Pagi – pagi, entah ada angin apa di rumahnya, pak Tedjo membawakan kami Ring 1-nya box berisi beberapa Sandwich. Tanpa berkata apa – apa, belio hanya menyuruhku membagikannya pada yang lain. Dan dia tidak menanyakan juga soal pesannya yang semalam belum kubalas sampai saat in—ni.
BARU INGET!
Aku pun langsung membuka pesan dari pak Tedjo semalam. Bahkan ponselku masih dalam keadaan mode pesawat.
Bpk Tedjo DU : BAD STOCK Picky berapa juta yang ditolak bulan lalu dan bulan ini? Urgent!
Bpk Tedjo DU : Dibalas ya, Tisha. Saya tahu kamu masih online.
Kutuntaskan kunyahan Sandwich gigitan pertama dan langsung memberondong masuk ke dalam ruangan pak Tedjo.
“Maaf, Pak, semalam saya kecapekan. Bulan lalu tujuh juta tiga ratus, bulan ini sembilan juta-an.”
“Hm.” Jawabnya tak acuh sambil menyalakan laptop.
Aku pun perlahan mengundurkan diri dari ruangannya. Tanganku sudah membuka pintu ketika pak Tedjo kembali memanggil namaku.
“Duduk.”
Aku pun mengikuti perintahnya dan duduk dengan manis di seberang Baginda Tedjo yang terhormat.
“Makan siang sudah dipesan?”
“Sudah, Pak.”
“Sudah cek ruang meeting?”
Aku menggeleng kecil, kemudian menjawab cepat. “Tapi saya sudah infokan pak Amir kok, Pak. Tadi saya lihat pak Amir bawa – bawa alat pel ke ruang meeting.”
Dia menggerakkan tangannya ke arah pintu, menyuruhku keluar tanpa melihat wajahku.
Syudah biyasaaaaaaa! Kami para b***k Yang Mulia Tedjo sudah imun diperlakukan seperti itu.
Aku pun melanjutkan makan Sandwich yang baru kugigit sekali. Gadis menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan i********: Anita Marra alias calon mantan istri si bos Tedjo. Eh atau sudah mantan ya?
Di postingan Anita Marra, terlihat sedang menyiapkan banyak Sandwich. Otomatis, aku memandangi sisa Sandwich di tanganku dan memperhatikan gambar di layar hape Gadis. Mirip.
“Oh, jangan – jangan ini dari istrinya ya, Dis?” Aku berbisik.
Gadis mengangguk.
“Bisnis barunya Anita Marra, Sandwich buat sarapan. Kayaknya pak Tedjo order banyak buat bantu achievement pertama mantan istrinya.”
“Emang udah fix mantan ya, Dis?”
“Katanya sih gitu, gue baca di berita. Hak asuh Alicia jatuh ke pak Tedjo.”
“Kok cepet, Dis?”
“Gue rasa, dia udah lama deh ajuin cerai tapi publik baru heboh aja.”
“Ah, kemarin – kemarin mereka adem ayem perasaan.”
“Yee, elo kan nggak tahu. Kadang ya, pasangan yang kelihatan damai – damai aja tuh kadang karena memang nggak mau konfliknya jadi drama. Apalagi si istri artess, suaminya pimpinan cabang perusahaan segede DU.”
Risa datang membawa sekantong s**u dari pantry.
Selama kerja di DU, asupan giziku memang jauh lebih membaik. Ada jatah s**u di Chiller yang tersedia di pantry. Bisa minum sepuasnya sampai gumoh. Ada juga stok permen dan cemilan yang bisa diambil di ruangan Reza, atasannya staf di atas. Kadang aku ambil buat stok selama dua minggu. Vitamin pun rutin kami dapatkan tiap hari Senin. Tapi sayangnya, berat badanku stuck nggak bertambah lebih dari lima kilo.
Pak Tedjo keluar dari ruangannya dan bertanya apakah Amido sudah datang.
“Belum, Pak.” Jawab Risa.
“Kalau sudah datang, suruh langsung ke ruangan meeting ya.” Pesannya.
Ia pun kembali masuk ke dalam ruangannya untuk mengambil laptop beserta perintilannya dan berjalan keluar menuju ruang meeting.
Risa mendekat pada aku dan Gadis, berbisik nakal.
“Celananya, tampak bagus dari belakang ya? Hihihih.”
“Idiihh.”
“Risa demen sama b****g duda.” Bisik Gadis, aku memutar mata pada kelakukan mereka berdua.
Ada pesan masuk di hapeku, dari Gavin.
Semangat kerja, Sha!
Hei, apa ini?
Dengan riang gembira, aku memamerkan layar hape pada kedua Bestie yang tentu saja kepo dengan teriakan bahagiaku barusan.
“a***y, beneran putus tuh. Sikat, Mooonnn.” Risa menyenggol bahuku dengan kekuatan Samson.
Aku menutup wajah malu - malu dengan kertas kosong, membuat Gadis mengernyit jijik dan Risa berlagak muntah. Sepenuh hati, aku membalas pesan Gavin dengan ucapan senada. Menyemangatinya juga.
Wajahku tak bisa berhenti senyum meski chat balasan sudah dibaca oleh Gavin dan dia tidak membalasnya lagi. Gadis menunjuk layar laptop dan mengingatkanku akan pekerjaan yang menanti, tapi namanya juga lagi happy. Aku bernyanyi dan menggoyangkan kepala ke kanan dan kiri.
.
.
.
Gavin juga mengajakku makan Seafood deket dari rumah, nanti malam.
Aku hampir nggak bisa berhenti tersenyum meski pak Tedjo sedang berwajah masam karena sepertinya hasil meeting tidak berpihak pada kami. Tapi aku tidak peduli. Yang penting, my crush sedang mendekatiku.
Suasana kantor sudah sepi. Tersisa kami berempat di ruangan ini dan si Mr. Tedjo di ruangannya. Tapi tim sales dan para managernya tidak ada. Aku memutar musik dari laptop, Gadis akan selalu menyanyikan lagu apapun yang kuputar. Genre apa saja, bahasa apa saja, dia bisa.
Nggak ngerti lidahnya terbuat dari apa. Suara Gadis juga yang paling bagus di antara kami berempat jika sedang karaokean. Paling mengerti nada, musik dan bahkan bisa memainkan gitar dan piano. Aku curiga, kalau nggak bekerja di DU, mungkin dia sudah jadi pengamen.
Pekerjaanku hampir selesai, aku melihat jam sudah hampir jam lima sore. Aku bisa kabur kalau pak Tedjo tidak mengendus radar kebahagiaanku yang akan dinner dengan gebetan.
Gadis memutar kursi, dia menepuk jidatnya seolah ada hal yang ia lewatkan dan baru mengingatnya sekarang.
“Tadi pak Tedjo nyuruh lo siapin data apaaaaa gitu, lupa.” Ujarnya dengan mimik wajah sengaja pura – pura lupa.
Aku berdecak, memelototinya. Dia terkekeh usil.
Duh, aku paling ogah bertatap muka dengan pak Tedjo di jam – jam segini. Entah dari mana, kadang dia selalu memiliki ilham untuk menahanku lebih lama di kantor. Ada saja yang tiba – tiba harus aku kerjakan, padahal kadang nggak urgent banget. Kayak memang bahagia aja gitu ada teman lembur selain Amido. Dan perkataan Gadis yang nggak jelas tadi adalah dirinya meledekku agar menghadap Mr. Tedjo dan mengkonfirmasi perintahnya untukku yang dititipkan lewat Gadis. Mungkin saat aku sedang gibah seru di lantai lima tadi dengan Reza. Bahannya, ohya tentu bos kita bersama.
Dan Gadis paling tahu betapa aku benci menemui pak Tedjo di jam pulang seperti ini.
Aku menimbang – nimbang, apakah pura – pura b**o yang biasa kulakukan akan membuat pak Tedjo melupakan perintahnya kali ini?
Pelan – pelan, aku mematikan layar laptop dan membereskan barang – barangku di bawah meja. Kulihat di ruangannya, pak Tedjo sedang telponan. Dengan sangat hati – hati, aku mencangklong tas dan suara pintu ruangan pak Tedjo terbuka, terdengar. Aku memaki dalam hati ketika dia memanggil namaku seolah aku tertangkap basah masuk ke dalam rumah orang tanpa izin.
“Mau kemana, Tisha?”
Aku menegakkan punggung yang sempat membungkuk karena mau kabur beberapa detik lalu. Sebelum jelmaan dementor ini keluar dari ruangannya dan memanggil namaku.
“Pulang dong, Pak. Sudah jam lima.”
“Ikut makan malam dengan saya dan Amido.”
“Lho? Acara apa, Pak?”
“Masuk ke ruangan saya.” Dia hendak berbalik masuk ke dalam ruangannya lagi, kemudian mengatakan sesuatu. “Taro tasnya! Ngebet banget pulang sih.”
Hiiiih!
Tanganku mengepal. Gadis mendekat, melerai kepalan tanganku sambil terkekeh dan menepuk pantatku agar segera masuk ke dalam ruangan pak Tedjo.
Kusiapkan diri dan memasuki ruangan penuh penderitaan itu dengan langkah gontai. Mengetuk pintunya untuk formalitas, siapa tahu dia sedang garuk – garuk area segitiga emas kan nggak enak eike.
“Duduk.”
Aku duduk dengan manis dan menunggunya bicara.
“Ikut makan malam, kita bertemu pak Ikhsan.”
Sebentar.
Pak Ikhsan ini owner Perusahaan kami.
“Gadis dan Risa ikut juga, Pak?”
Aku sangat berharap keduanya ikut, karena bakalan garing banget ngobrol sama doi saja.
“Amido dan kamu saja.”
Errgghh..
“Tapi, dalam rangka apa ya Pak?”
Pak Tedjo menyandarkan punggung ke sandaran kursi, wajahnya santai menghadapku.
“Saya promosikan kamu pindah posisi.”
“T-ttapi, saya nggak dapat pemberitahuan sebelumnya.”
“Jam enam kita berangkat. Kerjain dulu rekap bad stock yang tadi saya minta.”
Apa itu kebebasan bersuara dan berekspresi? Menjadi b***k Mr. Tedjo, segalanya otomatis terenggut dari kami.
Aku mengangguk perlahan dan keluar dari ruangannya untuk kembali BEKERJA.
Batal deh dinner bareng Gavin.
Memang titisan Dementor paling cepat mendeteksi kebahagiaan orang lain dan dalam sekejap, hasrat ingin menghancurkannya begitu besar hingga--BAAAMMM! Hancur lah kebahagiaanku yang hanya bertahan beberapa jam, itu pun baru dalam bentuk imajinasi. Belum jadi realitanya. Tega banget si bos Tedjo. Hiks.
Kuketik pesan pada Gavin, meminta maaf dengan alasan pekerjaan penting yang nggak bisa di-pending.
Gavin : Santai, Shaaa.. Hari Minggu kita jogging yuk! Dijamin kerjaan lo nggak akan intervensi lagi. Kita bisa makan bubur ayam langganan gue. Dijamin enak.
Balasan Gavin sangat menghibur dan membuat suasana hatiku kembali ceria dalam sekejap. Amido mengirimkan pesan padaku.
Amido DU : HAHAHA disuruh ikut makan malam lo ya? Tenang Bro, sebentar lagi kita jadi partner.
Bibirku mencebik ke atas ketika membaca pesan Amido dan menyadari mungkin dia sudah tahu sejak kemarin tapi nggak kasih kisi – kisi pada kami.
Lagipula, aku mau dipromosikan kemana sih? Semua kursi di kantor ini sudah terisi. Kalau pun ada yang kurang personel, paling hanya OB. Masa iya aku akan dijadikan asisten pak Amir?
•••