“Ahh sakit, lepaskan.” Suara geraman kesakitan terdengar menusuk telinga, dua sosok itu terus bergeliat merasakan perih dan sakit luar biasa akibat dari rantai panas yang mengikat mereka.
“Cepat, bawa mereka menghadap pada Yang Mulia Raja.” Damar memberikan intruksi pada bawahannya, prajurit-prajurit itu menarik besi panas yang diikatkan pada dua tubuh makhluk jadi-jadian itu.
Api yang dihasilkan dari besi itu merupakan siksaan terberat, bagaimana tidak? Meski banaspati terkenal sebagai makhluk bola api, tapi api hukuman yang diciptakan Bhanu sangat menyakiti tubuhnya. Api itu tidak hanya membakar, tapi juga membuat kulitnya mengelupas.
Banaspati berambut merah menyala serta dua tanduk mencuat dari sisi kepalanya, ia terus meronta karena kesakitan.
Damar sudah mendapatkan titik terang dari kasus yang menimpa Elin, setelah membawa makhluk-makhluk rendah itu pada Bhanu, biarkan rajanya sendiri yang menggunakan cara apa pun agar mereka mau membuka mulut.
Mereka melewati lorong gelap yang ada di bawah tanah, hanya bermodal pencahayaan minim dari obor yang menjadi sumber penerangan. Damar berjalan memimpin, sementara bawahannya mengikutinya dari belakang sambil menarik besi panjang itu.
Sesampainya mereka di lapang luas di ruang bawah tanah tersebut, Damar segera memukul kaki-kaki para tahanan hingga berlutut.
Pekik kesakitan terdengar, dengan cepat disusul oleh pedang laras panjang yang berada tepat di leher salah satunya.
Damar sengaja mengacungkan pedang sebagai ancaman, agar mereka tidak banyak bergerak ataupun berteriak karena menimbulkan kegaduhan.
“Katakan pada Raja Bhanu, tahanan sudah berada di ruang eksekusi.” ucap Damar pada anak buahnya, meminta mereka memberitahukan pada Bhanu.
“Baik, Tuan Damar.” Salah satu dari prajurit itu pun undur diri, langsung menyampaikan pesan dari atasannya.
Sementara itu di kamar, seperti biasa Elin disibukkan dengan memandikan Manggala di pagi hari, anak itu semakin lama semakin tampan saja dan belum menunjukkan gejala-gejala aneh.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Elin menolehkan kepala menatap sang suami yang berada di ambang pintu.
“Ada apa?”
“Ikut denganku, ada yang ingin aku tunjukkan padamu.” balas Bhanu, dilihatnya sang putra tengah asyik bermain air di ember.
“Tunggu sebentar lagi, Manggala mau selesai.” Elin menjawab, lalu kepalanya kembali fokus pada sang anak, ia mengambil sabun lalu dioleskan ke seluruh badan bocah mungil itu.
“Harus sekarang, ini mengenai penyeranganmu kemarin.” Bhanu terlihat tidak sabaran, ia memang membutuhkan Elin untuk memastikan apakah benar dua makhluk itu yang mengganggunya kemarin?
“Nanggung, biar aku selesaikan mandinya Manggala dulu.” Elin terganggu dengan kedatangan suaminya, tiba-tiba saja memintanya untuk pergi padahal ia belum selesai memandikan anaknya.
“Terus Manggala gimana? Belum pakai baju juga.” Elin mendengus kecil, kesal dengan suaminya yang memaksanya agar pergi.
“Ada Bi Nani yang akan melanjutkan mandinya Manggala, sementara kamu ikut aku.” Bhanu membuka lebar pintu kamar mandi, seketika Elin bisa melihat ada Bibi Nani yang sudah berdiri di sana, hanya saja tadi terhalang oleh pintu.
Seketika mata Elin langsung terfokus pada wanita baya itu, keduanya saling bertatapan cukup lama, hingga akhirnya Nani memberikan salam hormat pada Elin.
“Hormat hamba pada Anda, Nyonya Elin. Pangeran Manggala biar saya yang melanjutkan mandinya sekaligus berpakaian, Anda pergi lah bersama Raja Bhanu.” Ia sedikit membungkukkan badan untuk memberi penghormatan.
Elin terdiam lama dan menimbang-nimbang, sejujurnya sejak kejadian beberapa waktu lalu, ia agak tak menyukai Bi Nani. Namun, apa boleh buat? Alasannya tak cukup masuk akan untuk membenci wanita tua itu, apalagi Nani juga pernah merawat Manggala ketika dirinya tidak ada.
“Oke, bersihkan Manggala dengan baik.” Elin yang semula jongkok pun berdiri, ia juga mencuci tangannya terlebih dulu akibat busa sabun.
Bi Nani tersenyum ramah. “Tentu saja, saya pernah berpengalaman memandikan Pangeran Manggala, Anda tak perlu khawatir.”
Dalam hati Elin mencibir gaya bicara Nani yang sangat manis, entah kenapa Elin akhir-akhir ini sangat sensitif pada orang-orang yang melakukan kesalahan kecil padanya. Padahal biasanya ia tak begini, Elin lebih bisa mengontrol dirinya agar tak mudah tersinggung.
“Percayakan semuanya pada Bi Nani.” Bhanu juga ikut menambahi.
Malas memperpanjang pembahasan, ia pun keluar dari kamar mandi. Bhanu segera menyusul sang istri, sedangkan Bi Nani melihat kedua sejoli itu dalam diam.
“Ke mana kita pergi?” tanya Elin dengan cepat.
“Ruang eksekusi, ada di bawah tanah.”
“Memangnya penting banget sampai aku harus ikut? Aku kan sudah kasih tahu ciri-cirinya.”
“Sangat penting, kamu juga bisa lihat hukuman apa yang akan mereka dapatkan karena menyakitimu.”
Bhanu memegang tangan Elin, di sepanjang jalan menuju ruang bawah tanah, bulu kuduk Elin merinding seperti ada banyak pasang mata yang mengamatinya.
Ruangan itu juga redup, Elin bahkan hampir terjungkal andai Bhanu tidak menarik tangannya dan memeluk pinggangnya.
“Hati-hati, Sayang.” bisik Bhanu ditelinga Elin.
“Emm ya, makasih.” Elin segera memperbaiki posisinya agar berdiri tegap.
“Belok sini.” Bhanu memberi arahan.
Mereka sampai di ruang eksekusi, sudah banyak prajurit yang berjejer memberi hormat pada Bhanu. Elin mengamati sekitarnya, prajurit-prajurit itu memiliki rupa yang mengerikan, bahkan sebisa mungkin Elin menghindari kontak mata dengan mereka. Ia juga berlindung di balik tubuh kokoh suaminya, nyalinya langsung menciut seketika.
Meski sudah cukup lama tinggal di sini, tapi Elin belum bisa beradaptasi dengan bentuk fisik makhluk kerajaan alam gaib ini. Terkadang mereka juga muncul secara tiba-tiba membuat Elin jantungan, untuk itu lah menjadi salah satu alasan ia suka mengurung diri di kamar sembari mengajak main anaknya, dibandingkan kelayapan di istana jika bukan karena hal penting.
“Salam hormat kami pada Yang Mulia Raja Bhanu dan Nyonya Elin, semoga diberikan umur panjang.” Mereka semua memberikan salam dengan serentak, bahkan Damar juga ikut membungkuk.
Elin meringis kecil melihatnya, seumur hidup ia baru mendapatkan kalimat seperti ini.
“Bangunlah,” balas Bhanu, mereka pun menegapkan badannya lagi.
Damar maju ke depan. “Saya sudah mendapatkan informasi, dua makhluk ini yang mengganggu Nyonya Elin.”
Bhanu mengajak Elin untuk melihat lebih dekat, membuat sang istri memekik kaget.
“Apa mereka yang menyakitimu, Istriku?” Nada suara Bhanu tenang, tapi kontras dengan sorot matanya yang menajam melihat dua makhluk pembangkang di depannya.
“Iya, benar mereka.”
Bhanu mengamati mereka dengan jeli, makhluk itu jarang berada di istananya, lalu untuk apa mereka menyusup hanya karena ingin mencelakai istrinya?
Pasti ada hal lain di balik ini semua.
“Siapa yang menyuruh kalian?” Kini tidak ada kesan ramah yang ditunjukkan Bhanu, ia menggunakan intonasi khas pemimpin untuk menekan mereka.
Dua makhluk itu gelagapan, mereka saling pandang selama beberapa saat.
“Damar, apa kamu sudah menyelidiki siapa orang yang menyuruhnya?”
“Maafkan hamba, saya belum menginterogasi lebih lanjut.”
Bhanu tak menanggapinya lagi, ia sangat penasaran dari dalang asli di balik p*********n sang istri.
Damar semakin menodongkan pedangnya ada leher mereka, sekali tebas maka kepala itu akan menggelinding. Sementara itu Elin melirik antara suaminya dan juga Damar secara bergantian, jadi seperti ini penampakan interogasi musuh.
“JAWAB!” Kali ini kesabaran Bhanu mulai menipis, ia menyentak dengan suara yang keras.
Dua sosok itu semakin tersudut, mereka tidak berani menentang raja atau riwayatnya akan musnah selamanya.
“Nona Gendis dan pelayannya, mereka yang menyuruh kami untuk mencelakai Nyonya Elin.” Si banaspati akhirnya mengaku juga.
Raut wajah Bhanu semakin tak enak dilihat, ia menipiskan bibirnya, pandangan matanya juga mendelik tajam.
Satu pukulan melayang pada masing-masing sosok itu, mereka terantuk dengan keras lalu kepalanya mengalir darah segar. Bhanu benar-benar marah, ia memberikan hukuman permulaan pada mereka.
“Berani sekali nyali kalian menyakiti istriku, Elin adalah ratuku.”
Elin juga ikut terhenyak, jadi Gendis yang berniat mencelakainya? Apa wanita itu masih memendam rasa benci padanya perihal Bhanu.
“Ampuni kami, Raja Bhanu. Kami hanya disuruh oleh Gendis, dia menjanjikan segalanya.”
Bhanu tak mau mendengar alasan apa pun, salah mereka sendiri mau mendengar ucapan sesat Gendis. Awas saja wanita itu, Bhanu juga akan memberikan perhitungan yang setimpal.
“Hukuman apa yang ingin kamu berikan padanya karena telah menyakitimu?” Ia memberikan penawaran pada Elin.
Ada dua tahap hukuman yang akan mereka terima, yang pertama adalah hukuman yang dijatuhi oleh Elin, lalu yang kedua merupakan penyiksaan dari Bhanu.
Elin menggigit bibir bawahnya dengan erat, bingung mau memberikan hukuman seperti apa. Ia ingat saat makhluk-makhluk itu menakutinya hingga pingsan, Elin sangat geram.
“Aku tidak tahu jenis hukuman apa saja yang ada di istana ini, tapi yang ku inginkan adalah kamu menghukum mereka setimpal dengan perbuatannya.” Elin memang tak tahu sistem hukum di negeri ini, jadi ia serahkan hal itu pada suaminya saja.
“Ampun, Nyonya Elin. Maafkan kami, kami tidak akan mengulanginya.” Mereka tahu bagaimana Bhanu dalam memberikan keadilan, apalagi ini menyangkut istrinya.
Rajanya itu tidak akan segan-segan memberikan hukuman yang amat berat.
Elin membuang muka, ia juga memejamkan mata agar tak melihat mereka lagi. Nyawanya hampir melayang karena mereka, biarkan mereka mendapatkan balasan yang sesuai.
Seringai tipis muncul di sudut bibir Bhanu. “Apa pun untukmu, Istriku.”
“Masukkan mereka ke tahanan istimewa, siram dengan timah panas hingga kulitnya mengelupas dari tubuh.”
Damar paham dengan maksud dari tahanan istimewa, tempat ini yang sering disebut sebagai nerakanya kerajaan alam gaib.
Mendengar keputusan mengerikan dari Bhanu, dua makhluk itu pun ketakutan, mereka tidak ingin bernasib seperti tengkorak-tengkorak penunggu tahanan. Pertama-tama mereka akan disiram cairan pekat nan panas, dengan perlahan kulit akan terkelupas dengan sendirinya, lama-lama tubuh itu akan menjadi tengkorak dan hangus bagai abu.
“Yang Mulia tolong maafkan kami, ringankan hukuman kami.” teriak si makhluk genderuwo itu.
Mereka menyesal karena sudah memihak pada Gendis dan ceroboh menyakiti Elin, seharusnya keduanya paham atas konsekuensi dari perbuatan mereka.
Tanpa menunggu lama lagi, Damar memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyeret dua tahanan.
“Selanjutnya bawa Gendis dan pelayannya ke sini.” Bhanu memberi perintah pada Damar lagi.
“Baik, Raja Bhanu.”
Mereka semua pun undur diri, menyisakan sepasang suami istri itu.
“Gendis menyakitiku karena cemburu.” Elin tiba-tiba bergumam, suaranya memantul di ruangan itu.
Bhanu juga memahami hal itu, Gendis memang keterlaluan. Ia pikir setelah memberikan penjelasan panjang lebar pada wanita itu, Gendis akan mengerti, tapi di luar dugaan ternyata dia bertindak gegabah.
“Maafkan aku.” Bhanu hanya bisa meminta maaf pada istrinya, karena obsesi Gendis padanya dapat membawa sang istri dalam petaka.
“Bukankah kamu bilang kalau Gendis hanya teman masa kecilmu dan juga rekan membangun pemerintahan, kenapa sampai saat ini dia terus saja mengejarmu? Sebenarnya apa hubungan kalian.” Elin mengeluarkan keresahan dalam hatinya, kenapa Gendis begitu sulit melepaskan Bhanu padahal pria itu sudah menikah dan memiliki anak.
Mata Bhanu bertatapan dengan Elin, istrinya sedang menuntut penjelasan darinya.
Apakah ini waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya? Tapi, Bhanu takut bila Elin justru membencinya, perihal dirinya yang pernah tidur bersama Gendis bahkan hampir ada anak di antara keduanya.
“El, sebenarnya aku,” Belum sempat Bhanu melanjutkan kalimatnya, suara dari luar pun mengganggu.
Damar membawa Gendis beserta pelayannya, hingga membuat fokus pria itu teralihkan.
“Lapor, Gendis beserta Sekar sudah saya tangkap.” Damar menunjuk dua orang tersangka.
Gendis mengatupkan bibirnya dengan erat, sementara matanya tak lepas dari Elin. Aura permusuhan serta kebencian sangat pekat, Elin yakin masalah ini tak kan mudah selesai begitu saja.