32 - KISAH DUA ALAM

1241 Words
“Berita ini jika menyebar dapat dipastikan memicu pergesekan hebat antara rakyat dan Raja Bhanu.” “Kamu benar, sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk beraksi.” Arya Sengkali tersenyum sinis. “Lalu bagaimana dengan nasib Nona Gendis, apa kita membiarkan dia mendapat hukuman yang sangat berat?” Arya mengendikkan bahunya pelan. “Itu bukan urusanku, dia memilih jalan yang berbeda dari kita.” Dulu Arya dengan sukarela mengajak Gendis untuk menyerang Bhanu, tapi wanita itu menolak bekerja sama karena alasan cinta butanya itu. Sekarang apa yang wanita itu terima? Hanya hukuman berat menanti. Praduga mengangguk paham, ini kesalahan Gendis sendiri karena terlalu bodoh hanya demi cintanya, terburu-buru melayangkan serangan terhadap Elin hingga terkesan gegabah dalam perencanaan. Andai saja saat itu Gendis menerima ajakan Arya, mungkin saat ini ia tak berakhir di penjara. “Apa perintah Anda untuk saya, Pangeran Arya?” Praduga siap menerima perintah dari tuannya itu. Ia ingin agar kekuasaan berada ditangan Arya, dengan begitu maka Praduga bisa mendapatkan kedudukan tinggi. “Sebarkan informasi mengenai identitas Elin beserta rencana pengangkatannya sebagai Ratu, katakan pada rakyat bahwa saat ini Gendis dipenjara karena Bhanu memihak pada istrinya.” jelasnya. Arya ingin membuat kegaduhan, dengan memanfaatkan rakyat maka ia bisa melengserkan sepupunya dari takhta. Jika kemarin-kemarin ia bersikap diam dan seolah tak melakukan apa-apa, tapi detik ini ia akan melayangkan serangan menjatuhkan Bhanu. “Baik, Pangeran Arya.” Praduga pun pamit undur diri untuk melakukan tugasnya. Pertama-tama ia akan menyuruh anak buah kepercayaannya untuk memberikan desas-desus di hadapan publik, dengan begitu rakyat bisa mendengarnya. “Kamu tidak pantas menduduki takhta ini, aku lah yang paling berhak.” Arya menyeringai sambil menatap taman luas dari jendela kamarnya. Rumor mengenai identitas Elin sebagai manusia pun telah terdengar rakyat, ini membuat mereka merasa gerah dan ingin menanyakan kebenarannya. Damar bergegas melaporkan hal ini pada majikannya. “Lapor, Yang Mulia Raja. Saat ini beredar kabar mengenai identitas Nyonya Elin di kalangan rakyat, mereka menuntut penjelasan langsung dari Anda.” Bhanu duduk di kursi dengan tenang, raut wajahnya tidak mencerminkan kecemasan sama sekali. Justru ini lah yang ia tunggu sejak beberapa hari. “Aku sudah menduganya, cepat atau lambat kabar ini pasti akan beredar pada rakyat. Baiklah kalau mereka meminta penjelasan, panggil perwakilan dari rakyat untuk menghadiri pengangkatan Elin sebagai ratu sekaligus permaisuri, dengan itu maka rasa penasaran mereka akan terobati.” Bhanu sengaja ingin memperkenalkan Elin pada mereka, agar status ratunya dapat dikenal oleh seluruh alam gaib ini. Raut wajah Damar terlihat kontras dari sang tuan, justru ia yang agak bimbang. Bhanu mengamati bawahannya itu. “Apa yang kamu pikirkan, Damar?” Damar menangkupkan kedua telapak tangannya, memohon ampun karena telah berpikir jauh. “Mohon maaf, Raja Bhanu. Saya hanya berpikir mengenai keselamatan Nyonya Elin, yang saya takutkan adalah kalau mereka menyakiti Nyonya. Membiarkan rakyat tahu soal permaisuri bisa memancing musuh untuk mencelakainya.” Begitu lah pikir Damar. Bibir Bhanu sedikit terulas senyum, ia memang sependapat dengan pemikiran bawahannya itu, tapi Bhanu sudah memikirkan semuanya dengan tepat. “Bagaimana pun juga rakyat harus mengenali ratu mereka, Elin juga berhak dikenal oleh bangsa kita. Tidak peduli bagaimana pemikiran rakyat sekarang, yang terpenting adalah membangun kepercayaan mereka terhadap Elin dalam jangka panjang.” Bhanu ingin agar rakyatnya mengenali Elin sebagai orang baik, bukan karena istrinya itu berasal dari golongan manusia. “Saya mengerti,” tandas Damar. “Besok adalah hari pengangkatan Elin sebagai ratu dan juga Manggala sebagai pangeran, informasikan hal ini pada rakyat.” “Siap, laksanakan.” Bhanu berdiri dari duduknya, ia ingin menyambangi Gendis di penjara kerak bumi. Seperti yang ia katakan sebelumnya, Bhanu akan memberikan hukuman berat bagi siapa pun yang telah berani menyakiti Elinnya. Didampingi oleh Dwija Rangga, Bhanu melangkahkan kakinya menginjak satu per satu batu yang mengambang membentuk sebuah jembatan, di bawahnya terdapat pijar lava panas yang siap menelan siapa pun yang jatuh ke bawah sana. “Yang Mulia mohon maaf, apakah langkah yang Anda ambil ini tepat? Mengingat jasa-jasa Nona Gendis terhadap istana dan kerajaan.” Dwija masih memikirkan kembali konsekuensi menghukum berat Gendis, sejujurnya ia tak tega melihat wanita yang selama ini berjuang untuk negara harus mendapat penyiksaan luar biasa. Bhanu menghentikan langkahnya dengan refleks, mengetahui bahwa rajanya tersinggung pun Dwija segera berlutut memohon ampun. “Aku sering kali menasehati dirinya agar melupakanku, tapi wanita itu terlalu berambisi. Semenara itu hal yang menyangkut Elin adalah tanggung jawabku dan aku tidak ingin ada orang lain yang ikut campur, karena Gendis bersalah maka aku harus mengadilinya.” Dwija masih menunduk, ia merasa lancang karena sudah menyangkal pemikiran rajanya tadi. “Bangunlah, aku tahu kamu memikirkan hubungan kekeluargaan kalian. Namun, yang bersalah memang patut dihukum.” ucap Bhanu pada Dwija. Dwija masih memiliki tali keluarga dengan Gendis, wanita itu adalah sepupu jauhnya, meskipun bukan sedarah tapi tetap saja bisa dikatakan keluarga jauh. “Maafkan atas kesalahan hamba, hamba pantas dihukum.” “Sudahlah, aku anggap ini adalah pertanyaan atas kebingunganmu.” “Terima kasih atas pengertian Yang Mulia.” Mereka pun kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Setibanya di area penjara, Bhanu menerawang lama tempat itu. Kilatan api paling panas terlihat menyala-nyala, sisi kanan dan kiri tempat ini memang sepenuhnya dikelilingi oleh api panas dengan lava pijar. Bhanu membuka gerbang tinggi di sana, ia berjalan dengan langkah tenang tapi pasti. Ada banyak penjaga yang menjaga tempat itu, semuanya berlutut hormat melihat sang raja tiba. Di dalam sana ada Gendis yang tengah meringkuk sambil memeluk lututnya, ia ditahan dengan dikelilingi oleh dinding panas. Wanita itu merasakan kehadiran seseorang, kepalanya pun terangkat dan mendapati Bhanu di sana. Senyum tipis terbit dari bibirnya, tidak menyangka Bhanu sendiri yang datang untuk memberikan hukuman. “Aku sudah menantimu sangat lama, sayang sekali hubungan kita harus kandas begitu saja.” Gendis tampak menyedihkan, wanita itu seperti tak memiliki semangat hidup. “Sudah berulang kali aku menegaskan bahwa hubungan kita hanya sebatas rekan atau pun saudara, jangan mengharapkan cintaku lagi. Aku sudah bahagia bersama Elin, ditambah dengan kehadiran Manggala sebagai pelengkap hidup kami. Kamu mengecewakanku dengan menyakiti Elin, apa kamu pikir aku akan bersimpati denganmu? Tentu saja tidak, tingkahmu itu justru membuatku membencimu.” Hati Gendis mencelos, Bhanu membencinya? “Kamu membenciku? Hanya karena Elin.” Gendis masih saja melimpahkan kesalahan pada Elin, wanita itu tak bisa introspeksi diri. “Jangan membawa nama Elin dalam masalahmu. Bahkan sejak sebelum Elin datang, aku memang tak pernah mencintaimu.” sentak Bhanu. “Bohong, kamu berubah karena istrimu itu.” Gendis bangkit dari duduknya, ia berjalan cepat menuju ke sel. Tangannya memegang erat ruas sel hingga melepuh, tak mempedulikan hawa panas di sana. “Terserah apa katamu, kamu sudah mengambil risiko untuk mencelakai Elin maka terima lah hukuman yang sepadan.” Bhanu tak ingin memperpanjang obrolan yang tidak penting. “Dwija, lakukan seperti yang ku perintahkan sebelumnya.” “Laksanakan!” Dwija membawa cambuk besi yang bergerigi tajam, rencananya Gendis akan menerima seratus kali cambukan. Sebenarnya hukuman yang pantas ia terima adalah mati, tapi Bhanu masih mengingat jasa-jasa wanita itu. Gendis mulai paham situasi. “Jika kamu ingin menghukumku, maka hukum dengan tanganmu sendiri, jangan menyuruh orang lain.” Tidak apa jika ia mendapat cambukan dari Bhanu, Gendis akan menganggapnya sebagai tanda cinta. Ia tak mau dihukum oleh tangan orang lain. Bhanu terkekeh mengejek lalu membalas, “Aku sedang tidak dalam mode negosiasi denganmu.” Setelah berkata demikian, Bhanu pun meninggalkan penjara itu, disusul dengan teriakan Gendis. Pria itu memejamkan mata sejenak sambil melepaskan beban berat dipundaknya, ia juga tidak ingin menghukum Gendis, tapi apa yang dilakukan wanita itu sungguh keterlaluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD