Perpisahan

1083 Words
028 Perpisahan Halvir yang kecewa menundukkan pandangannya. ''Lagi-lagi, Kak Halvir hanya mendengar yang ingin kakak dengar saja...'' Anindira melihat betapa kasihan pria gagah berwajah tampan yang merasa di tolak di hadapannya. ''Aku bilang, jika ini adalah duniaku...'' Dengan segera Halvir kembali menatap Anindira setelah mendengar ucapan Anindira selanjutnya. ''Di dunia ini... aku sebatang kara. Aku tidak tahu apa pun dan sangat lemah. Suka atau tidak aku pasti akan mengandalkanmu. Saat ini, aku hanya bisa berpikir jika aku membutuhkan kehadiranmu untuk bertahan hidup. Aku belum tahu apakah hal romantis termasuk di dalamnya. Bagaimana... meski seperti itu, apa tidak apa-apa bagimu?'' Anindira menegaskan apa yang dirasakannya. Dengan tulus dia mengungkap perasaan hatinya jujur apa adanya. ''Untuk saat ini, itu cukup...'' Sekali lagi sikap Anindira yang membuat Halvir semakin tidak ingin melepaskannya. Gadis riang yang selalu tenang dan tulus kepadanya. ''Untuk saat ini?!'' seru Anindira menegaskan sambil tersenyum mengangkat alisnya. ''Ya, untuk saat ini.'' Halvir dengan percaya diri menyatakan pengertiannya pada ungkapan perasaan Anindira. ''Baiklah, kita sepakat.'' Anindira merasa tenang dengan Halvir yang mau memahami dan memaklumi dirinya. ''Terima kasih,'' ujar Halvir sambil mengecup kening Anindira, ''Kau sudah jujur padaku.'' Anindira tersenyum manis menanggapi haru biru di hatinya karena kecupan romantis dari cinta pertamanya. ''Sekarang, ayo kita lanjutkan perjalanan kita menuju rumah kepala desa!'' seru Halvir sambil mengangkat Anindira. ''Okay!'' ''Ah,'' pekik Halvir teringat sesuatu. Dia juga sempat menghentikan langkahnya sekejap, ''Dira. Ini mengenai Zia...'' ''Kak Halvir, jangan memancingku!'' seru Anindira menanggapi Halvir dengan nada kesal. ''Bukan begitu, Dira. Aku ingin kau memahaminya, dengarkan aku baik-baik!... Sejak aku membawamu dari *Hutan Larangan. Aku telah bertekad untuk menjadi pasanganmu. Dan, tentang Zia... aku tahu siapa dia. Aku mengenalnya karena dia adalah anak Kepala Desa. Aku mengenalnya sejak dia dilahirkan. Dia seperti keponakanku sendiri, tidak lebih!'' seru Halvir tegas menjelaskannya pada Anindira, ''Kau harus tahu, sejak aku menetapkan bahwa aku akan jadi pasanganmu, aku tidak akan melihat wanita lain!'' seru Halvir melanjutkan menegaskan tanpa berkedip, matanya terus menatap tajam ke arah Anindira. Sekali lagi Halvir mengemukakan perasaan hatinya. Kali ini dengan jelas dia menjelaskan tekad di hatinya yang tentu saja hal itu tetap menggetarkan perasaan hati Anindira. ''Kau akan aku titipkan pada kepala desa. Jadi, jangan lagi merasa kesal dengan Zia! Aku hanya melihatnya sebagai anak Kepala Desa. Keponakanku, tidak lebih!'' ''Eum,'' angguk Anindira menjawab, ''Itu adalah Kak Halvir. lalu bagaimana dengan dia?!'' gumam Anindira di dalam hatinya karena dia tetap saja merasa tidak aman mengingat betapa mempesonanya Halvir di mata wanita terutama bagi Anindira. ''Hanya Eum?!'' seru Halvir bertanya, ''Aku tidak mau kau terbebani pikiran tentang Zia!'' seru Halvir menegaskan kembali, ''Zia memang cantik tapi dia hanya keponakanku. Di mataku hanya ada dirimu, tidak akan ada wanita lain!'' ''Iya baiklah, '' jawab Anindira dengan wajah tersipu malu. Meski masih terasa berat tapi Halvir sedikit merasa tenang setelah mereka berdua saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Halvir merasa yakin jika Anindira dan Zia pasti akan bisa berteman dengan baik. ''Dira,'' panggil Halvir pada Anindira yang sedang berbunga-bunga dalam gendongannya, ''Aku serius, dengan lamaranku. Aku tahu kau belum siap... tapi berikan aku jawaban aku pulang nanti!'' Halvir tegas dengan ucapannya sambil terus melangkah dengan memandang lurus ke depan. ''Kak Halvir!'' pekik Anindira kesal dengan nada seolah ingin menangis, ''Kak Halvir masih memaksakan keinginan Kak Halvir kalau begitu. Aku pikir kita sudah sepakat untuk saling menunggu...'' ''Ya, kita sepakat untuk itu. Dua minggu sampai aku kembali dari Kerajaan Singa.'' ''Itu tidak ada dalam pembicaraan kita tadi!'' ''Makanya aku mempertegas lagi sekarang agar kau tidak salah paham.'' ''Ini tetap saja pemaksaan kehendak!'' ''Tidak, Aku meminta jawabanmu. Di bagian mananya aku memaksakan kehendak?!'' ''Tapi kau pasti menginginkan jawab iya dariku!'' ''Tentu saja, untuk apa aku menginginkan jawaban yang akan membuatku patah hati.'' ''Dasar, kalian Manusia Buas egois!'' ''Itu sudah sifat alami kami,'' jawab Halvir percaya diri. ***** Setelah bicara dari hati ke hati akhirnya mereka berdua telah tiba di tempat tujuan. ''Kepala Desa,'' panggil Halvir memanggil dari bawah setelah menurunkan Anindira dari gendongannya, ''Ini aku Halvir, aku ingin bicara!'' Beberapa saat kemudian seorang pria tampan bertubuh kekar dan juga tinggi turun menghampiri. Dia berambut hitam seperti Halvir dengan bola mata ungu terang menyala berkelip indah. Dia tampak matang dengan tampilan seperti di usia pertengahan tiga puluh tahunan auranyadisekitarnya memperlihatkan ketenangan dan berwibawa. ''Halvir, ada apa?'' tanya pria itu. ''Kepala desa, ini Anindira...'' ujar Halvir sambil menunjukkan Anindira padanya, ''Aku menemukannya di hutan tiga bulan yang lalu. Lau sekarang aku ingin menitipkannya padamu. Kurang lebih sekitar dua minggu. Aku harus pergi ke Kerajaan Singa menyiapkan keperluan untuknya.'' Pria bermata ungu itu melihat Halvir dengan tatapan tajam. Di sisi lain, Anindira terkejut mendengar Halvir memperkenalkan dirinya sebagai kepala desa. ''Akhirnya, kau menetapkan pilihan!'' seru Mischa yang dengan tulus mengucapkan selamat pada Halvir dengan senyum di wajahnya. ''Eum,'' angguk Halvir. ''Dan sekarang, kau tergesa-gesa...'' Halvir tidak menjawab tapi matanya mengiyakan ucapan pria bermata ungu. ''Aku mengerti...'' ujar pria itu menanggapi Halvir. Sesaat kemudian dia menoleh pada Anindira, ''Anindira, itu namamu...'' Anindira mengangguk menjawabnya. ''Aku Mischa, Kepala desa. Seperti yang dikatakan olehnya, kau akan tinggal bersamaku selama dia pergi. Kau sudah mengerti?!'' Anindira kembali mengangguk menjawab ucapan Mischa. ''Jaga dia, aku akan kembali secepatnya!'' seru Halvir tegas menatap Mischa. ''Dasar tidak ramah!'' seru pria itu, ''Aku membiarkanmu karena ini kali pertama kau meminta bantuanku. Setidaknya sering-seringlah menyapaku! Aku tahu kau kuat tapi apa harus kau mengacuhkanku?!'' ''Kepala desa, kau mengeluh sekarang?'' tanya Halvir dengan santainya meski menanggapi kepala desa. ''Ya,'' sahut Mischa tegas sambil memperlihatkan ekspresi kesal, ''Aku mengeluh. Kenapa?!'' ''Kau bukan baru mengenalku setahun dua tahun. Aku akan sangat sedih jika kau juga salah paham denganku...'' Ucapan Halvir bukan hanya di tunjukkan untuk Mischa tapi juga Anindira yang langsung tersentil mendengarnya. Tapi dengan segera dia mengacuhkan hal itu. Dia sedang memikirkan hal yang sedang mengusik rasa penasarannya saat ini. Matanya fokus memandang kepala desa di depannya sampai tidak sadar bahwa kedua pria gagah dan berwibawa di hadapannya sedang memperhatikannya. ''Anindira!'' panggil kepala Desa itu, ''Ada apa?... Ada sesuatu di wajahku yang mengganggumu?'' ''Dira!'' panggil Halvir sambil memegang bahunya membangunkan Anindira yang sedang melamun. ''Hah?!'' seru Anindira terkejut, ''Iya... apa?!'' Anindira gelagapan. Dia kaget dengan guncangan lembut bahunya. ''Ada apa?'' tanya Halvir lagi. ''Kak Halvir berbohong padaku?!'' seru Anindira dengan dahi mengernyit. ''Aku?!... Kapan?!... Dan berbohong soal apa?!'' Halvir heran dengan tuduhan Anindira. ''Kak Halvir bilang Kepala Desa berusia sembilan puluh tujuh tahun?!'' seru Anindira berbisik menjawab Halvir dengan nada memekik. ''Ehm-ehm...'' Kepala Desa berdehem memecah obrolan mereka. Dia mendengar dengan sangat jelas walau Anindira berbisik. ''Halvir tidak berbohong. Aku memang sudah berusia sembilan puluh tujuh tahun.''
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD