“Hormat saya pada Pangeran,” ucap sosok pria berusia tigapuluh lima tahun, tubuhnya menunduk untuk memberi penghormatan pada majikannya.
“Berdiri lah Damar.” Bhanu meminta pengawalnya untuk berdiri tegap.
Damar Dwija adalah pengawal pribadi Bhanu, pria itu sangat setia dan patuh pada sang tuan.
“Bagaimana keadaan di istana dan pemukiman?” tanya Bhanu.
“Menjawab pertanyaan pangeran, untuk istana cukup aman sedangkan area pemukiman terjadi sedikit gesekan. Rakyat meminta Anda untuk segera menaiki tahta dan menjadi pemimpin selanjutnya, mereka juga bertanya-tanya kenapa sampe bertahun-tahun Anda pergi dari alam ini, sekalinya kembali pun masih enggan untuk menduduki tahta.” Damar menjelaskan semuanya dengan detail mengenai kecemasan para rakyat.
Bhanu menghela napas berat, sorot matanya menatap lurus jendela kamar yang langsung menuju pada halaman istana alam gaib, ia sungguh berada di ambang dilema.
“Menurutmu bagaimana aku harus memutuskannya, mereka hanya belum tau saja bahwa aku sudah melanggar aturan istana, entah apa yang akan mereka lakukan ketika mengetahui hal itu.”
“Menurut saya untuk meredam kecurigaan rakyat, lebih baik Anda segera mengambil alih tahta, sementara Pangeran Manggala biar bersama ibundanya di alam manusia. Saya khawatir jika Anda lebih lama lagi mengambil keputusan maka rakyat akan curiga, terlebih lagi Arya Sengkali, dia sangat berambisi menjatuhkan Anda.” Damar menjelaskan panjang lebar, ketika dimintai pendapat baru lah ia berani ikut buka suara.
“Kamu benar, malam ini ikut lah denganku untuk menemui Elin, pastikan juga tidak ada orang yang melihat kepergian kita.” Bhanu memercayakan semuanya pada Damar karena pengawalnya itu sangat loyal.
Damar tidak pernah takut mati, ia yang menjadi garda terdepan demi keselamatan tuannya.
“Baik, Pangeran.”
Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang curiga mengenai Manggala, satu mata melihat maka seribu mulut akan berbicara. Untuk beberapa saat ini demi keamanan ia akan memercayakan Manggala pada Elin, wanita itu pasti senang karena bisa merawat anaknya sendiri.
Bhanu pergi ke ruang tersembunyi menemui pengasuh, ia mengatakan rencananya malam ini, pengasuh itu pun diminta untuk mempersiapkan segala kebutuhan Manggala untuk dibawa pergi.
Hingga akhirnya malam hari pun tiba, hampir semua anggota inti penghuni istana tidak berada ditempatnya, sebagai golongan jin maka mereka lebih aktif di malam hari.
Damar memimpin jalan, ia sudah memeriksa seluruh penjuru istana dan hasilnya dalam keadaan aman. Sementara itu Bhanu ada di belakang sambil menyembunyikan Manggala dalam pelukannya, ia juga mendekap anak kandungnya dengan erat.
“Aman, Pangeran.” Damar menoleh ke belakang lalu memberikan anggukan singkat.
“Ya, kita lewat pintu belakang saja.”
Seperti itu lah gambaran ketika Bhanu membawa Manggala diam-diam selama mendapatkan ASI dari Elin, ia harus sangat berhat-hati dalam setiap langkahnya agar tak ketahuan oleh orang lain.
Sementara itu di rumah Elin, wanita itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena rasa sesak didadanya, ia juga masih sering terbatuk-batuk dan sesekali mengeluarkan darah lagi.
Sore tadi ia memanggil Dokter untuk memeriksanya, Dokter berkata itu adalah gejala Virus Corona yang memang sedang viral saat ini. Elin bahkan membulatkan matanya terkejut saking tidak percayanya, enak saja ia didiagnosa demikian.
Alhasil, Elin pun diminta untuk melakukan isolasi mandiri di rumah untuk berjaga-jaga juga harus mengenakan masker. Ada beberapa butir obat yang harus ia konsumsi untuk meredakan sakitnya, meski pada faktanya tidak membantu sama sekali.
Seperti halnya saat ini, ia memilih untuk duduk di depan tv dan menonton siaran berita malam, Elin tak bisa terlelap karena jika tubuhnya digunakan untuk berbaring maka dadanya terasa sesak dan sakit.
Tak berselang lama ia menonton tv, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dari arah depan.
“Jam segini siapa yang bertamu?” gumamnya dengan diri sendiri. Elin melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, waktu yang mustahil untuk orang normal ingin berkunjung, terlebih lagi kawasan ini sudah sepi jika beranjak malam hari.
“Masa Venda? Tapi dia pasti udah teriak kalau belum dibukain pintu,” tambahnya lagi.
Tidak mungkin Venda karena jika gadis itu berkunjung selalu mengeluarkan suara.
Suara ketukan berubah menjadi gedoran, Elin terperanjat kaget. Ia memelankan volume tv dan perlahan-lahan bangkit dari kursi, dengan keberanian seujung jari ia berjalan menuju ke pintu utama rumahnya,
Bahkan Elin juga refleks menahan napas meski jantungnya berdetak dengan cepat.
Sebelum membuka pintu, untuk keamanan ia lebih memilih mengintip melalui jendela. Disibaknya gorden itu lalu menyembulkan kepalanya, matanya juga menyipit untuk memeriksa orang di sana.
“Hah, nggak ada orang?” Elin terkejut kala tak mendapati seorang pun di sana, lalu siapa yang mengetuk pintu tadi?
Di balik pintu sana tidak ada orang sama sekali, jalanan pun sepi dan lenggang, tiada tanda-tanda kehadiran seseorang.
Tiba-tiba saja hawa dingin membuat bulu kuduk Elin meremang, ia bahkan memeluk dirinya sendiri untuk menghalau udara dingin ini.
“Mungkin aja orangnya udah pergi,” ucapnya berusaha untuk berpikir positif.
Elin berbalik badan ingin kembali ke ruang tv, tapi lagi-lagi pintu rumahnya diketuk.
Dengan cepat Elin menyibak gorden jendelanya karena tidak ingin kecolongan.
Gorden jendela berhasil ia sibak, seketika itu mata Elin membelalak terkejut saat mendapati pemandangan tepat di seberang jendela sana.
Tangan dan kakinya meremang, tubuhnya sulit untuk digerakkan, apalagi bibirnya yang kelu untuk sekadar berteriak terkejut.
Tepat di jendela depan sana, Elin melihat sosok yang sangat mengerikan, seumur hidup ia tak pernah melihatnya sama sekali.
Seonggok tubuh itu memiliki lidah panjang menjulur menjilati kaca jendela, bola matanya mendelik dengan tajam, badannya hitam gosong.
Glek!
Elin menelan ludahnya susah payah. Mata sosok itu menatap pada Elin, kepalanya dimiringkan sambil mendelik.
Syok? Tentu saja, baru kali ini Elin melihat penampakan hantu.
“MATI!” ucap sosok itu disertai dengan geraman tertahan.
Elin ketakutan, seluruh badannya menggigil, ditambah lagi keadaannya yang belum fit benar. Napas wanita itu tersengal-sengal, siapapun bantu dirinya.
Sosok itu merayap di kaca jendela Elin, berusaha menggapai wanita itu. Untuk sesaat akhirnya Elin bisa bergerak sehingga ia segera menutup gorden jendelanya.
“Ya Tuhan, makhluk apa itu?” Elin menutup mulutnya, di saat seperti ini ia ingin menangis saja rasanya.
“GOARH,” geraman dari sosok tersebut terdengar, semakin menambah suasana mencekam.
Elin memundurkan langkahnya sebisa mungkin menjauh dari tempat kejadian perkara.
“Ponsel? Ya, aku harus meminta tolong pada Venda.” Elin tidak berani keluar dari rumah untuk meminta pertolongan dari tetangga, sementara makhluk itu masih berada di area rumahnya.
Namun, belum sampai Elin melangkah mencari ponselnya tiba-tiba saja di depan sana ada suara bedebum yang cukup keras. Geraman saling bersahut-sahutan, Elin penasaran dengan apa yang terjadi di depan rumahnya tapi ia sendiri tidak memiliki keberanian untuk mengeceknya.
Wanita itu menggigit bibirnya dengan keras, setelah berpikir dengan cepat akhirnya Elin memutuskan untuk melihat kejadian dari balik jendela.
“Bhanu?” Seutas senyuman muncul dari bibir wanita itu, di sana ia melihat Bhanu berusaha menyerang sesosok makhluk gaib mengerikan tadi.
Elin baru menyadari satu hal, kenapa ia tak memanggil nama suaminya saja tadi? Ah, di saat yang genting membuat otak seseorang jadi mudah kelupaan.
Bhanu terus menghujami pukulan dan tendangan, tak lupa pria itu juga membacakan ajian untuk mengalahkan lawannya.
Hela napas terdengar dari bibir Elin, ia sangat lega akhirnya bantuan datang. Di sisi lain Elin juga mengkhawatirkan keadaan Bhanu karena terus bertarung, Elin takut jika suaminya terluka.
Pergelutan akhirnya selesai, tentu saja dimenangkan oleh Bhanu karena ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sosok tadi tiba-tiba saja menghilang bersamaan dengan munculnya asap tipis dan terbangun ke angkasa.
Bhanu menatap kepergian musuhnya dalam diam, tapi matanya terus menelisik keanehan yang terjadi.
“Suamiku,” kata Elin dengan lirih.
Seketika itu Bhanu langsung mengalihkan tatapan, ia mendapati Elin tengah menatapnya dari balik jendela rumahnya.
Elin buru-buru membuka pintu rumah dan berlari menghampiri suaminya, refleks Bhanu merentangkan tangan untuk menyambut pelukan sang istri.
“Bhanu, aku takut sekali.” Elin merangsek masuk ke pelukan suaminya, ia mencurahkan segala ketakutannya pada Bhanu.
Tangan pria itu mengelus kepala Elin dengan sayang, berusaha menenangkan sang istri.
“Aku di sini untuk melindungi istriku, sekarang sudah aman.” Suara Bhanu sangat lembut, dekapannya pada Elin juga sangat erat, Bhanu dan Elin sama-sama masih saling mencintai.
“Sebenarnya makhluk apa itu, kenapa dia menampakkan wujudnya padaku?” Elin mendongakkan kepalanya untuk mencari jawaban dari sang suami.
Bhanu menyunggingkan senyumnya, ia melepaskan pelukan keduanya tapi masih dengan memegang bahu Elin dengan sayang.
“Kita bicarakan di dalam. Ohh ya, aku datang bersama dengan Manggala.”
“Manggala, ada di mana putraku?” Seketika itu raut wajah ketakutan Elin berubah menjadi sumringah, ia sangat bersemangat ingin bertemu dengan sang anak.
Damar muncul dari gelapnya malam, tadinya ia diminta Bhanu untuk bersembunyi terlebih dulu karena Bhanu ingin memberikan kejutan pada sang istri.
Namun, setibanya di rumah Elin justru Bhanu yang dikejutkan oleh adanya sosok makhluk gaib yang berusaha tuk menyakiti istrinya. Dari auranya saja Bhanu sudah bisa menebak bahwa itu adalah jahat, entah apa tujuan asli kedatangan sosok tersebut.
Satu hal yang bisa Bhanu duga, makhluk itu adalah suruhan yang memiliki tuan.
Damar menghampiri sepasang suami istri itu, ia menggendong Manggala dalam dekapannya.
Mata Elin berkaca-kaca, akhirnya ia bertemu dengan sang putra.
“Manggala anakku,” Elin langsung mengambil alih Manggala dari Damar.
Mereka berjalan menuju ke dalam rumah, Elin tak henti-hentinya menatap wajah sang putra yang sudah lelap tertidur.
Tidak banyak perubahan dari fisik bayi itu, hanya saja kulit bersisik yang kemerahan itu agak memudar dan tak semencolok sebelumnya.
Elin duduk dengan hati-hati karena takut mengganggu tidur Manggala, senyuman tak henti-hentinya merekah dari bibir manis wanita itu. Tidak peduli bagaimana rupa anaknya, Manggala tetap lah darah daging Elin yang tumbuh dan lahir dari rahimnya.
Melihat bagaimana senangnya Elin bertemu dengan Manggala membuat Bhanu ikut bahagia, akhirnya Elin dapat menerima keadaan putra mereka apa adanya.
“El, ada yang ingin aku bicarakan padamu.”
“Ya, aku siap mendengarkan.”
“Pertama aku ingin memperkenalkan kamu dengan Damar, dia adalah pengawal pribadi kepercayaanku.” Bhanu menunjuk Damar yang setia berdiri.
Pria itu memiliki ekspresi datar, Damar hanya akan melunakkan raut wajahnya ketika hanya bersama dengan sang majikan saja, jika ada orang lain maka ia akan bersikap dingin dan tak tersentuh.
Elin melempar senyuman dan juga anggukan, tapi Damar hanya menatapnya tanpa membalas, membuat Elin mengerutkan keningnya heran.
“Damar memang bersikap kaku pada orang lain, tapi dia sangat setia dan bertanggung jawab penuh padaku.” Bhanu memberi penjelasan agar sang istri tidak merasa tersinggung dengan sifat alami Damar.
Sebagai pengawal pribadi maka sudah seharusnya Damar menjaga jarak dari orang lain, ia juga terkesan kaku dan menyebalkan agar tak didekati oleh orang lain, sudah sejak dulu ia menjadi pria berhati batu.
“Ohh begitu.”
“Damar, kamu tidak perlu bersikap kaku pada Elin. Perlakukan Elin sebagaimana kamu memperlakukanku karena ia adalah istriku, serta calom ratu selanjutnya.” Ia mencoba untuk memberi pengertian terhadap pengawalnya.
“Baik, Pangeran.”
“Selanjutnya, mulai sekarang Manggala akan tinggal bersamamu, aku mempercayakan putra kita padamu. Gejolak istana saat ini sedang tidak baik-baik saja jadi berbahaya jika Manggala tinggal di sana, apa kamu bersedia merawatnya?” Bhanu bertanya untuk memastikan bahwa Elin tidak keberatan, ia tak mau jika Elin justru terbebani oleh kehadiran anak mereka.
“Tentu saja aku bersedia, Manggala adalah darah dagingku.” Elin menjawab dengan lugas tanpa keraguan sama sekali.
Bhanu sangat bersyukur dengan kembalinya sifat keibuan sang istri. Elin selalu rendah hati dan ramah.
“Aku akan mengunjungi kalian dalam beberapa hari, mengingat bahwa di alam gaib juga sedang mengalami kericuhan.”
“Aku mengerti, selesaikan dulu urusanmu di sana, sementara aku di sini akan menjaga Manggala sebaik-baiknya.”
“Terima kasih, aku sangat menyayangi kalian.”
Elin tersenyum lebar, jantungnya kembali berdetak cepat, rasa cintanya terhadap sang suami masih ada dan selalu ada hingga selamanya.
“Mengenai kejadian tadi, dia adalah makhluk jahat. Kamu harus berhati-hati dengan siapapun, sepertinya ia disuruh oleh orang yang membencimu.” Jelas Bhanu.
Kening Elin saling bertaut. “Orang yang membenciku?”
“Iya, jangan percaya pada siapapun itu. Aku akan memasang ajianku agar kalian terlindungi dari bangsa gaib yang berniat jahat,”
Elin mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban. Otaknya masih mencerna perkataan Bhanu mengenai pembenci dirinya, kira-kira siapa?
“El, kamu terlihat pucat?”
“Ahh ya, akhir-akhir ini aku sakit.”
“Sebentar,” Bhanu mengarahkan telapak tangannya untuk menyentuh dahi, leher dan juga tangan sang istri.
“Suhu badan kamu normal, tapi tubuh kamu lemas. Jika boleh ku tebak, sakit ini juga kiriman dari orang yang membencimu.”
“Astaga.” Elin mendengus pelan, tega sekali orang yang berbuat jahat padanya seperti ini.
“Aku muntah darah dan sesak napas, Dokter mengira aku terkena gejala virus.”
Bhanu menggeleng.
“Bukan penyakit pada umumnya. Aura tubuh kamu diselimuti kegelapan meski sedikit, ini karena orang itu ingin menyakitimu melalui media santet.” Kecurigaan Bhanu memang ada benarnya.
Di mata pria itu, tubuh Elin terlihat memiliki aura negatif dan suram. Apa lagi jika bukan santet?
“Aku tidak akan membiarkan istriku disakiti, akan ku balas mereka yang berani menyentuhmu!” Bhanu marah karena dari golongannya ada yang berniat mencelakai Elin.
“Lalu bagaimana aku bisa terlepas dari santet itu? Apa aku akan mati?” Elin mulai was-was.
“Aku akan melakukan apapun demi istriku, aku akan berusaha melepaskan santet itu darimu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Elin to the point.
Mata Bhanu bergeser menatap Damar, membuat sang pengawal paham arti tatapan sang tuan.