021 Sayuran liar
Sinar matahari terlihat menyusup di antara celah-celah kayu. Anindira terbangun dari tidur lelapnya tapi Halvir sudah tidak ada bersamanya. Ini adalah kali pertama Anindira bangun sendirian, tanpa Halvir di sampingnya.
Anindira segera bangun dan membuka jendela, membawa semakin banyak sinar matahari yang hangat masuk ke dalam rumah. Udara segar membuat Anindira duduk di kalang jendela dan bersandar dengan nyaman memperhatikan sekeliling ruangan.
Rumah dengan dua bingkai jendela di sisi kanan-kirinya memanjang menghadap ke batang pohon utama. Ada dua buah pintu di depan dan di belakang. Hunian yang sangat luas untuk sebuah rumah pohon. Di dalam terasa kosong karena hanya ada sebuah tempat tidur dan lima kotak peti besar tempat Halvir menyimpan beberapa barang berharga dan juga pakaian.
''Ke mana Kak Halvir meninggalkan aku tanpa berpamitan?'' tanya Anindira, ''Mungkin karena ini di rumah, Tidak perlu takut dengan binatang buas...'' Anindira melanjutkan, ''Tapi tidak apa. Aku masih belum siap karena kejadian semalam.''
Anindira terus bergumam sendirian.
''Kenapa dia melakukan itu?!'' Anindira terus saja bicara sendiri dengan nada frustrasi di ruangan kosong yang hanya ada dirinya. Wajahnya memerah, tersipu malu mengingat kejadian kecupan kilat Halvir semalam, ''Selama ini dia tidak pernah melakukan hal seperti itu...''
‘'Ahh...!!!'' seru Anindira memekik dengan sikap kacau, ''Memalukan, biarkan saja, ayo bersihkan rumah saja!'' seru Anindira kemudian, dia mengalihkan pikirannya dari kejadian semalam.
Anindira yang masih gugup mengingat kejadian semalam terus saja bergumam sambil mencoba melakukan apa yang bisa dilakukannya. Saat Anindira keluar dari rumah kemudian tengok sana tengok sini dia baru menyadari suatu hal yang membuatnya bingung sendiri.
''Gimana caranya turun?!'' tanya Anindira mengeluh frustasi.Panjat memanjat pohon bukan hal baru untuknya. Tapi itu di dunianya sedangkan di dunia ini entah apa yang diserap oleh tanaman-tanaman di sini hingga tumbuh seolah tidak ada batasannya. Hampir semuanya berukuran raksasa. Jarak antar dahan terlalu jauh, sangat tidak mungkin bagi Anindira untuk melompatinya. Tiap dahan utamanya memiliki diameter lebih dari sepuluh meter makanya rumah sebesar itu bisa dengan gagah bertengger di atasnya.
''Dasar bodoh!'' pekik Anindira kesal, ''Kebiasaan di gendong. Sekarang ketika di tinggal sendirian jadi susah. Kalau begini caranya tanpa laki-laki jelas tidak bisa berbuat apa-apa.''
Setelah mondar-mandir mencari cara untuk turun, puas merengek dan mengeluh sendirian.
Akhirnya Anindira menyerah.
Anindira memutuskan untuk membersihkan rumah dengan alat seadanya. Dia mematahkan ranting kecil dari cabang di belakang rumah, untuk menyapu lantai dan membersihkan debu-debu dan juga beberapa sarang laba-laba yang telah terbentuk di sana-sini. Pintu dan jendela di buka semua untuk mengganti udara pengap dan lembab yang sudah lama terkurung di dalam rumah.
Beberapa waktu kemudian terlihat ada asap mengepul dari bawah. Dengan hati-hati Anindira segera melihat ke bawah. Anindira tidak tahu siapa yang ada di bawah karena dari jarak sekitar lima puluh meter tidak mungkin baginya untuk tahu siapa itu, tapi hatinya secara refleks mengatakan kalau itu Halvir.
''KAK HALVIR!'' seru Anindira refleks memanggilnya dengan sangat gembira.
Mendengar suara Anindira memanggilnya, Halvir segera naik ke atas untuk menjemputnya turun.
''Kak, kenapa meninggalkan aku?!''
Anindira tidak sabaran dan langsung mengeluh saat Halvir baru saja menapakkan kaki menghampirinya.
''Aku pergi berburu,'' jawab Halvir sambil menggendong Anindira turun, ''Aku pergi berburu sebentar. Karena di rumahku ada selimut, jadi kau tidak akan terlalu kedinginan jika hanya kutinggalkan selama beberapa jam saja. Lagi pula sekarang masih musim panas,'' ujar Halvir melanjutkan, ''Di desa ini, kau akan aman di rumahku. Tidak akan ada yang berani menerobos masuk di wilayahku.''
''Eum,'' angguk Aninidra menanggapi Halvir, ''Kak, apa kau sangat lapar?'' tanya Anindira, dia tiba-tiba memasang wajah aneh saat melihat hewan buruan Halvir.
''Aku lapar. Tapi, kenapa dengan reaksimu?'' tanya Halvir tetap dengan wajah tanpa ekspresinya, sambil membakar daging hewan buruannya utuh dan memutarnya di atas api, ''Aku juga mengambil beberapa sayuran liar dan buah yang biasa kau makan di hutan. Sudah kubersihkan, makanlah! Kau bilang daun-daunan itu cocok dimakan bersama daging yang berlemak.''
''Eum, terima kasih. Ini untuk sedikit memberi rasa sekaligus mengimbangi asupan sayuran. Aku tidak bisa hanya makan daging saja. Aku butuh sayuran dan buah. Sayuran liar di sini rasanya lebih enak daripada di tempatku, lazimnya aku tidak memakan mereka jika bukan karena terpaksa. Tapi kualitas sayuran liar di sini benar-benar terbaik, aku bahkan bisa mengunyahnya tanpa pendamping apa pun,'' ujar Anindira sambil melahap daun poh-pohan yang di bawa Halvir.
Halvir terkejut mendengar ucapan Anindira, langsung menengok ke arahnya dan memegang tangannya yang baru akan menyuap daun lagi.
''Itu artinya daun-daunan ini bukan yang biasa kau makan?!'' seru Halvir bertanya tapi terdengar seperti menghardik Anindira. Masih dengan memegang tangan Anindira, ''Kau hanya terpaksa memakannya, bukan karena menyukainya?!''
Ucapan Anindira barusan terdengan seolah Anindira tidak punya pilihan, dia memakan makanan karena terpaksa. Seorang *Safir sepertinya, tentu saja hal itu membuat Halvir kesal.
''Lepaskan!'' seru Halvir sambil menghentak tangan Anindira yang masih memegang daun poh-pohan, ''Akan kuberikan apa yang biasa kamu makan. Jangan memakan, makanan yang kau terpaksa memakannya!'' seru Halvir dengan tegas memperingatkan Anindira, ''Aku lebih dari mampu untuk memberimu jika hanya sekedar makanan!''
Halvir jelas menghardik Anindira kali ini. Wajah Halvir menampakkan ekspresi kesal dengan sayuran yang sedang di pegang Anindira.
''Ha?!''
Anindira heran tidak mengerti kenapa Halvir bersikap seperti ini.
''Bukankah aku sudah bilang padamu untuk tidak menahan keinginanmu!' seru Halvir lagi, ''Katakan, akan segera kucarikan untukmu!''
Baru kali ini Anindira melihat Halvir yang dengan sangat jelas menampakkan emosinya. Dengan tetap menahan tangan Anindira, Halvir bersikeras tidak ingin Anindira makan daun itu lagi.
''Huft...'' desah Anindira melihat Halvir yang terlihat emosi hanya pada dedaunan liar yang dipetik sendiri olehnya, ''Baiklah.''
Anindira menyerah dengan sikap Halvir yang tidak mau dianggap tidak memiliki kemampuan memberi makan seorang wanita.
Anindira melepaskan sayuran dari tangannya, meletakkan jari ke mulutnya. Memicingkan matanya, bermaksud menggoda Halvir yang tampak lucu dengan ekspresi kesalnya.
''Anindira!''
Dengan tegas Halvir memperingatkannya.
''Kak,'' panggil Anindira lembut, ''Aku tidak sedang menahan keinginanku. Sungguh. Aku tidak bohong, aku tulus mengatakannya... Kenapa kau hanya mendengar kalimat keluhanku saja. Tapi, tidak malah mengacuhkan kalimat pujianku?... Aku bilang, aku tidak lazim memakannya jika bukan karena terpaksa. Itu betul... Tapi Kak Halvir mengacuhkan pujiannya. Kualitas sayuran liar yang ada di sini adalah yang terbaik, rasanya enak...'' lanjut Anindira menjelaskan dengan wajah membanggakan sayuran di hadapannya, ''Apa kau mengerti?''