Pagi hari ini Elin terbangun dari tidurnya dengan senyuman merekah, tubuhnya juga lebih segar daripada kemarin. Syukurlah Bhanu benar-benar menepati janji untuk membuang ajian santet yang bersarang ditubuhnya, mengingat bagaimana metode yang digunakan suaminya lagi-lagi membuat pipi wanita itu bersemu merah.
Entah sungguhan seperti itu atau Bhanu hanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan, yang pasti semalam menjadi malam yang indah bagi sepasang suami istri itu.
Bhanu berkata bahwa cara untuk melepaskan ajian negatif itu adalah dengan melakukan ‘hubungan’. Awalnya Elin menduga bahwa suaminya memang sedang memanfaatkan keadaan, tapi setelah berpikir panjang ia pun menyetujui saja, toh mereka masih berstatus suami istri juga sekalian menuntaskan rindu.
“Selamat pagi, Sayangnya ibunda.” Elin menyapa Manggala yang sudah terbangun lebih dulu, anak itu mengerjapkan mata melihat sang ibu, bola matanya tampak normal seperti anak lain seusianya.
Elin membawa Manggala pada gendongannya, menimang-nimang putra semata wayangnya itu.
“Kita mandi yah, biar Manggala bersih dan wangi.”
Elin mencium pipi gembul putranya dengan sayang, sudah tidak ada lagi tatapan jijik atau sebagainya, Elin sudah tulus menerima dan menyayangi anaknya apa adanya.
Untuk pertama kalinya Elin melakukan pekerjaan sebagai ibu, meski sudah cukup lama ia menyandang gelar tersebut. Ia sudah memanaskan air, lalu dituangkan pada ember di toilet.
Perlahan-lahan ia menanggalkan semua pakaian Manggala, lalu dengan hati-hati membasuh tubuh anaknya dengan air hangat.
Manggala terlihat tenang dan tidak menangis sama sekali, sepertinya anak itu sangat nyaman berada dipelukan Elin.
Elin melakukan semuanya dengan hati-hati, ia baru saja belajar dari internet mengenai cara memandikan bayi bagi ibu pemula. Ia juga mewanti-wanti agar mata, hidung, dan telinga Manggala tidak kemasukan air.
Kurang lebih sekitar sepuluh menit Elin memandikan anaknya, setelahnya ia kembali ke kamar untuk mengenakan Manggala pakaian.
Setelan pakaian Manggala sudah diberikan oleh Bhanu, semua keperluan Manggala telah lengkap tanpa cela. Mulai dari minyak wangi, bedak, kaus dalam pun ada.
“Hmm wanginya anak ibunda,” endus Elin. Ia senang dengan wangi khas bayi, menyegarkan serta menenangkan.
Manggala terlihat menggemaskan, dalam keadaan normal seperti ini tidak terlihat perbedaannya dengan anak-anak lain. Semakin hari kulit Manggala juga mulai beradaptasi layaknya manusia, Bhanu berkata bahwa lama-lama Manggala akan terlihat normal, hanya perlu waktu dan kesabaran saja.
Namun, ada kalanya di saat-saat tertentu Manggala akan berubah ke wujud aslinya, itu pun di waktu khusus saja. Elin belum tahu kapan pastinya, ia tidak ingin memikirkan hal itu karena selamanya dirinya akan menerima Manggala sepenuh hati.
Terakhir, Elin mengenakan celana khas ukuran bayi.
“Sudah ganteng, anak ibunda bersih.”
Ponsel Elin berdering pertanda ada panggilan masuk, ia menengok ke atas nakas lalu meraih benda persegi panjang pipih itu.
Tertera nama Venda yang memanggil nomornya.
“Hallo, Ve?”
“El kamu nggak apa-apa? Sumpah semalem aku mimpi buruk tentang kamu, bodohnya baru keinget barusan.” Nada suara Venda terdengar khawatir.
Elin mengerutkan keningnya. “Emangnya kamu mimpi apa?”
“Ada yang mau berbuat jahat sama kamu, dia kirim santet dan juga jin untuk gangguin kamu.” Venda mengatakan mimpi yang ia ingat semalam.
Terdengar hela napas kasar dari Elin, ternyata kemampuan Venda juga sangat baik, ia sampai bisa memimpikan kejadian nyata semalam.
“Itu benar, semalem ada sosok mengerikan datang ke rumah aku.” Elin memulai bercerita.
“Hah, sosok mengerikan bagaimana? Kamu beneran digangguin sama makhluk jahat itu, mimpiku benar-benar nyata?” Venda terdengar syok di ujung sambung telepon sana.
Elin menganggukkan kepala meski di sana Venda tak bisa melihatnya.
“Iya, tiba-tiba aja dia muncul dari jendela rumahku. Aku sempet mau nelpon kamu tapi tiba-tiba saja Bhanu datang, suamiku yang menyelamatkan aku.” Elin juga menceritakan bagaimana Bhanu menyelamatkan dirinya.
Venda ikut tenang mendengar penuturan temannya, syukurlah kalau Elin baik-baik saja.
“Kayaknya emang kamu kena santet deh El, kamu secara tiba-tiba sakit, muntah darah, terus digangguin sama makhluk gaib, ruqiyah aja deh sekalian.”
“Iya, Bhanu juga bilang begitu kemarin, tapi tenang aja dia udah lepasin ajian santet itu.”
“Ohh syukurlah, aku turut lega.” Venda menghela napas lega di sana, beruntung Elin memiliki suami yang ilmunya cukup tinggi dibandingkan dengan tersangka pengirim santet.
“Ve, kamu nggak penasaran sama anak aku?” Elin coba memancing Venda, ia ingin agar Venda main ke rumahnya untuk menengok Manggala.
“Anak kamu? emang kenapa?” Venda terdengar kebingungan di sana.
Elin mengubah panggilan telepon menjadi panggilan video, lalu mengarahkan kameranya pada sesosok tubuh mungil Manggala yang terbaring di ranjang.
“Woah, itu anak kamu? ugh gantengnya, imut banget.” Venda menutup mulutnya terpesona. Anak Elin ternyata tidak seburuk yang dibayangkan, fisiknya masih seperti manusia pada umunya.
Elin tersenyum mendengar ucapan Venda.
“Tungguin aku mau ke sana, kalian jangan ke mana-mana.” Venda berteriak dengan heboh membuat Elin menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Iya. Cepetan ke sini.”
“Siap meluncur, Boss!”
Venda langsung menutup sambungan teleponnya, ia bergegas menuju ke rumah Elin.
Sedangkan Elin hanya bisa terkekeh pelan melihat kelakuan temannya itu, dari dulu Venda memang menyukai anak kecil, tidak heran jika ia bersemangat untuk menengok Manggala.
“Nanti Tante Venda mau jengukin Manggala, punya teman baru.” Lagi-lagi Elin berbicara pada sang anak, Manggala membalasnya dengan tawa kecil khas anak bayi, memperlihatkan gusinya yang masih rata.
Melirik jam dinding, ini adalah waktunya untuk menyusui sang anak. Elin segera meraih Manggala dari ranjang lalu diposisikan dipangkuannya, ia membuka beberapa kancing baju teratasnya untuk memudahkan mengasi.
Sigap, Manggala seolah tahu bahwa itu adalah sumber makanannya, ia langsung menyusu pada Elin. Mata Elin tidak pernah beranjak dari sang putra, andai saat itu ia bisa menerima keadaan, mungkin sekarang Elin dan Bhanu masih bisa satu atap bersama, sekaligus ada anak yang menjadi pelengkap.
Nasi sudah menjadi bubur, Bhanu terlanjur kembali ke alamnya untuk menjadi pemimpin, yang mana keduanya harus menjalani hubungan jarak jauh. Namun, Elin tetap merasa syukur karena akhirnya Manggala bisa ia rawat dengan tangan sendiri, Manggala adalah penghubung Elin dengan Bhanu.
Wajah anak itu adalah salinan sang ayah, sangat mirip. Mulai dari mata, hidung, bahkan kerangka tulangnya. Hanya bibirnya saja yang mewarisi sang ibu, tipis penuh.
“Makan yang banyak, Nak. Selama ini kamu konsumsi ASI dari botol ataupun secara diam-diam saat ayahandamu membawamu ke sini, sekarang ibunda akan membayar semuanya. Maafkan ibunda karena pernah menyia-nyiakan kamu, ibunda menyesal.” Mata Elin sudah berkaca-kaca.
Mengingat bagaimana ia memperlakukan Manggala dengan kasar, dengan tak berbelas kasih sayang, Elin sangat malu! Masih diingatnya dengan segar kala itu ia menatap anaknya dengan pandangan jijik hanya karena Manggala berbeda darinya, hanya karena anak itu bukan keturunan manusia sepenuhnya.
Entah setan dari mana yang merasuki hatinya saat itu, Elin adalah ibu yang buruk.
Jari-jari mungil Manggala meraih tangan Elin, mata anak itu juga menatap kornea Elin dengan dalam, seolah berusaha untuk menenangkan sang ibu agar tak menyalahkan diri sendiri lagi.
“Manggala sudah di sini, ibunda akan memberikan yang terbaik untuk kamu.” Dielusnya pipi gembul sang anak.
Manggala termasuk anak yang tampan, sejujurnya ia memiliki kuning langsat ketika kulit merah bersisiknya tidak nampak.
Pintu rumah Elin diketuk dari luar, sejujurnya ia merasa de javu karena kejadian semalam, tapi ia meyakinkan diri bahwa siang hari tidak ada hantu.
Benar saja, saat ia membukanya ternyata Venda yang datang, gadis itu juga membawa buah tangan.
“Hai, anak manis.” Venda langsung menoel pipi Manggala, bibir Venda merekah senyuman dengan sempurna, anak Elin semakin tampan jika dilihat secara langsung.
Elin mempersilakan Venda untuk masuk ke ruang tamu, gadis itu meletakkan goodie bag pada meja.
“Aku bawa mainan bayi buat salam perkenalan sama Manggala. El, anak kamu lucu banget ih jadi pengin punya.” Venda menyengir kuda.
“Ya udah gih, segera nikah terus buat sebanyak-banyaknya biar anak kita jadi teman.”
“Belum ketemu jodoh. Baru tau profesiku aja laki-laki langsung kabur,” balas Venda.
Elin memberikan Manggala pada Venda, gadis itu memangku Manggala dengan super hati-hati.
“Hallo Manggala, perkenalkan nama Tante Venda.”
Manggala nyaman saja dipangkuan Venda, tidak menangis.
“El, anak kamu terlihat seperti bayi-bayi lainnya, nggak aneh kok.” Venda tidak menemukan keanehan dari tubuh Manggala, seperti yang diceritakan Elin sebelumnya.
Elin menganggukkan kepala membernarkan.
“Iya. Seiring berjalannya waktu Manggala akan nampak seperti anak normal, tapi kata Bhanu bisa saja sewaktu-waktu Manggala berubah ke wujud aslinya.” Elin meringis kecil mengatakan hal itu, sejujurnya ia tidak mau membahas masalah itu.
Venda mendengarkan dengan seksama, ia paham sekarang.
“Oh ya aku baru inget, tadi sebelum aku masuk ke gerbang rumah kamu, ada wanita yang mondar-mandir di depan sambil ngelirik ke rumah kamu, sikapnya mencurigakan sih.” Venda teringat dengan seorang wanita yang tingkahnya cukup aneh.
“Dari ciri-cirinya bagaimana?”
“Tubuhnya kurus, tingginya nggak jauh beda sama kamu, terus juga ada tanda lahir di bawah dagu.” Venda mencoba mengingat kembali ciri-ciri wanita yang ia lihat tadi.
“Terus ya auranya gelap banget, aku curiga dia memiliki tali perjanjian dengan bangsa gaib. Aku sering ketemu orang kayak gini selama jadi praktisi ruqiyah,” lanjut Venda.
Elin berpikir menimbang-nimbang perkataan Venda, dari penjelasan gadis itu sepertinya Elin bisa menyimpulkan satu hal.
“Anggini, setauku cuma dia yang punya tanda lahir di bawah dagu. Dia orang yang melabrak aku kemarin,” jawab Elin.
“Eh, jadi dia yang namanya Anggini? Tau begitu aku balas labrak aja tadi.” Venda terlihat berapi-api.
“Ve, aku juga jadi curiga, apa dia yang kirim santet ke aku? Soalnya di sekitar sini yang nggak suka sama jualanku ya cuma Anggini,” celetuknya.
Elin berusaha mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Pertama adalah saat Anggini melabrak dan menuduhnya yang bukan-bukan, kedua ketika tiba-tiba saja Elin merasa sakit serta muntah darah hingga puncaknya adalah penampakan semalam, dan yang terakhir adalah kenapa Anggini mengamati rumahnya.
Sebenarnya ia tidak mau asal menuduh, tapi ini hanya asumsi pribadinya saja. Semoga saja pemikirannya meleset, Elin tidak mau bermusuhan dengan tetangga sendiri.
“Bisa saja begitu, dia kan auranya gelap banget. Orang yang kayak begitu bakal susah matinya, dia hidup tapi seolah-olah mati. Tubunya terasa mati, tapi ia masih bisa bernapas merasakan rasa sakit, ngeri.” Venda membayangkan bagaimana tersiksanya orang-orang yang memilih untuk menjadi pemuja bangsa gaib, orang itu akan kesulitan saat sakaratul maut, arwahnya pun akan menjadi b***k makhluk itu di akhirat.
“Semoga saja perkiraanku nggak benar, aku nggak mau musuhan sama tetangga.” Elin mengembuskan napas pelan.
“Auramu juga udah balik kayak biasanya, nggak sesuram kemarin. Gimana cara suami kamu melepaskan ajian itu?” tanya Venda dengan penasaran.
“Uhuk!” Elin terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Venda, ia kena mental.
Tidak mungkin kan Elin menjelaskan dengan detail cara melepaskan ajian itu dengan melakukan hubungan suami istri, perihal ranjang adalah rahasia pasangan.
“Bhanu memberikan penjagaan juga padaku, ia membersihkan aura-aura jahat itu.” Elin berujar dengan jujur, memang setelah melakukan hubungan, Bhanu menetralisir tubuh istrinya.
“Emm begitu. Bagus lah, sekarang kamu udah terlepas dari ajian si Anggini, tapi tetap harus hati-hati sama dia.”
“Iya pasti.”
Keduanya pun berganti topik pembicaraan, Elin menceritakan bagaimana bahagianya bisa merawat sang putra, apa saja kendala dan sebagainya.