020 Kebersamaan
''Kak, apa ada yang salah?'' tanya Anindira mengernyitkan dahi, ''Aku hanya bicara dengan mereka, apa itu tidak diperbolehkan?!''
''Tidak ada yang salah dari itu,'' sahut Halvir acuh tapi juga sangat tegas intonasinya, ''Tapi, mereka harus bisa menjatuhkanku dulu!'' tambah Halvir dengan sikap angkuh penuh percaya diri.
''Kenapa harus begitu?!'' seru Anindira heran. Dia tidak memahami maksud kata-kata Halvir, ''Kak, aku tahu kau kuat. Tapi terlalu sombong itu tidak baik!'' tambah Anindira dengan nada tegas.
Memiliki ayah seorang Dosen Psikologi di Universitas ternama dan juga seorang ibu yang menjadi Dokter Bedah, di tambah gaya hidup yang sederhana karena punya kakek dan nenek yang berasal dari kampung. Tentu saja Anindira selalu diajarkan kerendahan hati.
''Kak, sekuat apa pun seseorang. Tidak akan bisa hidup sendirian. Entah kapan, akan ada masanya butuh bantuan orang lain. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita selalu membina hubungan baik dengan sesama. Apalagi mereka semua berasal dari desa yang sama denganmu.''
Gadis remaja belasan tahun dengan percaya diri menasihati Halvir yang usianya hampir setengah abad.
Halvir tersenyum mendengar nasihat panjang Anindira. Baru kali ini seorang wanita yang masih belasan tahun bisa mengatakan hal bijaksana.
''Tentu aku tahu itu. Kau mungkin belum memahaminya tapi dunia ini telah memperlihatkan hal itu berkali-kali. Aku *Safir tapi aku tidak bisa sendirian... sebelum ada kau mungkin iya, tapi sekarang. Aku harus memikirkannya...''
Jawaban panjang Halvir terasa mendalam dan penuh arti tapi Anindira masih belum memahaminya. Apa lagi saat ini dia tidak bisa melihat ekspresi Halvir.
''Kau lebih mirip Ezra dari pada dengan Zia. Meski begitu, aku tetap tidak suka jika kau terlalu ramah dengan pria lain. Kau harus tahu bagaimana menjaga jarak, tidak perduli apakah mereka temnanku atau bukan!''
''Eum...'' angguk Anindira, ''Begini Kak... Belum dua hari sejak aku masuk di desa ini. Kau juga tahu, kalau selain dirimu aku tidak pernah bertemu siapapun sebelumnya sejak masuk ke dunia ini,'' lanjut Anindira ingin mengklarifikasi, karena nalurinya berkata kalau dia harus menjelaskannya, "Kak Hans. Dia adalah satu-satunya orang yang pernah berbicara denganku melalui dirimu, aku bicara dengannya karena dia adalah orang pertama yang kau temui. Sesaat, setelah memasuki desa, makanya aku berasumsi bahwa kau sangat mempercayainya... Apa aku benar?!''
''Ya, kau benar. Tidak seperti kebanyakan orang lain. Entah kenapa aku cocok dengan Hans. Teman, kau bisa menyebutnya begitu. Aku cukup akrab dengannya. Dia orang yang gigih dan bukan orang yang mudah terganggu dengan ucapan orang lain.''
''Aku tidak tahu mengenai Kak Hans. Tapi aku mempercayai penilaianmu. Kau memprkenalkannya padaku karena kau percaya dia baik jadi aku tidak masalah dengan itu. Aku juga melihatnya seperti kakakku. Kalian berdua sepertinya sepantaran.''
''Aku tidak tahu tentang kakakmu. Tapi aku tahu Hans. Aku sepuluh tahun lebih tua dari pada dia.''
''Hm?! Benarkah?!'' seru Anindira tampak terkejut, ''Kalian tampak sepantar bagiku,'' lanjut Anindira, ''Eum... kakakku yang tertua. Dia, dua puluh satu tahun, berapa usiamu?'' tanya Anindira kemudian.
''Kakakmu bahkan jauh lebih muda dari Hans,'' jawab Halvir sambil terkekeh, ''Aku sudah berusia empat puluh lima tahun.''
''Bohong!'' seru Anindira menjawab tidak percaya.
''Dira, aku bukan pembohong!'' seru Halvir terdengar lembut tapi intonasinya tegas terdengar.
''Maaf kak,'' sahut Anindira tulus tapi dia juga dengan berani menegaskan kembali pemikirannya, ''Tapi kenapa aku merasa kau seperti sedang mempermainkan aku?'' tanya Anindira menyelidik, ''Kalau kak Halvir empat puluh lima tahun, dan kak Hans lebih muda sepuluh tahun, berarti kak Hans tiga puluh lima tahun. Apa kalian sedang bermain Black Orchid seperti di film Anaconda?!''
Anindira tidak percaya, dan tetap dengan ingin minta penjelasan. Itu adalah salah satu dari sifat keras kepalanya yang selalu suka mengobservasi. Sifat itu juga di miliki oleh Hans.
''Apa itu ''Black Orchid''?'' tanya Halvir penasaran.
''Obat abadi, yang bisa membuatmu awet muda!'' jawab Anindira ketus.
''Ah, berarti di tempatmu di sebut seperti itu?!'' jawab Halvir santai, dia semakin geli melihat ekspresi Anindira yang malah semakin cemberut karena jengkel.
''Ha, memang benar ada?!''
Anindira sekarang malah sangat antusias tapi sesaat kemudian wajahnya kembali cemberut.
''Ya, walau tidak bisa di sebut abadi. Tapi membuatmu jadi tampak lebih muda dari usia sebenarnya, itu betul...'' jawab Halvir yang semakin tersengih melihat wajah konyol Anindira.
''Kak!'' seru Anindira memanggil dengan ketus, ''Apa aku sebodoh itu?!'' seru Anindira bertanya dengan mata melotot, ''Senang membuatku terlihat bodoh?!''
Anindira kemudian segera keluar dari dekapan Halvir, mengubah posisi jadi berhadap-hadapan sekarang. Padahal, walau seperti itu posisinya, Anindira tetap tidak bisa melihat apapun dalam kegelapan malam.
''Kak, kau senang melihat wajah bodohku?'' tanya Anindira lagi. Bibirnya semakin manyun karena kesal, ''Kau pasti senang, bisa melihat semuanya di kegelapan ini. Terlihat olehmu sekarang, kalau aku sedang kesal!'' seru Anindira dengan nada ketus, dia berekspresi jelek sekali, meluapkan kekesalannya.
''Hahaha...''
Terdengar jelas Halvir yang sedang tertawa meski bukan tawa yang heboh. Tapi itu adalah hal yang sangat jarang akan ditunjukkan oleh Halvir.
''Kak Halvir, kau tertawa?!... Kau jahat, kau mempermainkan aku... Jahat, kau mengerjaiku, hampir saja aku percaa!'' seru Anindira merengek-rengek sambil menggoyang-goyangkan bahu Halvir.
Lagi-lagi wajahnya mendekat ke wajah Halvir, nyaris tidak ada jarak antara wajah mereka, membuat Halvir kehilangan kesabarannya.
CUP
Sebuah ciuman singkat mendarat di bibir Anindira.
Anindira yang sedang merengek tiba-tiba berhenti. Dia mematung dengan wajahnya yang terasa memanas. Anindira merasa heran karena dia senang menerima kecupan Halvir.
Halvir segera memegang kedua bahu Anindira, memutarnya dan membuatnya duduk ke posisi awal.
Halvir takut, jika Anindira terus menatapnya seperti itu, dia bisa kehilangan kendali. Karena gelap, Anindira sama sekali tidak tahu kalau wajah Halvir sekarang seolah mengeluarkan 'asap' dengan kulit memerah bak kepiting rebus.
''Dira!'' panggil Halvir dengan suara yang sangat lembut bergetar di belakang telinga Anindira, ''Aku tidak sedang membodohimu. Usiaku empat puluh lima tahun, dan Hans tiga puluh lima tahun. Itu benar adanya dan bukan mengada-ada!'' seru Halvir menjelaskan, ''Di tempatmu ada ''Black Orchid''. Di sini ada *Amber hijau... Aku tertawa bukan karena sedang membodohi atau mempermainkanmu. Tapi karena melihat ekspresimu. Kau lucu, menggemaskan. Apa yang aneh kalau aku tertawa? Aku senang saat bersamamu. Rasanya nyaman saat bersamamu. Hal itu yang membuatku bisa tertawa lepas,'' ujar Halvir melanjutkan kata-katanya dengan rahang yang masih menempel di bahu Anindira.
Hembusan nafas Halvir terus membelai leher Anindira. Getar suara Halvir membuai telinganya. Tangannya yang kekar terus membekap bahunya dan sebelah tangannya yang lain melingkari perut Anindira.
Kontak fisik romatis itu membuat Aninidira gugup dengan degup debaran jantung yang nyaris membuat nafas Anindira ternegah-engah. Pelukan Halvir membuat tubuhnya seolah membeku. Anindira dalam keadaan sadar tapi jiwanya seakan keluar dari cangkang, pergi entah ke mana?
Dia bisa mendengar Halvir berbicara tapi pikirannya kosong tidak bisa menangkap apa yang sedang di bicarakan oleh Halvir..
Halvir merasa sangat bahagia saat ini, sunyi senyapnya malam membuat degup jantung Anindira yang tidak karuan membuat ruangan yang biasanya sepi sekarang terasa riuh ramai walau hanya bertambah Anindira seorang saja.
Menyadari perubahan sikap Anindira, Halvir tersenyum. Dia kemudian bangun dan melepas pakaiannya. Mengubah dirinya dalam bentuk binatang, kemudian membawa Anindira yang sedang 'terlelap dalam mimpi sadar'nya untuk segera tidur yang sebenarnya.
*****