Gara-gara Sayuran

1033 Words
022 Gara-gara sayuran Halvir menggelengkan kepala tidak mengerti, wajahnya jelas memperlihatkan ekspresi tidak puas. Anindira menarik nafas dan menghembuskannya dengan sedikit keras, dia tersenyum lagi dan kembali menjelaskan. ''Kak,'' panggil Anindira lembut, ''Sayuran yang biasa aku makan adalah sayuran yang dibudidaya.'' ''Apa itu budi daya?'' tanya Halvir dengan wajah serius. ''Hm...'' Anindira bergumam dengan suara tidak jelas memikirkan sebuah jawaban untuk pertanyaan Halvir, ''Begini... sayuran budi daya adalah beberapa jenis tanaman yang kita tanam sendiri. Kita merawatnya sampai siap waktu panen, kurang lebih seperti itu.'' ''Sepertinya aku tahu itu... beberapa herbifora melakukan hal yang kurang lebih seperti yang kau katakan.'' ''H-her… her?'' tanya Anindira mencoba membeo kata-kata baru dari Halvir. ''Her-bi-fo-ra... '' Halvir mendikte mengajarkan kata baru pada Anindira. ''Jadi diantara kalian ada yang melakukannya juga?!'' seru Anindira penuh semangat.. ''Ya, herbivora melakukannya. Mereka tidak suka berburu, jadi mereka menanam. Dan, kebanyakan tanaman itu digunakan untuk obat, karenanya Hans cukup akrab dengan mereka.'' ''Begitu, jadi lebih banyak digunakan untuk obat daripada di makan...'' ''Tidak juga. Herbifora memakannya, kami tidak.'' Halvir tegas mengoreksi ucapan Anindira. ''Maksudnya?'' tanya Anindira heran. ''Mereka menanamnya karena mereka memang memakannya. Kami akan menukar dengan kulit atau daging, jika kami membutuhkannya untuk obat...'' jawab Halvir menjelaskan. ''Jadi kalian sama sekali tidak makan sayuran?!'' seru Anindira bertanya sekaligus menegaskan. ''Kami akan makan,'' jawab Halvir sambil mengangguk, ''Jika ada yang salah dengan tubuh kami.'' ''Ha, kebiasaan itu tidak baik!'' seru Anindira dengan tegas. Membuat Halvir yang tadinya acuh memutar daging di atas api, sekarang dia serius melihat Anindira, ''Pola makan seperti itu salah!'' seru Anindira lagi, dengan suara lantang, ''Antara daging, sayuran, dan buah semua harus seimbang. Jangan memakan makanan sebagai obat hanya saat kita sakit tapi makan sebelum kita sakit untuk mencegahnya!'' ''Apakah seperti pola makanmu?'' tanya Halvir masih dengan wajah seriusnya. ''Ya,'' jawab Anindira tegas. Anindira yang terbiasa dengan wajah datar atau pun sorot mata tajam Halvir tidak lagi terkejut saat Halvir bersikap serius. Halvir menatap Anindira dengan sangat serius sambil melihat kembali keseluruhan fisik Anindira. ''Kenapa harus begitu?'' tanya Halvir lagi, tapi kali ini dia lebih lembut karena mulai mencoba untuk memahami pola pikir Anindira. Halvir mulai antusias karena semua hal itu berkaitan dengan Anindira. ''Aku sudah bilang tadi, makan untuk mencegah kita sakit!'' seru Anindira tegas menjawab, ''Bukan malah makan hanya ketika kita sudah sakit!'' ''Memakannya kalau kita sakit, tidak masalah kan?'' Kedua makhluk dari dunia yang berbeda ini sama-sama masih belum mengerti tentang pola pikir dan cara hidup masing-masing pihak. Halvir berpikir dari sudut pandangnya sebagai seorang manusia buas yang kuat. Halvir tidak berpikir tentang wanita di dunia ini yang sering sakit, karena sulitnya melihat keberadaan wanita. Karena itu dia tidak ambil pusing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wanita kecuali yang di anggap penting olehnya atau oleh kebanyakan orang di dunia ini. Wanita yang dibesarkan oleh dua tipe manusia buas akan memiliki kondisi tubuh yang berbeda dan hal itu masih belum disadari oleh mereka yang sudah terbiasa hidup di dunia ini dengan cara hidup yang sudah turun-temurun. ''Huft...'' Anindira mendesah panjang, ''Baiklah, aku tidak akan berargumen lebih keras lagi tentang ini. Sudahi saja!'' Anindira masih belum tahu banyak tentang dunia ini karenanya dia tidak mau jika karena argumen seperti ini malah membuat hubungannya dengan Halvir memburuk. Anindira berpikir kalau dia bisa membicarakan tentang hal ini lagi nanti, jika dia sudah tahu lebih banyak. ''Terserah padamu... Tapi, kau tetap suka makan sayuran liar itu bukan?!'' Halvir kembali menegaskannya agar Anindira tidak melakukan hal yang terpaksa dia lakukan. ''Ya. Aku tetap memakannya, untuk menyeimbangkan gizi.'' Anindira tidak tahu kalau Halvir tidak mengerti dengan kata terakhir yang diucapkannya. Tapi, karena Halvir terlalu gengsi, seperti biasa. Anindira suka berkata hal-hal dari dunianya dan kata-kata itu tidak dimengerti oleh Halvir. Tapi, dia malas ingin menanyakannya. Selama dia masih mengerti kalimat yang lain, dia tidak peduli jika hanya satu atau dua kata dari kalimat Anindira yang membuatnya bingung. ''Apa bedanya sayuran liar itu dengan sayuran yang ditanam oleh orang-orangmu?'' tanya Halvir lagi, dia masih ingin berbincang dengan Anindira, ''Kau bilang rasanya berbeda.'' ''Ya... itu karena di tempatku berasal, sayuran liar terasa pahit dan getir, juga meninggalkan bau rumput atau bau tanah yang tajam. Karena hal itu juga, banyak yang meninggalkannya dan tidak lagi mengkonsumsinya,’’ ujar Anindira mendeskripsikan sayuran di hadapannya, ''Lihat itu, seperti bayam dan anting-anting liar!'' seru Anindira menunjuk beberapa tanaman yang ada di sekitarnya, ''Ini juga...'' Anindira menunjukkan seikat daun poh-pohan yang dipetik Halvir untuknya, ''Di kampung-kampung masih banyak yang makan. Tapi, lain halnya dengan orang-orang di kota. Tidak banyak yang tahu tentang sayuran liar ini... Aku dilahirkan dan tumbuh besar di kota, tapi aku juga sering ke pulang kampung. Ibuku dan juga nenekku adalah praktisi kesehatan. Dari didikan mereka, kami sekeluarga sangat suka makan sayuran.'' Anindira berhenti sejenak, dia sedikit mengambil nafas untuk melanjutkan kembali. ''Ini… sayuran liar yang ada di sini… mungkin karena udara yang bersih. Tidak ada polusi dan kualitas air tanah yang masih belum tercemar. Mungkin itu yang membuat rasanya enak, tidak kalah dengan sayuran yang dibudidaya. Aku menikmatinya, sungguh...'' ujar Anindira terus melanjutkan ceramah panjangnya tentang sayuran. ''Apa kau hanya makan sayuran yang ditanam?'' tanya Halvir menyelidik, dia cemas jika cara makannya mengubah pola makan Anindira sebelumnya, ''Bagaimana dengan daging?'' ''Daging yang kau berikan padaku sangat banyak. Porsi sehari yang kau berikan padaku, itu cukup menutup porsi makan daging selama semingggu untukku,'' jawab Anindira sambil tersenyum polos membanggakan kebaikan Halvir padanya. Halvir dan Anindira masih belum menyelesaikan perbincangan mereka, masih dengan wajah Halvir yang memperlihatkan rasa kesalnya, karena harga dirinya terusik gara-gara sayuran liar. ''Kenapa sedikit sekali?'' tanya Halvir, ''Kau memakan daging cukup banyak, itu artinya kau bukan herbivora,'' ujar Halvir mengungkapkan pikirannya, ''Berarti benar kata Hans, klanmu lemah. Ayahmu tidak bisa memberikan cukup daging untuk kau makan…'' Akhirnya Halvir bisa tenang setelah puas mengemukakan pendapatnya, kemudian kembali memutar-mutar daging. Dia tidak sadar kalau sekarang wajah Anindira berubah masam karena kata-katanya berusan. ''Kak, aku marah!'' seru Anindira dengan sorot mata tajam menatap Halvir, ''Aku tidak suka jika ada yang menghina ayahku,'' seru Anindira dengan ekspresi menegang. Matanya sedikit melotot melanjutkan kata-katanya, ''Jangan menghina ayahku! Dia adalah pria terbaik yang mendidik dan membesarkanku. Aku tidak suka jika ada yang menghinanya meskipun itu kau!'' Anindira melanjutkan kata-katanya dengan ekspresi marah dan mata yang menatap lurus ke arah Halvir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD