10 - KISAH DUA ALAM

1163 Words
Hari ini Elin menutup toko rotinya karena merasa tidak enak badan, sejak bangun tidur tubuhnya terasa berat, kepalanya pusing, pandangan matanya juga berkunang-kunang. Wanita satu anak itu berjalan menuju dapur, sejak pagi tadi perutnya lapar tapi malas untuk sekadar bangun dari ranjang. Selama setengah jam berkutat di dapur ia hanya membuat masakan yang simple, sup jamur dengan irisan bakso sapi dan tempe goreng sebagai lauk pendamping, beruntungnya masih ada sisa bahan makanan di kulkas sehingga ia tidak perlu susah payah pergi ke pasar. Baru saja ia mematikan kompornya, tiba-tiba saja Elin terbatuk-batuk dengan keras, tenggorokannya juga serasa tercekat. Dengan spontan Elin berlari menuju toilet, di sana ia memuntahkan cairan merah kental darah. “Astaga, ini darah?” Elin menatap cairan yang baru saja ia muntahkan ke kloset, bulu kuduknya meremang melihat darah itu. Bahkan darahnya juga tersisa di sudut bibirnya, ia segera membilasnya dengan air bersih dan menyambar gulungan tisu. “Selama ini aku tidak pernah memiliki riwayat penyakit aneh, baru sekali ini batuk berdarah.” Ia bergumam dengan dirinya sendiri, sangat heran dengan kejadian ini. Setelah membersihkan sudut bibirnya, Elin pun keluar dari toilet, tubuhnya semakin terasa lemah saja, untuk berjalan pun ia sempoyongan. Tepat saat itu pula terdengar ketukan pintu disusul dengan suara melengking yang sangat Elin kenali. “El, kamu di rumah nggak?” Itu suara Venda, gadis itu memang memiliki suara yang lantang hingga sekecil apapun suaranya tetap terdengar melengking. “Ya, tunggu bentar Ven.” Tertatih-tatih Elin menghampiri pintu rumahnya. Saat pintu terbuka muncul lah wajah Venda yang sedang tersenyum lebar. Tapi beberapa detik kemudian senyuman itu luntur kala melihat Elin yang terlihat lesuh, ia memincingkan matanya curiga. “Kenapa kamu?” “Masuk dulu gih,” jawab Elin mempersilakan Venda untuk masuk ke ruang tamunya, tak lupa Elin menutup kembali pintu rumahnya. Venda meletakkan camilan di meja, dirinya juga langsung mendudukkan bokongnya pada sofa. “Udah makan kamu El?” Elin menggeleng pelan. “Aku nggak enak badan, toko juga aku tutup karena nggak kuat buat beraktivitas lama-lama.” “Pantesan aku liat toko kamu tutup, ini camilan dimakan.” Venda menyodorkan irisan buah-buahan segar pada Elin. “Kamu udah makan belum? Mau makan sekalian nggak, tapi ya lauknya seadanya karena aku nggak bisa ke pasar hari ini.” “Boleh, numpang makan di rumah kamu juga nggak ada salahnya.” Venda terkekeh dengan pelan. Elin membawa gadis itu ke dapurnya, untung saja sup jamurnya banyak sehingga cukup lah untuk dua orang bahkan lebih. “Wah suka nih ada baksonya, mantep.” Venda mengacungkan jari jempolnya tinggi-tinggi. Keduanya duduk di meja makan menikmati sarapan pagi yang kesiangan, sesekali mereka saling melempar obrolan. Venda meneguk segelas air putih hingga tandas, perutnya kenyang. Sementara itu Elin makan dengan malas-malasan, bukan karena tidak suka dengan lauknya, justru Elin tipe wanita yang doyan makanan apapun. Ini karena lambungnya seolah menolak untuk diisi makanan, perutnya perih dan juga tenggorokannya seperti tercekat. “El, kenapa?” Venda yang sudah menyelesaikan makannya pun keheranan melihat Elin yang sesekali terbatuk sambil mengelus lehernya. “Aku muntah darah tadi, tenggorokanku sakit.” jawab Elin. “Hah, sampe keluar darah juga?” Mata Venda membola kaget. Elin mengangguk lemah, padahal ia tidak mengkonsumsi makanan yang aneh-aneh. “Udah minum obat belum?” “Nanti sore aku panggil Dokter aja,” balasnya. Venda mengangguk-angguk sebagai jawaban. Ia menatap seluruh penjuru dapur, ada dua aura yang bersitegang. “El, apa suamimu abis ke sini?” “Iya, lusa Bhanu ke sini karena aku memanggilnya. Seperti saranmu aku menerimanya, aku ikhlas menjalani takdir itu, penyesalan memang selalu datang di akhir.” Elin terkekeh kecil, bibir pucatnya berusaha untuk merekahkan senyuman. “Balikan dong? Syukurlah kalau kamu sudah menerima anak dan suamimu, meski kalian berbeda alam tapi bagaimana pun juga janji pernikahan sudah terucap dan yang terpentingnya ada sosok mungil yang menjadi bukti cinta kalian.” Venda turut lega mendengar penuturan Elin. Sejujurnya Venda juga tak membenarkan pernikahan beda alam, ia juga tidak tahu pasti bagaimana hukumnya dalam pandangan agama. Padahal ada surat nikah yang disahkan oleh negara, cukup rumit memang. “Tapi El aku merasa aura yang nggak enak sejak menginjakkan kaki di halaman rumah kamu, entah kenapa auranya berbeda dari aura suamimu.” “Bhanu juga berkata sama sepertimu, katanya ada aura jahat disekitar rumah.” Elin mengendikkan bahu tak mengerti, ia tidak punya kelebihan melihat makhluk gaib. “Sayang sekali aku nggak bisa lihat makhluk macam apa itu, cuma auranya aja yang gelap.” Jika boleh jujur Elin juga takut, apakah ia diganggu oleh sosok mereka? “Udah jangan dipikirin, yang penting kamu tetap ibadah dan inget Tuhan, golongan gaib tidak bisa mengganggu manusia yang taat.” tukas Venda. “Iya bener,” balas Elin. “Gimana perkembangan toko, laris kan? Minggu depan ada pengajian rutinan Umi, katanya mau pesan seratus bungkus roti pisang cokelat.” “Lancar dan semakin ramai pembeli. Minggu depan ya? Semoga aja cepet baik ini badan jadi bisa dibuat kerja.” “Cepetan sembuh, aku udah bantu promosi roti kamu sama Umi, bisa kena omelan kalau nggak jadi.” Elin tertawa pelan mendengar perkataan Venda, sangat mendramatisir! “Omong-omong soal omelan, beberapa hari yang lalu aku juga kena omelan tetangga.” Elin jadi teringat dengan Anggini yang menuduhnya. “Eh, kenapa?” Venda terlihat antusias mendengar cerita Elin. “Namanya Anggini, dia bilang aku ngerebut pembelinya, jadi dia tuh punya toko roti juga tapi sepi peminat. Dia dateng ke sini sambil ngomel nuduh aku pakai penglaris, orang zaman sekarang kenapa sih mudah banget memfitnah.” Terdengar hela napas kasar dari wanita itu. “Gila, sampe segitunya? Dia ngelabrak kamu gitu?” Venda sampai menganga tak percaya, ada-ada saja tingkah manusia di zaman ini. “Iya, dia juga kayaknya dendam banget deh.” Ekspresi wajahnya muram, ia tidak ingin mencari musuh apalagi tetangga sendiri. Tidak nyaman rasanya bertetangga tapi saling bermusuhan. “Yang mana sih orangnya, biar aku ruqiyah sekalian.” Venda terlihat kesal, bagaimana mungkin ada orang yang iri dengki dengan usaha tetangganya. Apalagi sampai menuduh menggunakan penglaris, faktanya kan memang roti bu Sri memang sudah terkenal sejak dulu dan melegenda dihati pembelinya. “Rumahnya paling ujung barisan kompleks ini.” “Gimana, mau labrak balik?” Venda sangat menggebu-gebu untuk balas melabrak, gadis tomboy itu memang suka sekali dengan keributan. “Biarin aja dulu, ntar kalau Anggini berulah lagi baru kasih pengertian.” Elin tidak mau ribut dengan tetangganya, sebisa mungkin ia bersikap baik dan ramah. “Jangan cuma kasih pengertian, orang modelan Anggini perlu dikerasin biar nggak berani buat ulah lagi. Langsung kabari aku kalau dia macam-macam, aku siap memberinya pelajaran berharga.” Venda tersenyum miring. “Iya, untuk sekarang aku nggak mau mencari keributan, tapi jika dia berulah lagi kedepannya aku juga nggak akan tinggal diam.” “Nah bagus, orang begitu jangan dikasih ampun, libas aja sampai habis.” Ia menjentikkan jarinya cepat. Keduanya pun saling mengorbol panjang lebar, hingga satu jam setelahnya Venda pun pamit pulang, sementara itu Elin mempergunakan waktu libur sebaik mungkin, ia ingin istirahat total.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD