13 - KISAH DUA ALAM

1563 Words
“Sulit, pertahanannya sangat kuat.” “Lalu apa yang harus aku lakukan agar dia tidak menggangguku lagi, Ki?” tanya seorang wanita yang terlihat gusar raut wajahnya. Mendengar bahwa ajian dari dukunnya gagal menyerang Elin, membuat Anggini mulai khawatir. “Tidak ada, dia bukan lawanmu.” Pria baya berusia sekitar enampuluhan tahun menjawab dengan gelengan kepala. Anggini menekuk bibirnya dengan kesal, wajahnya memerah padam karena dukunnya tidak bisa dimintai menyakiti Elin lagi. Ya, selama ini Anggini lah yang ingin mencelakai Elin karena ia iri dengki perihal usaha roti. Ia sengaja ingin membuat Elin sakit-sakitan dengan begitu maka tokonya akan sering tutup dan pembeli memilih untuk membeli roti-rotinya. “Memangnya ada apa? Kenapa Ki Jenggot tidak bisa menyakiti Elin lagi, apa istimewanya wanita sombong itu.” Ki Jenggot mengelus rambut-rambut didagunya yang memanjang berwarna putih, ternyata orang yang ingin ia santet memiliki sosok pelindung yang kuat, jelas ilmunya akan kalah dari penjaga milik Elin. “Dia memiliki penjaga yang sangat kuat, ilmuku tidak sampai untuk melawannya, salah-salah bisa aku yang mati.” Ki Jenggot berujar. Anggini mengerutkan dahinya penasaran, memang penjaga seperti apa yang Elin miliki, apa wanita itu juga memiliki tali perjanjian gaib sepertinya? “Penjaga seperti apa yang Ki Jenggot maksud, apa Elin juga membuat perjanjian gaib?” tanya Anggini. Pria tua itu menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan perjanjian gaib sepertimu, sosok yang melindungi Elin bukan golongan jin rendahan, melainkan salah satu bangsawan dari istana gaib.” Anggini semakin tidak paham dengan ucapan Ki Jenggot. “Hah maksudnya gimana?” “Wanita itu sudah menikah dengan pangeran istana gaib, keduanya terikat oleh janji suci serta adanya anak yang semakin memperkuat ikatan cinta mereka.” Pernyataan dari Ki Jenggot membuat Anggini benar-benar syok, jadi Elin menikah dengan jin? Gila-gila, ini terdengar tak masuk akal. “Suami, anak? Apakah Elin akan terus terikat dengan mereka, maksudku apa kedepannya ia menjadi b***k dari bangsa gaib?” Anggini tidak rela jika hanya dirinya yang menjadi b***k bangsa mereka. Elin juga memiliki hubungan dengan bangsa gaib, oleh sebab itu Elin harus merasakan penderitaan yang sama seperti dirinya kelak. Menjadi pelayan bangsa jin karena telah bersekutu dengan mereka! “Sepertinya bukan karena mereka murni saling mencintai, suaminya juga tidak membuat perjanjian gaib dengan Elin. Bhanu sangat mencintai istrinya, tidak mungkin ia membiarkan Elin tersakiti.” Jelas Ki Jenggot. Setelah ajiannya dikalahkan oleh Bhanu semalam, ia langsung mencari tahu siapa yang berani menggagalkan aksinya, hingga akhirnya sosok genderuwo mengerikan yang dikalahkan oleh Bhanu semalam mengatakan bahwa pria itu adalah pangeran dari kerajaan gaib yang sangat mahsyur namanya. Anggini mengepalkan tangannya dengan erat, ia tidak rela! “Bagaimana mungkin? aku dan Elin sama-sama manusia yang bersinggungan dengan hal gaib, seharusnya ia juga diperbudak oleh mereka.” “Hahaha.” Ki Jenggot tertawa keras, membuat Anggini semakin kesal saja dibuatnya. “Wanita itu berbeda denganmu, yang ku tau Elin sangat mencintai suaminya, begitu juga dengan sebaliknya. Mereka saling berhubungan karena rasa cinta, bukan karena ingin menggadaikan hidupnya untuk bersekutu dengan bangsa gaib sepertimu.” Ki Jenggot langsung menyemprot Anggini dengan nada tajam diakhir kalimatnya. “Aku tidak terima, Elin juga harus sama menderitanya denganku.” “Itu urusanmu, aku sudah memberitahu kerugian bersekutu dengan bangsa mereka.” Anggini hanya diam tak membalas perkataan Ki Jenggot, hatinya panas membara mendengar kenyataan itu. Enak sekali Elin memiliki suami yang mau menjaganya, terlebih lagi wanita itu tak usah bersusah payah menggadaikan diri untuk bersekutu. “Baiklah, jika tidak bisa mencelakainya dengan santet, ada cara lain yang lebih efektif.” Setelahnya Anggini tersenyum miring. Sedangkan di tempat lain dengan waktu yang bersamaan, hari ini Elin membuka toko rotinya kembali. Sejak beberapa hari lalu sudah ada pembeli-pembeli yang menanyakan kenapa ia tak berjualan, Elin pun menjelaskan bahwa ia sedang sakit. “Itu anak kamu?” tanya seorang pembeli. Elin membawa box bayi ke toko rotinya, lalu meletakkan anaknya di sana dan sesekali diayun-ayunkan. Elin juga mengenakan Manggala pakaian panjang serta menutupi tubuh mungil itu dengan selimut agar kulitnya tak terekspos sempurna. Meskipun hari ini kulit Manggala terlihat normal tapi Elin tetap ingin berjaga-jaga, tak mau ada seorang pun yang menaruh curiga terhadap bayi tak berdosa itu. “Iya, Bu.” “Lho sejak kapan kamu melahirkan, terus suami kamu juga mana?” Lanjut ibu-ibu tersebut. “Sudah cukup lama, hubungan rumah tangga kami sedikit ada goncangan.” Balas Elin sebisanya, dengan alasan seperti itu berharap agar ibu-ibu tersebut tidak bertanya aneh-aneh lagi. “Ohh begitu, maaf ya.” Akhirnya ibu tersebut tidak enak hati karena merasa menyinggung Elin. Elin hanya membalasnya dengan anggukan kecil, dengan begini maka orang itu tidak banyak tanya lagi. Pembeli lain juga mendengar obrolan singkat itu, rasa penasaran mereka terobati pula. “Ya udah Mbak El, ini jadi berapa harganya?” “Lima puluh ribu,” jawab Elin. Ibu tadi memberikan uang pecahan limapuluh ribu pada Elin, setelahnya pamit pergi. “Terima kasih sudah berkunjung, semoga rotinya memuaskan.” Elin menangkupkan kedua tangannya sambil merekahkan senyuman. Pembeli sudah habis, kini saatnya Elin duduk sambil menimang-nimang box bayi milik putranya. Syukur lah Manggala anak yang pengertian, ia hanya diam sambil mengerjapkan mata saat sang ibu melayani pembeli. “Anak ibunda pinter, nggak rewel.” Sesekali Elin mencolek pipi gembul anaknya dengan gemas. “Heh, istri siluman.” Tiba-tiba saja dari arah luar toko ada sebuah suara yang cukup nyaring di telinga, dari nadanya saja tidak enak didengar. Elin bangkit berdiri melihat siapa yang datang. Dilihatnya Anggini yang sedang berkacak pinggang sambil menatapnya dengan angkuh, dagunya terangkat sangat tinggi seolah menantang si pemilik rumah untuk berduel. “Ada apa datang ke tokoku?” tanya Elin. “Tcih, dasar nggak tau malu, istri siluman!” Elin memincingkan matanya, Anggini mengatai dirinya istri siluman? Ohh jadi wanita itu mencari tau latar belakang hidupnya. “Pantas saja kamu memiliki banyak pembeli, jadi karena bersekutu dengan suamimu siluman itu.” Sahut Anggini lagi, mulutnya benar-benar tidak bisa direm dan terus memprovokasi Elin. “Masalah toko dan suamiku tidak ada hubungannya, jangan asal bicara!” balas Elin. “Halah pembohong! Kamu pake bantuan suami kamu biar roti-roti ini laku kan? Dasar pengikut siluman, pembawa sial.” Anggini menghardik Elin bahkan ia juga melempar roti-roti Elin keluar dari toko. “Tutup mulut kamu. Di sini yang bersekutu dengan jin adalah dirimu sendiri, kamu sengaja mengirimkan santet dan juga makhluk untuk mencelakaiku, kamu pikir aku nggak tau heh?” Elin membalas perkataan Anggini dengan telak. Wanita itu mengetatkan rahangnya dengan sempurna. Mata Anggini menangkap pergerakan kecil dari box bayi milik Manggala, ia memperhatikannya dengan lekat. “Ohh ini anak silumanmu, monster kecil yang mengerikan. Anak hasil hubungan manusia dan bangsa gaib, lahir dengan fisik yang menjijikkan.” Anggini mencibir Manggala. Elin sungguh meradang, tidak ada yang boleh menghina anaknya. Satu tamparan melayang dari tangan Elin menuju pipi Anggini, membuat sang empunya sampai tertoleh ke samping dengan rasa perih bekas tamparan. “Beraninya kamu menamparku, dasar wanita siluman.” Anggini tidak terima dengan perlakuan Elin, ia ingin membalasnya tapi Elin lebih dulu mencengkeram tangannya. “Aku berani, jangan sampai mulut busukmu itu menghina anakku lagi atau ayahnya sendiri yang akan membuat perhitungan terhadapmu. Kamu memberikan santet padaku aku diam saja, kamu mengirim makhluk mengerikan itu aku juga tidak melabrakmu. Aku dan suamiku akan memberikan perhitungan jika kamu macam-macam dengan anak kami, tentunya kamu sudah tau betul latar belakang suamiku.” Elin memberikan gertakan pada Anggini, matanya melotot saat melampiaskan kemarahannya. Untuk sejenak Anggini merasa ketakutan, Elin seperti tak main-main dengan ucapannya, apalagi ia juga membawa nama Bhanu untuk memberikan Anggini pelajaran. “Lepaskan,” rintih Anggini saat Elin semakin menekan pergelangan tangannya dengan kuat. Elin menghempaskan tangan Anggini dengan kasar. “Pergi dari rumahku!” Elin menggunakan nada rendah tapi tajam untuk mengusir Anggini dari sana. Wanita pengacau itupun menghentakkan kaki lalu pergi dari rumah Elin dengan perasaan marah bercampur benci luar biasa. Tidak, Anggini tak akan berhenti sampai di situ saja, ia masih ingin menantang kemarahan Elin. Bahu Elin meluruh seketika, ia jatuh terduduk di atas kursi dengan perasaan campur aduk. “Hah,” desahnya. Diusapnya wajah kuyu itu dengan kasar, Elin tidak habis pikir ternyata Anggini masih mempunyai keberanian untuk melabraknya lagi. Padahal Elin sudah berbaik hati tidak ingin memperpanjang masalah santet serta makhluk kiriman itu, tapi justru Anggini semakin berani saja. Bisa saja ia meminta suaminya untuk membalas kejahatan Anggini, tapi Elin tidak mau, ia masih memikirkan perasaan orang lain. Celotehan Manggala terdengar, anak itu bergumam dengan acak yang tak bisa dimengerti oleh orang dewasa. Mendengar celoteh anaknya membuat perasaan Elin kembali hangat, ia mendekati putranya lalu mengambilnya dari box. Elin berdiri menggendong Manggala dalam pelukannya. “Manggala anak baik, ibunda sayang banget sama kamu, Nak.” Seperti biasa Elin akan menciumi seluruh wajah anaknya, kali ini air matanya menggenang di pelupuk mata. Hari ini ia mendengar hinaan untuk putranya, sekarang Elin tau bagaimana rasanya dihina. Tidak peduli jika orang lain menghina dirinya, asalkan jangan merujuk pada anaknya. Pantas saja Bhanu sangat marah saat Elin melontarkan kalimat buruk pada Manggala, kini Elin sadar betapa sakit hatinya. Anak itu terus mengoceh secara acak, sepertinya tengah berusaha untuk menenangkan sang ibu agar tak bersedih lagi. “Gemasnya anak ibunda.” Tak tahu kapan Bhanu akan kembali menemuinya, yang Elin ketahui adalah saat ini suaminya tengah berjuang untuk mengembalikan kestabilan istana dan kerajaannya dari para rakyat yang sedang menuntutnya. Ia hanya bisa berdoa bahwasannya Bhanu diberikan kelancaran dalam mengurus hal di alamnya, dan yang paling penting adalah bisa bersamanya sampai menua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD