Setelah perkataan tidak sopanku kemarin di telepon, sekarang aku merasa seperti terpidana di ruangan pak Tedjo. Duduk seorang diri di depan laptop yang sudah dalam mode sleep karena lama tidak kusentuh sejak tadi. Sementara si pemilik ruangan, sedang berbincang dengan salah seorang petinggi principal di ruang depan dan meninggalkanku kebingungan di tengah – tengah revisi format yang ia minta ubah lagi. Aku mengirim pesan di grup ‘Mari Semua Sambat Denganku’, mengeluhkan tingkah si Bos yang suka seenak jidat buang waktu bawahannya untuk hal sepele.
Aku yakin dia lupa dengan ucapanku kemarin, atau dipikirnya tidak terlalu penting. Karena aku yakin, sudah banyak hal kurang ajar lainnya yang frontal kulakukan di kantor dan pasti pak Tedjo juga menyadarinya. Dan sekarang, dia mungkin juga lupa menyuruhku kembali ke meja sementara dirinya terlibat percakapan penting yang cukup lama di luar sana.
Gadis membalas dengan stiker meledek, seirama dengan Risa. Amido kulihat di tempat duduknya, masih sibuk memijat dahi. Tanda bahwa dirinya sedang mentok dalam berpikir, atau terlalu mumet menghadapi apapun yang terbentang di layar laptop.
Aku kembali menengok, melihat di mana bosku berada sekarang. Ia bersalaman dengan tamunya, berbicara sebentar pada Amido dan Gadis, kemudian kembali melangkah masuk ke dalam ruangannya. Aku pun segera kembali dalam mode serius, pura – pura mengubah beberapa warna grafik yang sedang kubuka.
“Ayo lanjut! Saya ada meeting di luar satu jam lagi.” Titah yang mulia tuan Sawung Tedjo Buwono.
Dia yang bikin meeting ini jadi lama, nggak nyadar, hiih!
“Yang ini warnanya dibeda kan dong, Tisha. Kesannya jadi satu kategori.”
Ini nih yang bikin semua hamba sahaya tuan Tedjo muak dengannya. Gimana nggak, perkara warna header tabel tiap data harus beda, per kategori dan eye catching. Nggak boleh sama – sama biru di kolom yang bersebelahan, meski yang satu biru muda dan tua.
Aku mengubah format sesuai instruksinya, setelah dirasa selesai, kami me-review tampilan format itu bersama.
“Nah, ini kan enak dibaca.” Gumamnya sambil menyorotkan sinar laser berwarna merah ke sekitar whiteboard yang menampilkan format laporanku.
“Ini kamu update, yang tahun lalu dan tahun ini. Saya mau lihat growth-nya. Terus...”
Seterusnya perintah dari pak Tedjo adalah template yang sudah kuhapal puluhan kali sejak aku mengetahui kalau beliau ini memang hobinya mengulang – ngulang perintah yang sama, dengan omelan yang seolah – olah dirinya lelah memberitahu kami. Padahal, kami sudah hapal di luar kepala.
“Biasakan yah, Tisha, kayak gitu.” Tidak lupa kalimat penutupnya yang khas.
Dan seperti biasa, template, aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil menjawab. “Baik, Pak.”
Nggak ada keberanian seperti Alnira di n****+ Resign milik kak Almira yang berani menyahuti bosnya, Tigran, dengan kalimat cerdas. Kami semua, b***k Mr. Tedjo, hanya sanggup berkata dengan ekspresi dan template ‘agar karir tetap bertahan’ alias yawes nurut saja.
“Sudah kan, Pak?” Tanyaku, ketika melihat pak Tedjo sudah asyik dengan ponselnya.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, sudah menunjukkan jam dua belas siang alias waktunya istirahat.
“Sebentar,” jawab pak Tedjo dengan kata yang menggantung dan tangan kiri terangkat menahanku.
Aku kembali duduk dan membuka w******p di laptop sesaat setelah memastikan kabel proyektor sudah kulepas. Anyway, perkara salah penyebutan proyektor menjadi Infocus saja, aku pernah diralat oleh Mr. Tedjo. Dia bilang gini, “infocus itu brand. Bukan nama bendanya.”
Dia nggak akan cocok ngobrol sama mamahku yang nyebut semua detergen dengan Rinso, Aqua daripada air mineral, Pampers alih – alih diaper dan yang paling epic adalah Lekboy (itu pronounce mamah pada produk Lifebuoy) untuk semua sabun mandi.
“Besok tolong pesankan makanan untuk dua puluh orang. Makan siang. Ada meeting Business Review dengan Kolls. Dan minta pak Amir untuk siapkan ruang meeting jam delapan pagi. Pastikan dispenser, kopi dan semuanya lengkap, ya?”
“Baik, Pak.”
Aku meraup laptop, dengan notes dikepit di tangan kiri, bangkit dari duduk eh pak Tedjo kembali memanggil namaku, meski matanya masih menatap layar laptop.
“Apa lagi ya, Pak?”
Raut wajah Yang Mulia Tedjo langsung judes mendengar pertanyaanku atau nadanya yang kubuat se-menjengkelkan mungkin. Please lah, ini tuh sudah jam makan siang. Biarkan cacing – cacing di perutku mendapatkan jatahnya makan siang.
“Nggak suka gitu kamu dapat insight tambahan dari saya.”
Insight, ceunah!
“Nggak gitu, Pak, saya sudah ditunggu Gadis.”
Sorry, Dis, nama lo gue catut.
“Tunggu, saya mau tanya. Anak umur tiga tahun sudah boleh makan eskrim belum ya?”
YA MANA SAYA TAHU, BAPAKKKKKK! Apakah Mr Tedjo sedang meng-halu, seolah ia baru saja mengingat di CV-ku dulu, aku pernah mencantumkan pengalaman mengurus bayi atau gimana sih?!
“Nggak tahu lah, Pak.” Jawabku ketus.
Sungguh bukan nada yang ingin kubiarkan tercetus begitu saja, tapi pertanyaan ini sungguh konyol ditanyakan kepadaku yang sisi feminimnya mungkin diragukan manusia satu gedung.
Seolah menyadari kesalahannya, pak Tedjo tertawa kecil sambil mengusap hidungnya sekilas lalu.
“Oh iya lupa. Nggak mungkin ya kamu ngerti soal anak kecil. Mungkin anak – anak juga takut deket kamu.”
BEDEBAH MEMANG MANUSIA SATU INI!
Aku keluar sambil menghentakkan kaki dan sengaja menutup pintu dengan berisik.
“Untung ganteng. Eh untung bos, lo!”
Gadis memperhatikanku sambil mengernyitkan dahi dan mengajak makan siang keluar dengan tidak sabar. Pak Tedjo keluar dari ruangannya, secepat kilat aku mengambil dompet dan hape kemudian menarik lengan Gadis agar segera turun.
.
.
.
Gadis dan Risa spontan menertawakan ceritaku saat aku baru selesai menutup mulut.
Jelas, aku baru saja menceritakan soal pertanyaan pak Tedjo beberapa saat lalu di ruangannya. Aku menyedot es teh manis dengan hati panas karena masih kesal dengan perkataan pak Tedjo terakhir kali sebelum aku keluar dari ruangannya.
Anak kecil takut padaku? Menyebalkan!
Awas saja kalau nanti si Cimoy bisa dekat dan lengket denganku. Dia akan menyesal hahaha. Aku akan menjadi ibu sam—hehh apa-apaan sih, Tisha! Aku mengomeli pikiran melantur yang kadang mampir tak tahu diri tiap membayangkan si Tuan Muda Tedjo Buwono itu.
Ya dia menyebalkan dan too good to be true SECARA FISIK. Hampir membuat dirinya termaafkan di beberapa hal. Hanya beberapa lho ya, untuk hal lain ya aku sih masih waras untuk memakluminya walaupun ketampanan dia mengalahkan Nicholas Saputra.
Hm, aku menggigit sebagian bawah bibir tiap kali merasa lemah dengan visualnya.
Anyway, perceraian bos Tedjo dengan Anita Marra sedang diberitakan di mana – mana. TV, majalah gosip dan akun – akun sosial media. Bahkan di hapeku saja kadang ada notif berita perceraian Anita Marra. Sama deh tuh, template-nya. Rumah tangga yang jauh dari kabar miring itu harus diterpa badai perceraian.
Mamah juga sempat komentar, menyayangkan Anita Marra cerai. Mamah suka peran – perannya di sinetron, biasanya Anita Marra berperan sebagai ; istri yang tersakiti, gadis desa yang jatuh cinta dengan anak majikannya atau mahasiswa yang dipaksa melunasi hutang ayahnya yang mendadak bangkrut.
Tapi mamah belum tahu kalau pak Tedjo suami Anita Marra itu lah pak Tedjo yang kuceritakan sebagai bos yang menyebalkan tapi tampan itu.
“Kalau sidang cerai itu berapa lama sih?”
“Ih mana gue tahu, emang gue pernah?” Gadis menjawab pertanyaan Risa dengan judes, aku kembali mengobrol dengan mereka dan meminta ganti topik.
Kami membahas sikap karyawan lain yang terkesan iri dengan kami berempat. Ada Fika yang terus menyindir Risa tiap ke ruangan mereka dengan perkataan, ‘enak lah ring satu manager, datang seenaknya pun nggak ada yang tegur’.
Ohya, sejak beberapa bulan yang lalu, aku memang pernah mendapat perlakuan tidak enak dari genk Fika, Ria dan Uci. Awalnya sih aku nggak menyangka kalau itu sindiran untukku. Secara, kalau Gadis bilang aku tuh termasuk orang yang nggak peka kalau disindir. Ya emang betul sih, tapi saat aku cerita ke Risa tentang ucapan tiga orang itu, dia langsung menjambak rambut keritingku dan mengatakan kalau itu sindiran terhadapku yang anak baru tapi sudah dekat dengan semua orang dan beberapa atasan.
Bahkan Amido yang awalnya dicap jutek dan jarang ngobrol itu pun berubah menjadi asyik dan menyenangkan juga suka bercanda. Dan tiga cewek yang tadi kusebutkan, ada yang suka dengan Amido. Jadi, begitu Amido tampak akrab denganku bahkan sampai ke pukul – pukulan gemes, aku pun sering disindirnya. Meski nggak peka, Gadis yang selalu memberi tahu kalau aku sedang disindir.
Pernah satu waktu, Uci berkata kalau dekat dengan bos Tedjo artinya segala yang kami ajukan dipermudah dan langsung saat itu juga kutawarkan tukeran posisi. Sanggup nggak tuh dia berada di posisiku yang merangkap sebagai b***k dan hamba sahaya Mr. Sawung Tedjo Buwono yang terhormat.
Si Bos tuh melihat kami bukan lagi seperti karyawan, tapi b***k. Mana pernah tiga cewek itu sudah sampai rumah dan rebahan ditelepon dan diminta kembali ke kantor jam delapan malam. Hanya kami berempat ; aku, Amido, Gadis dan Risa saja yang mendapatkan ‘keistimewaan’ itu. Meski terbayar dengan segelas Starbucks, Chatime, paket panas Mcd atau kadang – kadang Hokben sih. Apalagi kalau sudah pasang mode judes, si Bos Tedjo akan langsung merayu kami dengan makan di luar dan tentu saja bills on him!
Tapi, percaya deh, lebih banyak siksaannya daripada reward yang diberikan Mr. Tedjo. Ya kalau bisa melihat visual good looking-nya sih itu bonus saja. Kebetulan saja cetakan wajah dia sebelas dua belas dengan Henry Cavill.
Dering ponselku berbunyi, aku melihat layar hape dan terpaku sebentar melihat nama Gavin sebagai pemanggilnya saat ini. Aku pun menunjukkan layar hapeku pada dua bestie yang menatap penuh tanya.
“Lha, ngapain dia telepon tengah hari bolong?” Tanya Risa dengan logat Betawi yang sangat khas.
Aku hanya mengerakkan bahu tanda tak tahu.
“Jawab aja, Mon. Mana tahu sudah putus mereka.” Ucap Gadis dan menertawakan perkataannya sendiri dengan Risa sambil saling mengedipkan mata.
Aku mencebikkan bibir atas sebelum bangkit keluar rumah makan untuk menjawab telepon Gavin dan jauh dari jangkauan dua makhluk penggibah berskala Internasional itu.
“Iya, Vin?”
“Hai, Sha, lagi makan siang ya?”
Basa – basi.
“Iya. Ada apa ya? Tumben telepon jam segini.”
“Enngggg...nggak...itu, lo pulang kantor jam berapa?”
Aku menghela napas sebelum menjawab. Sungguh bekerja dengan Sawung Tedjo tidak bisa berharap pulang on time. Tapi, aku memberikan jawaban yang kalau secara statistik, yah aku lebih sering memang baru bisa pulang jam setengah tujuh malam.
“Makan malam di luar yuk. Sudah lama nih nggak ngobrol.”
Ehhh? Yah memang sudah cukup lama juga sih kita nggak ngobrol kayak dulu. Sejak aku resmi diperbudak Mr. Tedjo lebih tepatnya. Apa itu work life balance? Hah! b***k Sawung Tedjo tidak kenal itu semua. Yang kami tahu hanya kerja, kerja, kerja, tipes.
“Boleh deh, nanti gue kabarin lagi ya kalau bisa kabur jam segitu.”
Kemudian aku teringat kalau Mr. Tedjo akan meeting di luar. Aku pun memantapkan janji dengan Gavin untuk bertemu di sebuah mall jam setengah tujuh. Kebetulan lokasi mall itu nggak begitu jauh dari kantorku.
Aku menduga – duga tentang apa yang akan Gavin katakan nanti malam. Biasanya, jika sedang seperti ini, kemungkinan besar dia dan Tami sedang bertengkar dan Gavin akan meminta perspektifku untuk berdamai dengan kekasihnya. Dan aku yang sudah lama naksir Gavin pun, harus berjiwa besar mendoakan hubungan crush-ku itu dengan kekasihnya agar langgeng jaya.
Kuhela napas sekali lagi sebelum menyiapkan diri menjawab pertanyaan dua bestie yang lebih seringnya sih bisa menebak duluan. Aku pun berjalan gontai kembali ke meja kami dan memperlihatkan senyum pura – pura tegar dan menerima segala ejekan dan saran sesat mereka.
•••