah, ibu. Adri berangkat ke kantor pagi ini.” “Bukannya jadwal kamu di kosongkan sekretarismu?” “Adri rasa lebih baik ke kantor Yah. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum tengat waktunya habis.” “Terlambat tidak apa-apa kan? Ayah ingin bicara sebentar.” Ayahnya beranjak dari meja makan kemudian mengajak Adrian untuk mengikutinya. “Ayo kita bicara di taman depan, sekalian menghirup udara pagi.” Adrian mengikuti ayahnya berjalan ke taman yang ada di depan rumah. Sementara ibu tirinya dan Violet membereskan bekas sarapan pagi mereka. Di taman terdapat gazebo yang nyaman untuk menghabiskan waktu di taman dengan menikmati pemandangan yang ada. Ayahnya sudah mengambil tempat duduk, melihat Adrian yang masih berdiri membuat ayahnya menyuruhnya untuk duduk di sebelahnya. “Ayo sini, duduk di samping ayah. Mengapa kamu berdiri di sana sudah seperti satpam saja.” Ayahnya menepuk bangku yang ada disebelahnya. “Kamu masih ingat, waktu yang kita habiskan berdua dulu, kita banyak menghabiskan waktu di taman hanya untuk mengobrol bahkan berdebat. Ayahnya tertawa mengenang kebersamaannya bersama putranya ini. “Adri ingat Yah. Adri sedikit rindu dengan suasana itu, kalau ada masalah kantor saat itu bisa Adri bicarakan dengan ayah untuk mendapatkan solusinya bersama.” Adrian sudah duduk dan memandang jauh kedepan mengenang masa itu. “Tetapi seiring berjalannya waktu, nasehat ayah juga tidak sebanyak dulu kamu perlukan. Kamu bahkan melampaui ekspektasi ayah, bagaimana kepemimpinanmu, tetapi yang ayah dengar setiap orang selalu mengatakan bahwa kau sudah sukses dalam membangun perusahaan. Ayah sangat bangga.” Ayahnya tertawa bangga. “Namun minusnya kamu sangat dingin di kantor? Masih seperti itu?” “Maksud ayah bagaimana?” “Gaya kepemimpinanmu yang ayah dengar terkesan dingin, kalau ayah kan ramah sama semua orang.” “Oh... Adri rasa seperti ini juga tidak apa-apa. Adri tidak mau ada karyawan yang menyalahartikan jika sikap Adri lebih ramah seperti yang ayah lakukan. Dengan sikapku seperti ini, masih saja ada yang melakukan hal yang menyebalkan membuat mood kerja Adri jadi jelek saja.” “Gaya kepemimpinanmu tidak salah juga, selama kamu bisa bertindak bijaksana. Itu malahan, em... apa istilah jaman sekarang em....” ayahnya berpikir sejenak merenungkan kata itu. “Oh ya, cold.” “Bukan cold juga kali Yah, tapi cool. Kan beda kalau cold, beku dong Adri.” Adrian tertawa mendengar kata ayahnya, akhirnya mereka berdua tertawa. Menertawakan kata yang dilontarkan ayahnya sembarangan. “Tetapi bukan itu yang ingin ayah bicarakan?” tanya Adrian kepada ayahnya, sambil menoleh memandang ayahnya dengan teliti. “Memang bukan. Yang ayah ingin tanyakan bagaimana dengan permintaan yang ayah tanyakan dulu.” Ayahnya juga menoleh dan memandang Adrian tepat ke dalam manik matanya yang sama dengan miliknya. “Ayah mau jawaban Adri sekarang?” “Iya. Vio sudah lulus sebentar lagi dia akan kuliah, ayah mau dia berada di bawah pengawasanmu. Dengan kau menikahinya itu akan lebih baik lagi.” “Adri sudah berpikir panjang. Dan mengambil keptusan, Adrian setuju saja jika ayah ingin kami menikah. Tetapi bagaimana dengan Vio?” “Ayah akan berbicara dengan Vio dalam waktu dekat. Ayah ingin, sebelum Vio kuliah dia sudah menikah denganmu. Jadi kami tidak akan khawatir bagaimana Vio di kota, saat dia kuliah nanti.” “Baiklah.” Adrian akhirnya merasa cemas dengan tanggapan Violet nanti, akankah dia menerima perjodohan ini? Secara selama ini, dia selalu menunjukkan rasa tidak suka dengannya. Tetapi Adrian akan segera menerima kabar itu, dan jauh di lubuk hati kecilnya ia ingin Violet untuk menerima perjodohan ini. “Masih ada yang perlu kita diskusikan Yah?” tanya Adrian sambil melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Ayah rasa tidak. Ayah senang akhirnya kamu setuju.” Melihat Adrian yang sudah berdiri dan akan pamit dengannya ayahnya ikut berdiri dan menghampiri Adrian. “Ayah bangga denganmu. Dalam waktu dekat ayah akan mengabarkan bagaimana kelanjutannya.” Ayahnya menepuk kedua pundak Adrian sebelum akhirnya memeluknya erat. Setelah melepaskan pelukannya, ayahnya menasehatinya. “Hati-hati di jalan. Kerja dengan benar. Do your best everything you do.” “Baik, Yah. Adri pamit dulu. Assalamu’alaikum.” Adrian akhirnya pamit dengan ayahnya. “Sampaikan salam dengan ibu dan Vio kalau Adri ga ketemu mereka lagi saat Adri pergi. Adri ga sempat mencari mereka lagi, kalau Adri ketemu saat Adri ambil tas nanti sekalian pamit.” Ayahnya hanya mengangguk dan kembali duduk di kursi yang didudukinya tadi, menikmati nyamannya suasana pagi. Tak berapa lama kemudian terdengar klakson mobil dan lambaian tangan Adrian yang keluar menuju jalan untuk pergi ke perusahaannya. ∞ Siang harinya saat selesai makan siang dan sholat, ayah dan ibunya mengajak Vio untuk duduk di dekat kolam dengan di temani kue dan buah yang masih ada di dalam kulkas. Sambil menikmati makannya mereka berbicara sambil sekali-kali di warnai dengan canda tawa. Sebelum ayahnya bertanya lebih serius kepada Violet. “Vio sudah memutuskan akan ambil jurusan apa nanti kuliah?” “Manajemen atau akuntasi aja Yah. Lebih umum sepertinya bisa melamar pekerjaan di mana saja.” Violet langsung menjawab pertanyaan ayahnya tanpa berpikir apapun. “Kamu bisa kerja dengan kakakmu Adrian nanti kalau begitu. Tidak perlu melamar di mana-mana.” Tegas ayahnya mengingatkan Violet bahwa keluarga mereka memiliki perusahaan sendiri dan terbilang cukup besar. Violet hanya tersenyum malu, kepada ayahnya yang memberikan jawaban tanpa berpikir akan makna dari katanya tersebut bagi ayahnya. Walaupun jika dia berpikir ulang, pasti dia tidak akan mengajukan lamaran kerja ke sana. “Kalau Vio kerja di sana, nanti jadi bahan omongan bahwa Vio masuk karena nepotisme. Apalagi kalau Vio berbuat salah.” Violet memberikan alasan kepada ayahnya. “Ayah yakin, kamu akan melakukan pekerjaan dengan baik. Ayah kan tahu bagaimana anak ayah. Seorang yang bertanggung jawab.” Jawab ayahnya bangga dan percaya penuh kepada Violet. Akhirnya Violete terpaksa menganggukkan kepalanya tanda setuju, walaupun sedikit terpaksa. “Kapan jadwal tes ujian masuk universitasnya?” tanya ayahnya lagi setelah dia memakan buah beberapa potong dengan potongan terakhir masih dia kunyah. “Masih satu bulan lagi Yah. Masih banyak waktu buat Vio belajar untuk persiapan ujian masuk universitas. Paling satu dua hari ini, Vio ingin pergi cari buku-buku soal untuk ujian masuk universitas.” “Bagaimana kalau kita semua ke kota. Kita kan belum pernah menginap ke rumah yang ada di kota. Bagaimana Yang?” tanya ayahnya kepada ibunya yang hanya melihat dan mendengarkan suami dan anaknya bercengkerama. Sekali-kali dia membatin kapan topik tentang perjodohan ini akan di angkat. “Ide bagus. Sekalian ayah bisa ajak ibu dan Vio melihat kampus yang akan dituju oleh Vio nanti.” Jawab ibunya kalem seperti biasa. Mendengar jawaban ibunya, Violet sedikit heran karena selama ini setiap kali ayahnya mengajak ke kota untuk sekedar melihat rumah dia tidak pernah mau, tetapi kali ini berbeda. “Baiklah. Bagaimana kalau besok kita berangkat pagi-pagi, kita bisa kasih kejutan buat Adrian.” Ayahnya berkata dengan bersemangat melihat arah perbincangan mereka yang tidak terduga ini. “Vio....” Violet yang lagi menguyah kue langsung mendongak memandang ayahnya lagi karena di panggil seperti itu. “Ada apa Yah?” “Nanti saat kamu kuliah, ayah sama ibu tidak rela melepas dirimu jika harus mengontrak kos-kosan. Kamu tinggal saja dengan Adrian.” Ibunya mengalihkan pandangannya dan melihat sangat suami yang tiba-tiba memulai perbicaraan serius yang ingin dia katakan tadi. “Tapi Vio tidak enak, kalau tinggal dengan Kak Adrian sendirian. apalagi kalau ayah sama ibu tidak ada di sana.” Violet menunjukan keberatannya. “Ayah tahu, kamu akan  merasa seperti ini. Bagaimana ayah harus mengatakannya?” setelah merenung apa yang harus dia akhirnya memutuskan untuk langsung mengatakan kepada Violet secara gamblang. “Ayah ingin menjodohkan kamu, agar nanti kuliah kamu tidak perlu sendirian di kota besar itu.” Violet semakin bingung dengan perubahan arah pembicaraan yang cepat ini, sesaat tadi mereka berbicara tentang kuliahnya nanti sekarang langsung berubah menjadi perjodohan. “Ayah ingin menjodohkan Vio dengan siapa Yah?” tanya Violet hati-hati. “Dengan Adrian. Ayah rasa ini adalah jalan terbaik.” “APA... Vio tidak salah dengar? Ayah mau menjodohkan Vio dengan Kak Adrian?” “Iya, dia bisa menjaga kamu dengan baik nanti di kota.” “Tetapi Vio bisa menjaga diri sendiri Yah. Dengan Vio tinggal di kos-kosan, Vio bisa mandiri.” Ayahnya mengambil tangan Violet yang memang duduk di sebelahnya dan menggenggamnya dengan erat, sambil memandang Violet dengan sayang. “Ayah sangat sayang denganmu. Namun ayah merasa kamu ada jarak dengan ayah dan Adrian. Ayah ingin kamu menjadi bagian dari keluarga ini seutuhnya, dengan kamu menikah dengan Adrian, kamu benar-benar akan menjadi anak ayah.” Mendengar penjelasan ayahnya yang memang benar bahwa Violet agak menjaga jarak membuatnya menangis. Ayahnya menghapus air mata Violet yang menangis dalam diam. “Kamu mau kan menjadi anak ayah. Bukan berarti selama ini kamu bukan anak ayah, bukan. Tetapi jika kamu menikah dengan Adrian, kamu benar-benar akan menjadi anak ayah bukan lagi orang luar. Ayah tidak mau kehilangan kamu, jika kamu menikah dengan orang lain, kamu akan dibawa oleh suamimu itu  dan kalau itu terjadi kamu seperti akan hilang.” Ayahnya juga tidak tahan akhirnya mendekap Violet dengan erat yang berjarak dengan lengan kursi, matanya sudah berkaca-kaca. Dia akhirnya melirik istrinya yang juga sudah menitikan air mata. Setelah ayahnya melepaskan pelukannya, Violet akhirnya memberikan jawaban kepada orangtuanya. “Kalau seandainya Vio setuju, belum tentu Kak Adrian mau menerima Vio. Kak Adrian pasti sudah memiliki seseorang yang dia suka di kota.” Mendengar jawaban Violet senyuman terbit di wajah ayahnya. “Adrian sudah ayah kasih tahu. Dia setuju dengan perjodohan ini.” Violet yang terkejut dengan jawaban ayahnya membuat mata Vio membulat. “Besok kita ke kota, sekalian kamu bisa terbisa dengan rumah yang ada di kota dan sekalian juga bisa menghabiskan waktu dengan Adrian. Mumpung lusa kan weekend.” Ayah memutuskan, dia merangkul istrinya yang duduk satu kursi di sebelahnya. Dia menciumi rambut istrinya berkali-kali. Pemandangan itu bukan hal baru bagi Violet, dia sudah terbiasa melihat mereka yang tidak segan mengubar kemesraan mereka. Walaupun ada anak-anaknya yang sedang bersama mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD