Aku mengikat rambut keritingku dengan lebih rapi, memulas make up tipis – tipis dan menambahkan liptint. Tak lupa, menyemprotkan sedikit parfum sebelum akhirnya aku mematut diri di cermin toilet mall tempat Gavin mengajakku nonton. Iya nonton!
Jam empat sore tadi, dia bertanya padaku film yang sedang mau aku tonton. Langsung saja, sat set sat set aku menyebutkan film yang belum kutonton. Dan nggak lama kemudian, foto dua tiket itu sudah dikirimkan Gavin padaku.
Pak Tedjo sudah pergi sejak kami kembali dari makan siang. Jadi, aku bisa kabur jam lima teng.
Gavin mengirim pesan, memberitahu kalau dirinya sudah berada di area bioskop. Aku pun segera meluncur menuju lantai teratas dari bangunan ini. Aku menemukan Gavin sedang duduk di kursi tunggu yang berjejer.
“HEY!” Aku mengagetkannya sambil menepuk meja.
Gavin menoleh dan senyum favoritku terbit dari bibirnya. Aaah, kapan dia putus sama Tami sih?
“Lama nggak nunggu gue?”
“Nggak kok. Kantor gue deket dari sini, tadi ngerokok dulu sama temen – temen sebelum kesini.”
“Huum.”
“Bawa motor?” Aku mengangguk spontan. “Bareng ya.”
“Motor lo kemana?”
“Dipinjam teman kantor.”
Aku langsung memasang wajah curiga dengan bercanda.
“Jadi, ngajak nonton karena nyari tebengan nih?”
Gavin terbahak pelan, sambil mengibaskan tangan kanannya di depan wajah.
“Nggak lah. Udah lama kan kita nggak jalan bareng, ngobrol – ngobrol berdua.”
“Iyalah, lo sibuk pacaran. Gue sibuk jadi b***k korporat!”
Senyum di wajah Gavin sirna seketika, ia hanya mengangkat kedua alisnya pertanda tidak ingin memperpanjang percakapan ini. Tapi, percakapan yang mana? Tentang aku b***k korporat atau dia sibuk pacaran?
“Adek lo gimana selama di sini? Gue belum sempat nanya – nanya.” Aku pun langsung mengalihkan pembicaraan.
“Sudah setahun, Sha, baru lo tanya.”
“Hehehe, kan belum sempat ngobrol banyak ama lo. Gantengan adek lo ya. Kiyut kayak artis Korea.”
Gavin hanya tertawa kecil menanggapi.
Kami pun mengobrol seputar pekerjaan, dan aku menceritakan tentang bosku yang menyebalkan. Seperti orang lain, Gavin menyuruhku bersabar menghadapi pak Tedjo. Aku merasa lega karena memiliki teman cerita di luar ring 1 bos Tedjo.
Tanpa membahas Tami sama sekali.
Mungkin mereka sedang bertengkar (lagi). Aku berniat men-stalking i********: Tami kalau sudah sampai rumah nanti. Tami terlalu terbuka soal percintaannya di sosmed. Kalau mereka berantem, story Tami pasti penuh kata – kata galau dan lagu sedih. Hapal aku sih. Secara, sudah memendam lama perasaan pada Gavin dan hanya bisa bersabar ketika dia menjadikan Tami sebagai pacarnya.
Announcement studio film yang akan kami tonton pun terdengar, Gavin bangkit dari duduknya. Mengambil jaket dan mengajakku masuk ke dalam ruang teater. Tanpa sengaja, tangan kiri Gavin terus bersenggolan dengan tangan kananku dan akhirnya dia memilih menggandeng tanganku. Membuat diri ini tersenyum lebar tanpa sadar.
Selesai nonton, Gavin juga mengajakku makan. Aku pilih Mcd karena pengen makan eskrimnya juga dan Gavin nggak menolak sama sekali.
“Enngggg...kemarin gue ketemu mamah lo, kata mamah lo lagi deket sama temen kantor ya?”
Aku berpikir sebentar, menebak – nebak siapa yang mamahku maksud.
“Gadis? Risa? Yang deket banget mereka aja sih.”
Kepalan tangan Gavin, menjitak jidatku pelan.
“Bukan mereka juga maksud gue, Nyong!” Umpatnya sambil tertawa.
Sudah lama aku tidak mendengarnya mengumpat ‘Nyong’ atau ‘Njirr’.
“Siapa sih? Mamah mah asal aja ngomong. Jangan – jangan, mas – mas kurir nelpon gue dikira cowok yang lagi pedekate sama gue.”
Aku menyeruput Lemon Tea yang tinggal setengah.
“Lagipula, mau deket sama siapa lagi sih gue?”
“Uhm...Mido? Amido? Itu bukan sih namanya?” Sontak aku tersedak minuman sendiri saat Gavin menyebut nama laki – laki yang paling mustahil aku pacari.
“AMIDO? Mamah yang bilang gue deket sama Amido?” Gavin mengangguk polos.
Kontan saja aku tertawa. Iya memang aku sering teleponan atau video call dengan Amido. Saat libur, dia sering video call hanya untuk memamerkan kucing berbulu abu – abu miliknya yang ia beri nama Kapten. Kadang juga kami teleponan hanya sekedar bergosip apapun yang sedang ramai di kantor dan terlalu beresiko bahas di kantor. Gadis punya pacar, sehingga sering nggak menjawab panggilan itu dan Risa jarang banget pegang hape di rumah. Dia lebih sering main bersama keponakan – keponakannya.
“Nggak lah, gokil! Dia mah partner gibah!” Aku berbisik di kalimat terakhir, Gavin terbahak mendengarnya.
“Agak – agak?” ia mengutip kedua tangannya menjadi tanda kutip.
Aku paham maksudnya Gavin, aku pun menggeleng.
“Dia sih ngakunya straight ya, tapi kan kita nggak tahu. Hihihihi.”
Kami tertawa bersama.
.
.
.
Begitu masuk kamar, aku buru – buru membersihkan diri sebelum akhirnya meraih hape dan buka i********:. Pengingat daya berkedip, sisa batere ponselku hanya tersisa dua puluh persen. Sambil berdecak kesal, aku bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja belajar semasa sekolah. Jaraknya cukup jauh dari kasur, jadi aku nggak bisa nge-charge sambil mainkan hape.
Kadung penasaran, aku pun duduk di kursi sambil mencolokkan chargeran dan menggulir layar hape.
Benar saja! Story Tami kubuka menceritakan segalanya. Aku rela klik tiap titik – titik di story Tami hanya untuk membaca curahan hatinya yang sangat gamblang.
Aku capture beberapa dan mengirimkannya di grup ‘Mari Semua Sambat Denganku’.
Intinya sih, Tami merasa Gavin tidak ada pergerakan menuju serius alias menikah. Dan Tami didekati orang lain dari kantornya, yang juga mantan kantorku. Cuma, dia nggak spill nama si cowok yang dekati dia itu. Singkatnya, si cowok itu menawarkan hubungan serius dan Tami siap melepas Gavin.
Ulala... Rasanya aku ingin menari Samba.
Ya maaf, Vin, patah hati lo adalah doa – doa gue tiap malam Minggu yang diijabah Tuhan. Hihihihi.
Puas men-stalking Tami, aku beralih ke explore yang dipenuhi berbagai insight dari teman – teman yang kuikuti. Ada anime, pasti racunnya adalah kedua adik wibu-ku itu. Ada postingan hijrah, sudah pasti milik teh Nira dan Gadis. Postingan kucing, sudah jelas Amido. Kpop – kpop –an, pasti dari Gadis dan Risa, juga beberapa teman sih. Eh ada akun gosip yang sedang memberitakan perceraian Anita Marra.
Kekepoanku memang sulit ditolak.
Huum, aku hanya baca hak asuh jatuh ke tangan suaminya. Waduh. Padahal si Cimoy masih batita lho, kok bisa hak asuh jatuh ke tangan ayahnya sih. Bukan kah harus ibunya?
Pasti pak Tedjo bahagia banget memenangkan hak asuh anaknya. Padahal dia pekerja keras tanpa kehidupan normal, tampaknya. Kasian si Cimoy, apakah anak itu hanya akan bersama Nanny sepanjang hari?
Apa dia akan sering membawa si Cimoy ke kantor ya? Anaknya lucu banget, gemesin. Gembul, rambutnya keriting sama kayak aku tapi versi lucunya, putih banget kulitnya, matanya sipit dan galak. Enak banget deh dibikin nangisnya hehehe.
Aku tak dapat menahan kuapan kantuk. Kuletakkan hape dan beranjak dari kursi untuk rebahan. Tapi, notifikasi pesan masuk menahanku. Kubuka lagi hape, layar menampilkan pesan dari Gavin.
Gavin : ‘Thanks Tisha, udah ditemenin nonton.’
Aku mengetik balasan.
Me : ‘Sama sama, Pin. Sering – sering kek ajak gue nonton sama traktir gue makan. Happy deh gue nemenin lo.’
Kukirim serta stiker anak kecil berwajah imut yang menggemaskan, tapi jangan bayangkan aku yang berekspresi begitu, dijamin bisa bikin mimpi buruk.
Gavin : ‘Hahaha. Life’s goal lo banget ya, makan nonton gratis for4’
Me : ‘Kalau ada yg gratis, kenapa harus bayar? Motto hidup gue.’
Gavin pun pamit untuk tidur dan kami saling mengucapkan selamat tidur, tak lupa meminta Gavin memimpikan aku dengan stiker wajah bayi gemes.
Baru saja sampai di kasur, ponselku bunyi lagi. Aku masih menebak Gavin lah pengirimnya dan segera berlari menuju meja belajar untuk kembali membuka aplikasi chat. Tapi, pupus sudah harapanku ketika melihat nama ‘Bpk Tedjo DU’ yang tertera di sana sebagai pengirim pesan.
Balas, jangan, balas, jangan, balas, jangan?
Jariku sudah bergerak ingin membuka roomchatnya, tapi pesan dari dia masuk lagi.
Bpk Tedjo DU : Dibalas ya, Tisha. Saya tahu kamu masih online.
Idiiiiiih, sotoy!
Pesan terakhirnya malah membuatku ingin bertindak barbar sekalian. Jadi, kuganti mode pesawat sebelum kutinggal tidur deh hapeku ini. Makan tuh online!
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, peduli amat kalau besok si Bos ngomel karena hapeku mendadak nggak aktif. Siapa suruh chat kerjaan jam sebelas malam?!
Itu pelanggaran hak karyawan beristirahat, tahu!
Dan otak overthinking-ku malah memikirkan reaksi pak Tedjo besok di kantor. Meski aku tahu, dia lebih sering melupakan insiden atau perilaku tidak terpujiku. Entah karena tidak ingin membuang energy atau sekedar malas meladeni, tapi yang jelas dia akan selalu melupakan semuanya di keesokan hari. Tapi, tetap saja, aku tidak bisa tidak resah akan reaksinya besok. Kadang aku berpikir, mungkin di suatu titik pak Tedjo akan muak dengan tingkahku dan memberikan teguran keras.
Moment itu lah yang selalu membuatku resah tiap kali berulah atau memang sengaja membuatnya kesal.
Jika sedang tidak bisa mentolerir sikapku, pak Tedjo hanya akan memandangiku lama banget seolah ingin menelanku hidup – hidup tapi khawatir rambut keritingku membuat kerongkongannya tersedak. Atau, dia bisa mendiamkanku alias nggak bertegur sapa hingga sehari penuh. Nah, kalau sikapnya sudah seperti itu, aku tahu kalau dia lagi bete sama salah satu sikap kami.
Tapi yang selalu termaafkan tentu saja Amido.
Amido bahkan pernah membentak principal di depannya dan pak Tedjo tidak memarahi Amido sama sekali. Begitu si orang principal pergi, dia justru berkata pada Amido kalau dia juga kesal pada orang tersebut tapi tidak bisa melampiaskan amarah sebebas asistennya itu.
Ah sudahlah, tidur Tisha!
•••