Elin sudah mengenakan pakaian kebesaran khas kerajaan, gaun yang memiliki tiga lapis pakaian dalam serta rambutnya disanggul penuh ke atas. Bibirnya terpoles pewarna merah merona, auranya begitu menguar menandakan kewibawaan.
Begitu juga Bhanu, keduanya kompak memakai setelan berwarna merah. Hari ini adalah hari di mana Elin dinobatkan sebagai ratu sekaligus permaisuri secara sah, adapula Manggala menjadi pangeran dan pewaris takhta.
Persiapan sudah dilakukan dengan matang, dekorasi aula istana terlihat megah dengan adanya begitu banyak hiasan. Barang yang semuanya terbuat dari emas itu menambah kesan elegan dan menyejukkan mata.
“Hari istimewa bagi bangsa kita telah tiba, Yang Mulia Raja Bhanu akan menobatkan Nyonya Elin sebagai ratu istana, serta Pangeran Manggala sebagai pewaris takhta.” Tetua Wangsa Jaya memimpin jalannya acara.
Para hadirin didatangkan dari berbagai macam makhluk, rupanya cukup mengerikan bagi manusia biasa yang tak pernah melihat mereka. Untungnya Elin mulai membiasakan diri melihat wajah buruk rupa yang tak terduga, meski seringkali ia masih merasa kaget.
Elin dan Bhanu memasuki aula istana, mereka berjalan dengan beriringan disertai oleh taburan bunga. Jantung Elin berdegup dengan kencang, jika boleh jujur ia merasa sangat gugup.
Keduanya berjalan menaiki anak tangga, di atas sana terdapat sebuah singgasana yang diperuntukkan sepasang suami istri.
Akhirnya Elin dan Bhanu saling berdiri berhadap-hadapan, seorang pelayan datang membawa wadah mangkuk beserta jarum tajam nan tipis. Ia memberikan jarum itu pada Elin, dimana wanita satu anak itu harus melakukan janji darah sebagai bukti kesetiaan negeri ini.
Elin menatap lama jarum perak itu, melihat ujungnya yang begitu tajam membuatnya menelan ludah beberapa kali. Baiklah, tidak ada yang tidak bisa ia lakukan, Elin harus berani.
“El, tidak apa-apa.” Bhanu memberikan sedikit semangat untuk istrinya.
Elin mengangguk lalu segera menyambar jarum itu, ia menusukkan benda tajam itu pada jari telunjuknya. Darah segar pun mengalir dari dalam kulit wanita satu anak itu, dengan cepat pelayan meneteskan darah Elin pada mangkuk.
Mangkuk itu terdapat air suci yang diambil dari sumber mata air suci di istana, untuk itu perjanjian apapun wajib menggunakan perpaduan antara air serta tetesan darah.
Elin mengangkat telapak tangan kanannya.
“Aku Elin Aulia Mahardika bersumpah, menjadi ratu dan permaisuri istana alam gaib dengan sepenuh hati, melakukan kewajiban dan menjauhi larangan.”
Setelah mengucapkan sumpah, tepuk tangan riuh pun terdengar, dengan ini maka bisa dikatakan bahwa Elin sudah sah menjadi pendamping raja di istana ini.
Lutut Elin terasa lemas setelahnya, ia takut tak bisa menepati sumpahnya sendiri.
Giliran selanjutnya adalah Manggala, Bi Nani membawa anak itu pada Bhanu.
“Manggala Cakrabuwana adalah putra pertamaku dengan Elin, aku Bhanu Cakrabuwana dengan sadar mengangkatnya sebagai putra mahkota dan akan mewarisi seluruh kerajaan alam ini setelah ia dewasa nanti.”
Lutut Elin lemas mendengar perkataan suaminya, apakah langkah yang ia ambil ini tepat?
Bagaimana jika nantinya Manggala dalam bahaya karena dinobatkan menjadi pewaris takhta. Mata Elin bergulir menatap Arya Sengkali, raut wajah pria itu tidak enak untuk dipandang, ada kekesalan dari sorot mata itu.
“Manggala putraku, semoga langkah yang ibunda ambil adalah tepat.” Elin bergumam sangat pelan.
Ia sering menonton serial kerajaan, di sana sering terjadi perebutan takhta dan saling membunuh demi jabatan. Elin tidak ingin anaknya terluka, tapi demi memastikan sang putra memiliki kehidupan yang baik, Elin harus menempuh jalan ini.
Terlebih lagi, Bhanu juga pasti akan mewariskan takhta ini pada Manggala meski tanpa Elin memintanya.
Tidak apa-apa jika orang-orang di sini melihat Elin dengan sebelah mata hanya karena dirinya manusia murni, tapi tidak untuk Manggala. Putranya mempunyai garis keturunan sah dari Bhanu, darah alam gaib juga mengalir dalam dirinya. Manggala pantas mendapat kedudukan dan jabatan di istana ini.
Sebagian dari tamu yang hadir terlihat senang, adapula sebagian lagi yang masih tak suka terhadap identitas Elin. Tentu saja Bhanu mengetahuinya, asalkan selama mereka tak melakukan pengkhianatan atau mencelakai istri dan anaknya, maka biarkan saja mereka dalam bersudut pandang.
Perwakilan para rakyat justru memberikan tepuk tangan serta ucapan selamat langsung pada Elin, beruntungnya mereka adalah makhluk baik yang tak mudah diprovokasi.
“Selamat untuk Yang Mulia Ratu Elin dan juga Pangeran Manggala, semoga istana ini menjadi lebih sejahtera dengan adanya kalian berdua.”
“Terima kasih sudah berkenan mempercayaiku,” balas Elin sambil tersenyum simpul.
“Tentu saja, kami percaya pada Raja Bhanu, dengan begitu apapun yang menjadi keputusannya maka kami pun akan ikut mempercayainya. Pangeran Manggala adalah masa depan bangsa kami, saya sangat berterima kasih pada Ratu Elin karena melahirkan sosok putra mahkota bagi kerajaan alam gaib.”
Elin tersenyum masam, andai saja mereka tahu bahwa kelahiran Manggala sempat membuatnya benci terhadap anaknya sendiri.
“Kalian adalah rakyatku yang setia, terus jaga komunikasi dan hubungan baik ini.” Bhanu menepuk pundak kedua perwakilan itu, ia lega karena ada yang benar-benar mempercayainya dalam mengambil keputusan.
Keduanya memberikan penghormatan pada Elin dan Bhanu.
Syukurnya acara berjalan dengan lancar, sepasang suami istri itu duduk di singgasana, para hadirin tengah menikmati hidangan masing-masing.
Namun, Elin merasakan perasaan yang gelisah sejak tadi. Entah kenapa ketika melihat ekspresi Arya yang tampak dendam, membuat wanita itu cemas luar biasa.
Selama ini Bhanu mengatakan bahwa Arya menginginkan takhta ini agar menjadi miliknya, Elin takut jika Manggala menjadi sasaran atas ambisinya itu.
Insting seorang ibu tidak pernah meleset, Elin sungguh takut jika hal buruk terjadi pada anaknya. Tanpa sadar, ia meremat gaunnya hingga kusut, hal ini memancing penasaran sang suami.
Tangan Bhanu menindih tangan Elin. “El, apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Elin merilekskan tubuhnya, mungkin sejak tadi Bhanu melihatnya yang tengah cemas.
“Ya,” jawabnya singkat.
“Ayo, katakan padaku apa yang mengganggu pikiran istriku ini?” Jari-jari Bhanu bergerak untuk menyelipkan anak rambut permaisurinya yang sedikit berantakan.
Elin tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya dari Bhanu, barangkali suaminya bisa membantu memecahkan masalah ini.
“Aku merasa bahwa Arya menaruh dendam pada anak kita, secara Manggala adalah pewaris takhtamu, aku takut jika ia melakukan hal buruk pada Manggala.”
Bhanu mengerti tentang pemikiran istrinya, ini memang menjadi hal yang perlu diwaspadai.
“Aku juga berpikir demikian,” gumam Bhanu.
“Benar kan? Aku nggak mau anakku kenapa-apa, lakukan sesuatu agar Manggala aman sampai ia beranjak dewasa nantinya.” Tentu saja Elin panik.
“El, tenangkan dulu dirimu. Aku pasti menjami perlindungan untuk putraku sendiri, kita memang harus waspada terhadap Arya, entah kapan ia akan melancarkan serangan.” Untuk saat ini Bhanu tak memiliki ide selain melindungi Manggala sekuat tenaga, ia tidak bisa asal mengusir Arya dari sini, mengingat pria itu juga mempunyai status dalam keluarga kerajaan.
Elin tak suka dengan jawaban Bhanu yang kurang memuaskan. Keselamatan Manggala bukan main-main.
“Bhanu, aku sudah menepati janji untuk ikut dalam penobatan ini, sekarang aku ingin menagih janjimu untuk memulangkanku ke alam manusia.”
Mendengar perkataan Elin lantas membuat Bhanu tercengang, istrinya itu masih saja ingin berada di alam manusia sedangkan di sini sudah mengemban tugas dan kewajiban.
“El, kita tidak bisa hidup terpisah, kamu sudah menjadi ratu.”
“Kamu berbohong! Kamu sendiri yang menjanjikan setelah acara penobatan, aku dan Manggala bisa kembali ke dunia ku.” Elin tersulut emosi.
Seperti biasa Bhanu akan melunak. “Sayang, dengarkan aku. Kamu bisa mengunjungi rumah mendiang ibu, kamu juga bisa menginap di sana dalam beberapa hari. Namun, tempat untuk tinggal tetap lah di alam gaib ini.”
Pelan-pelan Bhanu memberi pengertian pada istrinya.
Elin berdecak kecil lalu menjawab, “Sekarang aku ingin bertanya padamu, antara alam gaib dan alam manusia, di mana tempat yang lebih aman untukku dan Manggala?”
Bhanu terdiam sambil berpikir mengenai jawaban yang tepat.
“Alam gaib, kenapa? Karena di sini aku bisa mengawasi kalian dengan leluasa, jika terjadi sesuatu maka aku bisa melindungimu. Banyak pengawal akan membantuku dalam menjaga keselamatan kalian, sedangkan di alam manusia aku tidak bisa bebas bergerak. Kekuasaanku ada di alam ini.
Elin menimbang-nimbang jawaban suaminya, memang benar bahwa Bhanu mempunyai kuasa tinggi di alamnya. Tapi, di alam gaib ini juga banyak musuh-musuh Bhanu yang berniat mencelakai dirinya dan Manggala.
Semuanya terasa membingungkan.
“El, aku tidak akan mengurungmu selamanya di istana ini. Kamu adalah istriku orang yang sangat ku cintai, aku memberikan kelonggaran untukmu jika ingin menyambangi alam manusia, silahkan.” Bhanu bijak dalam menanggapi tuntutan istrinya.
Lama-lama Elin juga ikut lunak, Bhanu sudah berbaik hati tidak mengurungnya ditempat ini, tahu bahwa ia tipikal wanita yang aktif.
“Baiklah, aku bisa memahaminya.” Elin tersenyum dengan tulus.
“Lalu kapan kamu akan mengunjungi alam manusia? Toko rotimu sudah ditangani oleh temanmu, kamu jangan khawatir.”
“Aku akan memikirkannya nanti.”
Bhanu dan Elin memang sering berselisih paham, tapi pada akhirnya mereka berdua akan kembali bersama-sama lagi.
Sementara itu di tahanan, Gendis murka mendengar informasi bahwa Elin resmi diangkat sebagai ratu. Ia marah, ia hancur, ingin memaki-maki wanita sialan yang telah merebut posisinya.
Tubuh Gendis terdapat banyak luka memar dan bekas cambukan, nyeri itu tak sebanding dengan sakit hatinya.
“Nona Gendis, Anda hanya perlu bersabar, kami akan berusaha untuk membebaskan Anda dari sini.” Mata-mata Gendis berujar, ia juga yang mengirim informasi di aula istana saat ini.
“Ya, aku memang harus bebas dari sini untuk membalaskan dendamku terhadap Elin itu.” Sampai detik ini kebencian Gendis pada Elin tak pernah surut, justru bertambah tinggi tingkat kebenciannya.
Tak peduli ia mendapat hukuman apa dari Bhanu, tapi yang pasti Gendis tidak akan berhenti untuk mencelakai Elin.
“Saya akan memohon pada Pangeran Arya agar mau bekerja sama dengan kita.”
Mendengar nama Arya disebut, membuat Gendis sontak menatap orang kepercayaannya.
“Arya Sengkali, sepertinya aku memang membutuhkan dia untuk melenyapkan Elin.”
“Benar, Nona. Pangeran Arya adalah kandidat yang cocok untuk diajak bersekutu.”
“Lakukan tugasmu, keluarkan aku dari sini dan kita akan membuat perhitungan dengan mereka.” Jika awalnya Gendis pasrah menerima penahanan dari Bhanu, tapi kali ini tidak.
Ia harus melawan, enak saja Elin bisa hidup berdampingan dengan Bhanu, sementara dirinya harus terkurung ditempat busuk ini.