Malam harinya Elin bertekad untuk tidak tidur lebih dulu, ia sengaja menunggu kedatangan Bhanu dan putra mereka. Ia tidak tahu apakah Bhanu akan datang malam ini atau tidak, yang pasti Elin akan setia menunggu mereka.
Sudah pukul sebelas lebih empat puluh lima, Elin meraih secangkir kopi buatannya yang sudah dingin, demi mempertahankan kesadarannya ia bahkan meminum kopi.
“Bhanu, Manggala, datang lah.” Bibir Elin memanggil nama kedua orang yang ia rindukan.
Tidak dapat dipungkiri, ia benar-benar merindukan mereka berdua. Elin tidak ingin munafik, setelah kejadian kemarin malam, pertalian antara ibu dan anak membuatnya menyayangi Manggala meski anak itu berbeda.
Elin bangkit berdiri menuju jendela kamarnya, ia menatap halaman rumahnya yang gelap gulita. Setitik air mata meluruh, ia ingin bertemu anak dan suaminya.
Semilir angin menghempaskan rambut wanita itu, Elin mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Tiba-tiba saja aura ruangan ini terasa berbeda, lebih dingin dari sebelumnya.
Sosok bertubuh tinggi tegap berdiri tepat di belakang wanita itu, ia melihat punggung Elin yang gemetar karena terisak.
“Istriku, kenapa belum tidur?”
Elin yang masih membelakangi sosok itu pun membulatkan mata terkejut, tanpa menunggu lama lagi ia berbalik.
“Bhanu, kamu datang?” Bibir Elin bergetar saat menggumamkan nama suaminya.
“Aku datang karena kamu memanggilku. Bukankah aku sudah bilang padamu, kapanpun kamu membutuhkanku, aku akan menemuimu.” Seutas senyum dari bibir Bhanu menghantarkan perasaan hangat untuk Elin.
Elin langsung menghambur ke pelukan suaminya, masih sama seperti dulu, nyaman dan menenangkan!
“Kamu benar-benar Bhanu suamiku?”
Bhanu mengangguk, ia juga membalas pelukan Elin tak kalah erat.
Bhanu datang karena sang istri memanggilnya, ia tak bisa menahan gejolak kerinduan ini, Bhanu ingin memeluk Elin dan menumpahkan segala kerinduan tersebut.
“Maafkan aku, aku menyesal karena memintamu untuk pergi.” Pada nyatanya Elin tidak bisa berjauhan dari sang suami, baru sekitar satu minggu saja ia merasa amat bersalah.
“Tidak apa-apa, semuanya telah berlalu, yang penting adalah saat ini kita bisa bersama.” Bhanu mengelus puncak kepala istrinya dengan penuh cinta.
“Ada di mana Manggala?” tanya Elin setelah melepaskan tautan mereka, ia baru sadar Bhanu datang dengan sendiri, tidak membawa serta Manggala.
“Manggala bersama orang yang tepat, jangan mengkhawatirkannya.”
Elin menghela napas kecewa, ia pikir kedatangan Bhanu juga membawa anak mereka, ternyata nihil.
“Aku ingin bertemu Manggala, aku ingin meminta maaf padanya karena menjadi ibu yang buruk.” Elin berkata dengan lirih, rasa sesalnya begitu mendalam, ia ingin menemui putranya.
Bhanu menangkup wajah istrinya, menaikkan dagu Elin agar menatap dirinya.
“Kamu akan bertemu dengannya, Manggala juga sangat merindukan ibundanya.” Pipi Elin sudah basah oleh linangan air mata.
“Kapan?”
“Setelah keributan berakhir, di istana ku sedang terjadi gejolak besar-besaran. Mereka menginginkan aku agar menaiki tahta menggantikan Ayahanda,” jawab Bhanu.
“Itu akan lama, Manggala pasti membutuhkanku, ku mohon pertemukan aku dengan putraku.” Elin meraih tangan Bhanu dan memohon padanya.
Bhanu terlihat berpikir sejenak, jika ia membawa Elin ke istananya, maka pasti akan ketahuan bila dirinya telah menikah dengan manusia. Bhanu tidak ingin membawa Elin dalam bahaya, jika sampai orang-orang istana tahu bahwa yang dinikahinya adalah golongan manusia maka Elin bisa terancam keselamatannya.
“Elin, percaya padaku aku tidak akan memisahkan Manggala dari ibunya. Akan ku usahakan agar kamu bisa bertemu dengannya secepat mungkin, ya?”
Akhirnya Elin mengangguk lemah, ia akan menunggu momen pertemuan dengan putra semata wayangnya.
“Bhanu, bisa kah kamu menceritakan semuanya tentang dirimu?”
“Tentu, salah satu tujuan datang ke mari karena aku ingin menceritakan segalanya pada dirimu.”
Elin mengangguk semangat, buru-buru ia meminta suaminya untuk duduk di kursi sederhana yang ada di kamarnya.
“Aku adalah pangeran dari istana negeri bangsa gaib, aku bukan manusia seperti dirimu. Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu?”
Elin mengangguk samar. Otaknya tertarik untuk mencerna kejadian sekitar dua tahun silam, saat itu Elin mendaki salah satu gunung untuk sekadar menyegarkan otak, ia berangkat bersama teman-teman sehobi mendaki, saat itu dirinya sempat kesasar di hutan belantara gunung itu, syok? Pasti.
Tapi entah dari mana datangnya Bhanu menolong Elin dan menunjukkan jalan yang benar, sejak saat itu hubungan Elin dan Bhanu kiat dekat. Hingga puncaknya adalah satu tahun lalu, Bhanu mempersuntung dirinya.
Sama seperti Elin, Bhanu mengaku bahwa dirinya hanya sebatang kara di dunia ini, akhirnya mereka berdua pun menikah. Semua berjalan dengan normal, tidak ada yang mencurigakan sama sekali, Bhanu juga masih bisa dilihat dan disentuh olehnya.
Hanya saja beberapa kali Elin merasa cemas karena sang suami pernah tak pulang hingga tiga atau sampai tujuh hari, ini membuat wanita itu berpikiran bahwa suaminya telah selingkuh. Faktanya, tidak sama sekali! Bhanu pergi hingga berhari-hari karena ia harus memenuhi panggilan Ayahandanya di istana.
“Saat itu aku sudah memasuki usia menikah, Ayahanda memintaku untuk menikahi gadis dari golongan bangsa kami, tapi aku menolak karena aku tidak mencintainya. Hingga akhirnya aku menemukanmu yang sedang meringkuk di bawah pohon jati hutan, kamu kedinginan karena terlalu lama terjebak di sana.” Bhanu terkekeh pelan di akhir kalimatnya.
Pipi wanita itu bersemu merah mengingat momen lucu sekaligus mengesalkan itu. Ya, Elin meringkuk kedinginan di bawah pohon besar, tidak ada pertolongan, perbekalan juga habis, selimut juga tak terbawa olehnya.
“Omong-omong siapa wanita yang hendak dijodohkan denganmu? Sepertinya aku merasa cemburu.”
Bhanu mengendikkan bahunya. “Kamu tidak perlu cemburu padanya, posisimu lebih tinggi daripada dia, kamu adalah istriku.”
Ah rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di perut wanita itu, Elin tersanjung mendengar penuturan suaminya.
Bhanu meraih tangan Elin dan menggenggamnya dengan erat.
“Aku ingin sekali membawamu bertemu dengan Ayahanda, tapi keadaan belum tenang. Aku berjanji akan memperkenalkan dirimu dengan beliau secepat mungkin,” janji Bhanu.
“Aku akan menunggu dengan sabar, jangan khawatir.”
“Terima kasih sudah bersedia menerimaku kembali,” kata Bhanu.
“Justru aku yang harus berterima kasih padamu, kamu telah mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku karena sempat melukai hatimu, sungguh aku menyesal.”
“Semuanya telah berlalu, kita hanya perlu membuka lembaran baru.”
Elin mengangguk membenarkan.
“Ohh ya, kamu buka toko roti hm?”
“Ya, aku meneruskan usaha mendiang ibu.”
“Kenapa tidak menggunakan nafkah dariku untuk memenuhi kebutuhanmu?”
“Saat itu aku berpikir kita sudah berpisah, maka dari itu aku tidak menggunakan uangmu. Biarlah uang itu mengendap di rekening, selagi aku bisa maka aku akan berusaha untuk bekerja sendiri.”
“Ingat! Aku tidak akan pernah melepaskanmu, jangan berpikir kita bisa berpisah.” Jari telunjuk Bhanu menyentil hidung mungil istrinya, ia tidak suka jika Elin berpikir mau pisah darinya.
Elin tertawa kecil mendengar penuturan suaminya, meskipun ia menyakiti pria itu tapi Bhanu masih saja bersikap baik dan romantis padanya.
Saat keduanya tengah saling berbincang-bincang, tiba-tiba Bhanu merasakan suatu yang asing mendekat ke rumah istrinya. Pria itu bangkit dengan buru-buru lalu menyibak gorden yang berada tepat di sampingnya, matanya menelisik ke halaman gelap sana.
“Ada apa?” Elin ikut berdiri, heran dengan sikap suaminya yang terlihat kaget.
“Ada aura jahat yang mendekati rumah ini, dia berbahaya.”
“Apa itu juga berasal dari golongan gaib?” tanya Elin.
Bhanu menutup kembali gorden jendela setelah tak mendapati pemilik aura jahat itu, sepertinya sosok itu menyadari bahwa ada dirinya yang melindungi rumah ini.
Ia berbalik menatap sang istri. “Ya tapi jangan takut, aku selalu ada untuk melindungimu.”
Wajah Elin berubah sendu, akan ada masalah apalagi? Selama ia tinggal duapuluh tahun di rumah ini, tidak ada hal-hal seperti itu.
Bhanu menangkup kedua pipi istrinya dengan sayang. “Jangan banyak berpikir, istirahat lah dengan baik, keselamatanmu adalah tanggung jawabku.”
“Tapi kita terpisah oleh jarak, bagaimana kamu bisa melindungiku duapuluh empat jam penuh?”
“Meski aku tidak berada di sini, panggil saja namaku maka secepat kilat aku akan datang untuk membantu istri cantikku.” Pria dewasa itu menenangkan kekhawatiran sang istri.
Tentu saja Bhanu akan mempertaruhkan segalanya untuk keselamatan sang istri, Elin adalah segalanya bagi Bhanu.
“Apa kita tidak bisa tinggal bersama-sama lagi seperti dulu?”
“Setelah kamu memintaku untuk pergi, saat itu pula aku memutuskan untuk kembali ke istana duniaku. Aku sudah terlanjur datang ke sana dan banyak dari mereka yang sudah tahu kepulanganku, aku beralasan sudah mendapatkan ilmu tinggi sehingga bisa pulang. Jadi untuk selanjutnya aku akan berada di sana lebih lama, agar mereka tidak curiga bahwa aku sudah menikahi gadis bangsa manusia.”
Elin menggigit bibir bawahnya dengan erat. Pernikahannya berstatus sembunyi-sembunyi, tidak menutup kemungkinan kalau hubungannya dengan Bhanu bisa kandas kapan pun.
Bhanu bisa melihat sorot kecewa di mata sang istri, ia juga tidak bisa nekat dengan terang-terangan mengakui anak dan istrinya, keselamatan Manggala dan Elin bisa terancam.
Aturan yang melarang pernikahan beda alam masih berlaku hingga detik ini. Bhanu tahu betul apa konsekuensi jika melanggar peraturan itu, Elin bisa terbunuh begitu juga dengan Manggala.
“Bagaimana dengan Manggala, apa identitasnya juga kamu sembunyikan di sana?” tanya Elin setelah ia lama terdiam.
“Aku menitipkan Manggala pada pengasuh di istana. Aku pastikan putra kita selalu aman, sampai saat ini tidak ada yang curiga mengenai keberadaannya.”
“Tapi bukan berarti mustahil untuknya terluka. Berikan Manggala padaku aku yang akan merawatnya.” tukas Elin dengan cepat.
“Kamu yakin bisa merawatnya?”
Elin memincingkan mata. “Kamu meragukanku?”
Bhanu menggeleng dengan cepat, ia tidak berniat menyinggung istrinya.
“Bukan seperti itu, hanya saja Manggala berbeda dari anak-anak lainnya, aku takut jika ia mendapat cemoohan, apalagi kamu juga tinggal di pemukiman padat penduduk. Jika tetanggamu tau mengenai keadaan Manggala, pasti akan ada gosip tentang kalian.”
Bhanu berpikir jangka panjang, ia tidak ingin Manggala ataupun Elin mendapat hinaan dari mulut pedas tetangga.
Alasan Bhanu sangat masuk akal, Elin lupa bahwa sekarang ia sudah tinggal di kawasan padat penduduk, belum lagi banyaknya pembeli yang datang silih berganti. Elin tidak ingin ada yang menghina anaknya, tidak boleh!
“Aku tidak tau harus bagaimana, di satu sisi aku ingin merawat putraku, di sisi lain keadaan tak memungkinkan.” Elin tidak mau egois, faktanya di dunia manusia ini orang-orang lebih kejam dengan komentar pedasnya.
Bhanu juga sama bimbangnya. Ia tidak bisa terus-terusan membawa Manggala keluar masuk istana karena menimbulkan kecurigaan, untuk sekadar memberikan Manggala ASI pun Bhanu hanya akan keluar dari istana pada malam hari, di mana semua penghuninya melakukan aktivitas di luar area, juga menggunakan kekuasaan Mahatma sebagai raja.
Wanita satu anak itu pun menghela napas panjang lalu terduduk dipinggiran ranjang.
“Untuk sementara ini biarlah Manggala bersamamu asalkan keselamatannya terjamin, aku akan memompa ASI untuk kamu berikan padanya.” Elin sudah memutuskan hal yang menurutnya cukup bijak.
Daripada memaksakan Manggala tinggal di dunia manusia, sedangkan para manusia sendiri juga sering ikut campur urusan orang lain, lebih baik Manggala tetap di istana saja.
“Terima kasih atas pengertianmu, sebisa mungkin aku akan mempertemukan kalian secepatnya, Manggala sangat merindukanmu.”
“Sampaikan permintaan maafku pada Manggala, maaf karena aku belum bisa menjadi ibunda yang baik untuknya.”
“Jangan berkata seperti itu, kamu adalah ibunda terbaik. Kamu sudah berbesar hati demi keselamatannya,” balas Bhanu.
Elin mengangguk pelan, dengan begini hatinya lebih tenang berkali-kali lipat dibandingkan sebelumnya. Elin tidak perlu merasa bersalah lagi karena menyia-nyiakan putranya.