33 - KISAH DUA ALAM

1660 Words
Rakyat murka mendengar pengumuman bahwa Elin akan diangkat menjadi ratu sekaligus permaisuri resmi kerajaan, mereka menganggap bahwa manusia tidak pantas menjadi pendamping raja. Unjuk rasa besar-besaran pun terjadi di gerbang depan istana, mereka menuntut agar Bhanu tak mengangkat Elin. Sementara itu si pelaku utama pun terlihat gembira dan puas karena hasutannya berhasil, tepat dihari ini yang mana Elin akan dikukuhkan sebagai ratu. “Benar-benar menakjubkan melihat mereka saling bertentangan.” Mengingat bahwa selama ini Bhanu selalu dipuja oleh rakyat, Arya merasa senang karena detik ini akhirnya kedua kubu saling berseteru. “Rencana Anda memang bagus, mencari waktu yang tepat untuk melancarkan serangan.” Praduga menatap Arya dengan kagum, tidak sia-sia ia mempercayai Arya sebagai majikan baru. “Tapi ini semua belum usai, masih banyak kekurangan yang perlu ditambal.” Arya belum sepenuhnya puas karena hari ini pasti Bhanu memiliki cara agar menenangkan hati rakyat. “Anda benar, untuk langkah selanjutnya kita harus mencari cara agar Raja Bhanu turun dari takhta. Ohh ya, bagaimana mengenai Pangeran Manggala, apa Anda sudah memiliki ide?” Praduga penasaran dengan langkah Arya dalam menangani anak kecil itu. Arya menyeringai tipis disela bibirnya. “Sudah, aku akan melakukannya setelah acara penobatan mereka. Maka bersenang-senanglah hari ini, tiada ampun untuk hari esok.” Praduga menganggukkan kepala paham, Arya memang licik dan penuh dengan ide jahat dikepalanya. “Saya mendengar informasi dari mata-mata ditahanan, kemarin Raja Bhanu datang ke sana dan memberikan hukuman pada Gendis.” Praduga melapor. Mata Arya masih menatap lurus pada segerombol rakyat yang tengah unjuk rasa, ia sama sekali tidak peduli dengan wanita itu. Salah Gendis sendiri tak mau bekerja sama dengannya, memang wanita bodoh karena cinta sulit sekali dinasehati. “Lalu, bagaimana menurutmu?” Arya bertanya balik. “Saya juga membuat rumor mengenai Nona Gendis, rakyat sudah mengetahui bahwa perselisihan antara Nyonya Elin dan Gendis menjadikan wanita itu sebagai tahanan, tentu saja rakyat membela Gendis karena ia adalah asli dari alam kita, rakyat juga sudah lama menginginkan agar Gendis dan Raja Bhanu bersatu.” Praduga menjawab panjang lebar. Sebelah alis Arya terangkat tinggi lalu mengatakan, “Jadi, menurutmu apakah ditangan rakyat sendiri Gendis bisa bebas?” Dengan segera Praduga mengangguk dan membalas, “Ya, ada kemungkinan Gendis dibebaskan atas tekanan dari rakyat. Lagipula Bhanu tidak benar-benar membunuh wanita itu mengingat jasa-jasanya, hanya cambukan cukup membuatnya mendapat hukuman.” “Woah, ini pertunjukan yang hebat. Selain melihat dilema Bhanu, aku juga akan menonton perebutan gelar ratu.” Arya menjentikkan tangan dengan senang hati. Sementara itu di ruang pribadi raja, Damar memberikan informasi bahwa ada rakyat yang melakukan protes besar-besaran untuk menolak Elin serta membebaskan Gendis dari tahanan. Hari ini persiapan pengangkatan ratu sudah berjalan delapanpuluh persen, tinggal menunggu kedatangan para tamu dan saksi saja. “Bukankah kemarin kamu sudah mengajak mereka untuk datang ke acara ini?” “Benar, Raja Bhanu. Tapi sepertinya mereka terkena provokasi lagi sehingga melakukan protes di depan gerbang utama istana.” Bhanu bangkit dari duduknya, pakaian kebesarannya ia kibaskan. “Tidak ada cara lain selain menemui mereka dan bicara dari hati ke hati,” finalnya. Damar terlihat tidak setuju. “Maafkan saya, ini terlalu berbahaya jika Anda menemui mereka secara langsung.” “Memang, tapi apa kamu mempunyai cara lain?” Damar langsung bungkam, mereka tidak mempunyai cara lain untuk menghentikan unjuk rasa jika bukan Bhanu sendiri yang turun tangan. “Demi kelangsungan kerajaan ini, aku harus mengambil resiko. Panggil Elin untuk menyusulku, bawa juga Manggala bersamanya.” “Baik, Raja Bhanu.” Damar langsung menunduk hormat ketika Bhanu memberikan titah. Pria usia kepala tiga itu segera meluncur ke kediaman Elin, saat ini Bhanu dan Elin memang tidur secara terpisah, sesuai permintaan Elin sebelumnya. Banyak prajurit yang menjaga area lorong menuju kamar Elin, mereka semua diperintahkan untuk selalu berjaga di sana demi keselamatan sang calon ratu. Damar mengetuk pintu itu beberapa kali sembari menggumamkan nama si empunya. Elin yang berada di dalam kamar pun segera datang untuk melihat. “Damar, ada apa?” “Hormat saya pada Nyonya Elin, Raja Bhanu meminta Anda datang ke gerbang depan untuk menenangkan hati para rakyat yang tengah berunjuk rasa.” Damar melipat kakinya sebagai tanda hormat. “Bangunlah, aku akan ke sana.” Elin berbalik menuju kamar untuk membawa Manggala. Keduanya pun berjalan beriringan. “Kenapa rakyat datang ke istana?” “Mereka menolak pengangkatan Anda dan Pangeran Manggala, serta keberatan atas penahanan Nona Gendis.” Damar berkata jujur sambil meringis kecil. Sudah Elin duga, semuanya takkan berjalan dengan mudah begitu saja. Sesampainya mereka di sana, bisa Elin lihat banyaknya rakyat yang tengah gembar-gembor menyuarakan aspirasinya. Sementara Bhanu berusaha untuk mendamaikan suasana dibantu oleh para prajurit yang berjaga. Kedatangan Elin membuat mereka terdiam dengan bisik-bisik, menunjuk Elin bagaikan pelaku pelanggaran berat. “Dasar manusia tidak tahu malu, bisa-bisanya dia bersaing dengan Nona Gendis.” “Bahkan saat ini Nona Gendis dipenjara karena dia, benar-benar penuh tipu muslihat.” Gunjingan terhadap Elin mulai terdengar menyesakkan, Elin yang baru tiba di sana pun langsung mendapat tatapan mencemooh. Membuat telinganya panas saja, sebisa mungkin ia menahan emosinya yang bergejolak. Kalau berbicara siapa yang salah atau benar, Elin juga tidak mau disalahkan. Di sini ia adalah korban, Bhanu yang mengajaknya ke sini, Gendis pula yang mencelakainya terlebih dulu hingga harus dipenjara, lalu apa salah Elin? Tidak ada, ia tidak menahu apa pun tapi ikut terseret dalam lingkup kejamnya pemerintahan. “Diam semuanya, jangan mengatakan hal-hal buruk tentang istriku.” Bhanu mengambil langkah cepat, ia tak ingin ada yang mengolok-olok istrinya. Siapa yang bisa menduga dihari yang seharusnya bahagia ini, ternyata ada rakyat yang melakukan keributan? “Elin adalah istriku, Manggala merupakan putraku. Hari ini aku akan mengangkat mereka sebagai ratu dan pangeran, hormati mereka sebagaimana kalian menghormatiku.” Bhanu menggunakan nada tegas miliknya untuk menegaskan fakta ini. “Yang Mulia, dia adalah manusia tidak pantas menjadi ratu kami.” Celetuk salah satu di antara mereka. Bhanu berdecak dan menggelengkan kepala. “Apa yang mendasari Elin tidak pantas menjadi ratu? Apa karena dia adalah manusia? Istriku adalah manusia baik, dia tidak pernah berniat buruk terhadap bangsa kita, kalian jangan menyamaratakan satu manusia berdosa dengan manusia lain yang memiliki nilai kebaikan. Apa kalian meragukanku dalam menilai sifat istriku?” Mereka pun tak menjawab, mana berani mereka meragukan Bhanu. “Damar sudah membahas hal ini pada kalian kemarin, akan ada perwakilan rakyat dalam acara pengangkatan Elin, tapi kenapa kalian justru melakukan hal ini? Aku cukup kecewa melihatnya.” Ia tersenyum kecut. Rakyat pun mulai cemas dengan raut sedih Bhanu. Elin menarik napas dalam lalu mengembuskannya dan berkata, “Aku memang manusia, anakku juga mengalir darah manusia dalam tubuhnya. Aku bahkan tak pernah berpikir bisa menikahi raja dari bangsa kalian, ini semua sudah takdir. Lalu mengenai Gendis, wanita itu yang lebih dulu menyerangku dan ingin membunuhku, jika kalian diposisiku apakah mungkin membiarkannya begitu saja tanpa mendapat hukuman?” Suara Elin terdengar parau, ia menahan kesedihan yang sesak dalam dadanya. Ia tak boleh menangis, meski rasanya sakit sekali mendapatkan tuduhan yang tak pernah ia perbuat. Lagi-lagi rakyat pun bungkam, melihat Elin yang begitu sungguh-sungguh serta ada tersiksa saat mengatakannya, mereka pun tak berkutik. Namun, ada salah satu yang berani menyuarakan pemikiran. “Apakah ada jaminan kalau kamu manusia baik? Bagaimana jika kedepannya bangsa manusia mengganggu alam kami.” Ia hanya takut jika alam gaib diusik oleh manusia, tidak sekali dua kali kejadian seperti ini terjadi. Elin tersenyum masam serta menimpali, “Aku hanyalah satu di antara jutaan manusia di bumi, bagaimana bisa aku memastikan bahwa mereka semua baik? Seperti halnya bangsa kalian, aku juga hampir mati dibunuh oleh banaspati dan genderuwo suruhan Gendis. Apa hanya karena sekelumit makhluk yang bersalah, lalu aku berhak menyamaratakan kalian semuanya sebagai penjahat?” Mendengar jawaban cerdas dari Elin semakin membuat mereka terdiam dan terperangah, jika ditelaah lebih dalam lagi apa yang diucapkan wanita satu anak itu benar. “Ya, kami hanya ingin memastikan kalau ratu kerajaan alam ini adalah manusia baik. Jangan mengkhianati kepercayaan kami,” tambah makhluk tadi. Bhanu juga terkesan dengan jawaban istrinya, Elin ternyata sangat cerdas. Wanita itu membuang muka saat sang suami menatapnya dengan kagum, membuat Bhanu hanya bisa bersabar untuk meredakan emosi ibu dari anaknya. Elin menatap Manggala, kuatnya ia hari ini adalah karena sang anak. Tidak apa jika Elin harus bersakit-sakit dahulu, tapi untuk ke depannya masa depan Manggala harus terjamin. Ia sudah berambisi untuk menjadikan putranya sebagai penerus di alam gaib, jika dipikir-pikir untuk apa Elin terus menyangkal bahwa putranya merupakan calon raja di masa depan? Jika tak bertarung hari ini, maka hari esok akan ada makhluk lain yang bisa menyingkirkan putranya. “Bubarlah kalian semua, sementara perwakilan yang telah ditunjuk silakan masuk ke aula.” Bhanu memberikan informasi. “Maafkan kami atas kesalahan hari ini, ke depannya kami akan lebih cerdik dalam menyerap informasi.” Perwakilan rakyat pun berujar. “Iya, bijaklah dalam memilah berita.” Mereka pun bubar, kecuali perwakilan yang mulai masuk ke dalam aula istana. Bhanu mendekati istrinya dan menangkup dua bahunya. “Terima kasih atas hari ini, kamu memiliki kekuatan untuk melawan yang salah.” Jangan dikira Elin sudah memaafkan Bhanu, ia masih kesal dengan suaminya. “Aku melakukan ini semua untuk Manggala putraku, masa depannya di kerajaan ini harus terjamin, jangan sampai ada yang menatapnya dengan sebelah mata.” Elin berkata dengan lugas. Bhanu cukup terkejut dengan pemikiran Elin yang berbeda dari biasanya, wanita itu sebelumnya tak ingin Manggala terlibat pemerintahan, tapi sekarang Elin justru mendorong Manggala agar menjadi penerus selanjutnya. Tidak masalah, Bhanu justru senang mendengarnya. Manggala memiliki darah keturunan Bhanu, sudah sepantasnya menjadi pewaris takhta. “Aku berjanji, Manggala yang akan menjadi penerusku kelak.” Senyuman manis terukir dari bibir Bhanu. “Kita masuk ke dalam, semuanya sudah siap.” Bhanu menggandeng tangan istrinya untuk datang ke aula. Praduga dan Arya yang masih mengawasi dari pinggiran kolam buatan pun cukup keheranan. “Wanita itu ingin menjadikan anaknya sebagai penerus di alam gaib ini, Anda harus cepat melakukan rencana sebelum anak itu menjadi batu sandungan.” “Kamu benar!” jawab Arya. Tak menyangka jika musuhnya benar-benar bertambah satu, anak kecil!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD