Bhanu kembali ke istananya dengan senyuman yang merekah, ia bahagia karena Elin sudah membuka pintu hati untuknya. Sebuah bangunan megah yang keseluruhannya terbuat dari emas merupakan tempat Bhanu tinggal selama bertahun-tahun ini, ia juga yang akan mewarisi istana kedepannya.
Pria dewasa itu berjalan santai memasuki gerbang istananya, para prajurit membungkuk hormat pada sang pewaris kerajaan bangsa gaib.
“Bhanu, dari mana saja kamu? Rakyat semakin memintamu untuk segera menduduki tahta, sedangkan dirimu sibuk keluar masuk istana.” Sebuah suara terdengar dari lorong samping menuju ke aula istana.
Bhanu menghentikan langkahnya, ia tidak berbalik, tapi wanita itu mendekati dirinya.
“Aku memiliki urusan,” tukas Bhanu dengan nada dingin.
“Sejak kamu pulang dari menimba ilmu, kamu terlihat sibuk saja.”
“Gendis, daripada kamu ikut campur urusanku lebih baik urus saja pekerjaanmu sendiri.” Bhanu terlihat kesal karena Gendis selalu ingin tahu dan ikut campur pada urusannya, akhirnya ia berbalik badan berhadapan dengan wanita tersebut.
Gendis Purnama, ia adalah wanita yang menyukai Bhanu sejak dulu, ia juga yang rencananya akan dijodohkan dengan Bhanu. Akan tetapi, tentu saja pria itu menolaknya mentah-mentah.
Bhanu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, tapi ucapan Gendis sontak saja membuatnya mengurungkan langkah selanjutnya.
“Kenapa kamu terus menghindar, takut karena dijodohkan denganku?” Gendis tersenyum miring seolah mengejek.
Selama ini ia sudah sabar menunggu Bhanu hingga mereka sama-sama dewasa dan bisa menikah. Gendis juga menantikan momentum kenaikan tahta Bhanu, dengan begitu maka Bhanu pasti akan dituntut untuk mencari Ratu, dan dirinya lah yang pantas bersanding dengan pria itu.
Kedua tangan Bhanu terkepal dengan erat, ia sangat sensitif mendengar kata perjodohan.
“Kita sudah sama-sama tau, aku tidak pernah mencintaimu. Hubungan sejak kecil hanya sekedar teman, tidak lebih.” Bhanu mencoba untuk bersabar, sudah berapa kali ia menjelaskan bahwa tidak ada rasa cinta untuk Gendis, tapi wanita itu terus saja mengharapkannya dan mencari-cari celah agar bisa menikah dengannya.
Sejak kecil Bhanu dan Gendis memang sudah berteman baik, Gendis juga menjadi anggota istana ini. Tapi bukan berarti Bhanu mencintai wanita itu, Gendis salah paham mengenai hubungan mereka.
Ekspresi wajah Gendis berubah muram, tenggorokannya tercekat ketika Bhanu terus menerus menekankan bahwa tidak mencintainya.
“Kita sudah bersama sejak kecil, kita menghabiskan banyak waktu. Tidak kah kamu memiliki perasaan cinta untukku? Kenapa sulit sekali untuk mencintaiku, sedangkan aku dengan mudahnya memberikan hatiku untukmu sepenuhnya.”
Bhanu mengalihkan tatapannya, tidak ingin terbuai oleh kesedihan Gendis. Selain karena ia tidak mencintainya, Bhanu juga sudah memiliki istri yang sangat dicintai, satu-satunya wanita yang bisa memiliki hatinya.
“Tatap aku, katakan alasan sebenarnya.” Gendis berjalan mendekati Bhanu, ia juga menyentak lengan pria itu agar menoleh padanya.
Bhanu akhirnya mau menatap Gendis lagi. “Gendis, ku mohon lupakan saja perasaanmu terhadapku, kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku sangat berterima kasih padamu karena sudah mencintaiku, tapi maaf aku tak bisa membalas perasaan itu. Cari lah pria lain yang juga mencintaimu, berbahagia lah meski bukan denganku!”
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bhanu semakin membuat hati Gendis patah berkali-kali lipat. Sudut matanya terdapat genangan air mata yang siap untuk meluncur, kenapa susah sekali mendapatkan cinta Bhanu.
Apa kesalahannya?
Di mana kekurangannya?
Hingga Bhanu menyia-nyiakan dirinya seperti ini.
“Bagaimana mungkin aku bisa bahagia jika bukan denganmu? Hah bodohnya aku selalu mengharapkanmu meski dirimu berkali-kali membuatku sakit hati, apa aku terlalu lugu untuk mengemis cinta darimu?”
Bhanu menghela napas berat, tidak mungkin ia blak-blakan mengatakan sudah menikah, apalagi dengan bangsa manusia. Gendis bukan orang yang tepat untuk dijadikan tempat menyimpan rahasia, wanita itu terlalu licik dan penuh tipu muslihat.
Pria itu meraih kedua bahu Gendis.
“Lupakan aku dengan perlahan, kamu pasti bisa.” Bhanu menatap lekat kornea mata Gendis, pertanda bahwa ia benar-benar serius dan tidak ingin mendengar alasan lagi.
Setelah berkata demikian Bhanu pun melenggang pergi dari sana, ia benar-benar meninggalkan Gendis di aula itu.
“Tidak semudah itu, Bhanu.” Balasnya dengan suara yang amat lirih, mata Gendis terus menatap punggung pria yang dicintainya hingga hilang tertelan belokan.
Bhanu menyugar rambutnya ke belakang, masalah di istana sangat rumit, lebih bagus ia tinggal di dunia manusia saja.
Diketuknya pintu beberapa kali, hingga pintu itu terbuka dan ia diminta untuk masuk.
“Hormat hamba pada Pangeran Bhanu,” ucap sebuah suara dengan membungkukkan badannya.
Bhanu mengangguk pelan sebagai jawaban, ia berjalan menghampiri box yang ada di tengah-tengah ruangan.
“Bagaimana Manggala seharian ini?” tanyanya.
“Beberapa kali Pangeran Manggala menangis, tapi saya berhasil membuatnya tertidur.”
“Tidak ada yang curiga mengenai keberadaannya?”
“Sejauh ini tidak ada, hanya saja saya khawatir jika lama-lama suara tangis Pangeran Manggala terdengar oleh anggota istana yang lain.”
“Tempat ini sudah ku lindungi dengan ajian gaib, tidak ada yang dapat mendengar apapun dari ruangan ini, kecuali orang itu membuka pintunya dengan sengaja.”
Bhanu memerintahkan pengasuh kepercayaan untuk mengurus putranya, ia belum bisa memperkenalkan Manggala pada dunia karena status anak itu memiliki darah bangsa manusia.
“Maaf jika pertanyaan saya terdengar lancang. Apakah selamanya Pangeran Manggala akan hidup di dalam ruangan ini? Saya kasihan melihatnya, di saat anak-anak lain bisa bebas menghirup udara segar di luaran sana, sedangkan ia harus terkurung dan bersembunyi seperti ini.” Pengasuh itu memberanikan diri untuk mengajukan pertanyan, hatinya ikut teriris karena pola pengasuhan Manggala tidak cukup baik, anak itu terus-terusan disembunyikan dari semua orang.
Bhanu terdiam mendapat pertanyaan seperti itu, sejujurnya ia sendiri tidak tega mengurung Manggala di ruangan tersembunyi ini. Tapi bagaimana lagi, bahaya jika semua orang tahu bahwa ia sudah memiliki putra yang lahir dari bangsa manusia.
Manggala akan dicemooh, dikucilkan, dan yang paling parah adalah dilenyapkan karena peraturan alam gaib.
“Untuk sementara biarlah seperti ini dulu, aku belum mendapat solusi terbaik.”
Bhanu bimbang sama seperti Elin semalam. Di satu sisi ia ingin merawat putranya, di sisi lain keselamatan Manggala terancam jika terus menerus berada disisinya.
Dilema! Kata yang cocok untuk situasi saat ini.
“Bagaimana dengan ibunda Pangeran Manggala, apa beliau bersedia merawatnya?”
“Elin bersedia, hanya saja alam manusia juga bukan tempat yang aman untuk Manggala, kami sama-sama mengalami dilema.”
Pengurus yang dipercayai Bhanu merupakan wanita usia sekitar limapuluh tahun, diusianya yang sudah senja itu sangat berbanding terbalik dengan fisik serta rupanya yang masih sehat dan terlihat cantik.
“Boleh saya memberikan saran?” tanya pengasuh itu, tidak tega melihat majikannya dirundung kebimbangan.
Bhanu mengangguk kecil sebagai jawaban.
“Di antara dua pilihan, setidaknya jika Pangeran Manggala tinggal di alam manusia ia tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti ini karena takut dibunuh. Peraturan yang dibuat oleh leluhur sangat ketat, bahaya selalu menghantui Pangeran Manggala beribu-ribu kali lipat di istana ini, terlebih lagi melihat persaingan istana yang sangat mengerikan.”
Pria itu mendengarkan penuturan pengasuh dengan seksama. Ada benarnya juga, persaingan istana ini sangat mengerikan, ada orang-orang yang tidak menyukai Bhanu hingga ingin menyingkirkannya dari tahta.
“Aku akan membahas masalah ini dengan ayahanda, sementara itu tetap jaga Manggala seperti biasa.”
“Pasti, saya akan menjaga Pangeran Manggala sepenuh jiwa dan nyawa.”
Bhanu mengeluarkan buntalan dari dalam bajunya, lalu menyerahkannya pada sang pengasuh.
“ASI untuk Manggala, berikan padanya.” Itu adalah ASI yang dipompa oleh Elin, karena tidak bisa menyusui putranya secara langsung maka ia pun memberikan perahan ASI untuk Manggala.
“Baik, Pangeran.”
Bhanu mengecup puncak kepala anaknya dengan sayang, setelah itu ia pun keluar dari ruang tersembunyi.
“Sudah bertemu dengan istrimu?”
Bhanu dikagetkan dengan suara sosok lain yang sejak dari tadi ternyata menungguinya di balik pintu luar.
“Ya,” balasnya.
Sosok itu terkekeh pelan, otomatis Bhanu langsung mendelik pada ayahnya.
“Istrimu baik dan cantik, pantas saja kamu tergila-gila padanya.”
Bhanu semakin memincingkan matanya, tidak paham dengan arah perkataan Mahatma.
“Ayahanda pernah bertemu dengannya?”
“Tentu saja, aku penasaran dengan wanita yang menjadi menantuku dan bisa merebut hati anakku.” Mahatma menjawab dengan santai.
“Sejak kapan ayahanda menemuinya?” Bhanu agak curiga, meskipun Mahatma adalah ayah kandungnya sendiri tapi tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja Elin disakiti olehnya.
“Apakah tidak ada hal yang penting selain membahas hal itu? Lebih baik segera ambil keputusan demi keselamatan cucuku, bagaimana kamu membawanya ke tempat yang aman,” tukas pria berusia enam puluh tahunan tersebut.
“Ini yang ingin ku bahas dengan ayahanda, aku sedang bimbang antara membawa Manggala ke alam manusia dengan Elin, atau tetap di sini.”
Mahatma menyentuh pundak putranya, seketika itu mereka berpindah ke ruang pribadi. Bhanu tak kaget melihat sedikit ilmu ayahnya itu, hal ini sudah terbiasa di alamnya.
“Bagaimana menurut ayahanda? Tempat mana yang harus ku pilih demi keselamatan putraku.” Bhanu meminta saran dari Mahatma, barangkali ayahnya memberikan solusi terbaik.
“Jujur saja dua-duanya tidak ada yang baik, sama-sama berbahaya dan bisa mengancam keselamatan Manggala. Tapi demi kebaikan bersama, ayahanda setuju jika kamu membawa cucuku pada ibunya, biarkan Elin menjaganya, sekalian ingin melihat bagaimana kesigapannya menjadi ibunda yang baik bagi anaknya.”
Perkataan Mahatma benar adanya, Bhanu pun membenarkan hal itu.
“Elin memintaku agar dipertemukan dengan Manggala, ia juga sudah bersedia merawat dan menerima putra kami apa adanya, aku berharap agar Elin bisa mengurusnya dengan baik.”
Mahatma mengembuskan napas kasar, percintaan anaknya rumit juga ternyata.
“Oh ya, akhir-akhir ini aku sangat terganggu dengan keberadaan Gendis, ia selalu saja menagih cinta dariku.”
“Anak itu memang menyukaimu sejak dulu, ayahanda juga tidak bisa melarangnya.”
Untuk yang satu ini Mahatma benar-benar tidak bisa memberikan solusi. Ia tahu betul bagaimana tergila-gilanya Gendis pada Bhanu, susah sekali menghilangkan rasa cinta yang sudah terlanjur tertanam dalam hatinya.
“Apa ayahanda juga berpikir bahwa Gendis terlalu licik dan mudah memanipulasi?”
“Pemikiran anak itu sulit ditebak, yang pasti tetap berhati-hati lah terhadap siapapun, termasuk pada ayahandamu juga.” Mahatma membalas.
“Ayahanda adalah orang yang ku percaya, mana mungkin mau berbuat buruk pada anak sendiri.”
“Makhluk seperti kita dikenal sebagai pendusta oleh bangsa manusia,” jawab Mahatma.
“Bangsa gaib memang bukan makhluk yang suci, tapi aku tau bahwa ayahanda selalu melakukan sifat yang baik,” lanjut Bhanu.
Walaupun Mahatma dikenal sebagai raja para makhluk gaib penunggu hutan pegunungan, tapi Bhanu sangat paham jika ayahnya tidak pernah melakukan kejahatan terhadap manusia, Mahatma adalah sosok yang menghargai semua golongan.
Ia sadar, bangsa mereka diciptakan oleh Tuhan sebagai penggoda iman manusia, mereka juga dikenal sebagai pembohong. Akan tetapi Bhanu bersyukur karena ia mendapatkan sosok sempurna yang Tuhan ciptakan, itu lah Elin sang istri.