027 Pengakuan
Anindira diam. Dia tidak menjawab ucapan Halvir.
Halvir mengangkat Anindira tapi tidak menurunkannya dari gendongan. Dia mengubah posisi Anindira. Mengubahnya dari di gendong bak ayah yang menggendong anak balitanya, sekarang Anindira di dudukkan di atas pamngkuan Halvir yang tiba-tiba duduk bersila di atas hamparan tanah dengan daun kering berserakkan di atasnya.
Anindira segera menundukkan kepalanya. Dia canggung ketika wajah Halvir tiba-tiba ada di hadapannya.
''Dira!'' Halvir menunjukkan ketegasannya saat memanggil Anindira yang berusaha menyembunyikan wajahnya, ''Lihat aku!''
''Tidak hanya kau yang bisa marah,'' ujar Halvir karena Anindira masih tidak menanggapinya, ''Aku juga bisa, kau tahu itu bukan?!''
''Dira. Kau mungkin tidak tahu... Tidak banyak wanita yang bisa bicara denganku sebebas dan sejujur dirimu. Sikapmu yang apa adanya mengemukakan apa yang kau rasakan tanpa kau bungkus hal yang berbelit-belit adalah karaktermu yang aku kagumi. Keberaniamu mengungkapkan kemarahamu padaku pun menjadi suatu hal yang menawan dari dirimu...''
DEG DEG DEG
Degup jantung Anindira justru semakin kencang mendengar rayuan Halvir yang sedang membujuknya.
''Kenapa dia seperti ini? Dia tidak seperti biasanya... apa dia sedang merayu? Apa aku cuma kege-eran sendiri?!''
''Apa aku sedang berbicara sendiri?!''
Beberapa saat menunggu reaksi Anindira. Tapi tetap hening membuatnya tidak sabaran. Halvir mencubit lembut dagu Anindira mengangkatnya perlahan hingga membuat Halvir bisa melihat wajah Anindira yang sedang tersipu.
''Begini lebih baik. Akhirnya aku bisa melihat bola mata hitam yang selalu menatapku saat berbicara. Tatapan tulus penuh keberanian yang tidak ragu melihat langsung bola mataku.''
''Kak Halvir hanya sedang merayuku...'' sahut Anindira dengan nada merajuk.
''Eum,'' angguk Halvir sambil tersenyum, ''Aku memang sedang merayumu.''
''Untuk apa?''
''Jelas untuk membujukmu.''
''Aku tahu itu! Tapi untuk apa membujukku?''
''Dira,'' panggil Halvir sambil membelai lembut pipinya, ''Kita sedang dalam perjalanan menuju rumah kepala desa. Aku akan menitipkanmu padanya. Perjalananku ke Kerajaan Singa tidak sejauh ke *Hutan Larangan. Tapi perjalanan pendek itu akan jadi melelahkan kalau aku selalu merasa cemas.''
''Maafkan aku Kak. Aku jadi besar kepala karena kau terlalu baik. Aku akan berusaha supaya tidak menambah berat beban...''
''Dira bodoh, bukan itu maksudku!'' seru Halvir segera menghardik Anindira.
''Kak, bukan begitu... Maaf, aku mengacau tadi... Aku sudah banyak merepotkanmu. Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Sungguh, aku akan berusaha lebih keras lagi agar tidak semakin membebanimu. Aku akan belajar lebih banyak agar bisa lebih mandiri supaya tidak terus bergantung padamu, ak...''
Halvir menghentikan ucapan Anindira dengan membenturkan dahinya dengan dahi Anindira dengan lembut.
''Diam, atau aku akan menciummu lagi!''
Ucapan Halvir langsung membuat Anindira mengatupkan mulutnya.
''Apa yang beban? Kau sama sekali bukan bebanku. Kebutuhanmu, keperluanmu, adalah tanggung jawabku,'' jawab Halvir sambil terus menatap Anindira, ''Kenapa kau harus takut membuatku repot?! Aku tidak tahu bagaimana duniamu tapi sebaik apa pun kau tahu segala hal tentang dunia ini sekarang atau nanti. Percayalah padaku kalau kau tetap tidak akan bisa sendiri. Karena bahkan aku membutuhkan bantuan.''
''Kak Halvir tindakanmu, ucapanmu, apa kau menyukaiku?''
''Apa masih perlu ditanyakan?!''
''Tentu saja. Aku harus yakin kau sedang mengungkapkan perasaan... cintamu... pada...ku.''
Anindira sedikit terbata-bata di akhir kalimatnya.
''Kau tidak menyadarinya?!''
''Apa?''
Halvir terdiam. Dia hanya menatap Anindira seolah ingin memastikan sesuatu tapi dia juga menjadi ragu.
''Mungkinkah... Apa karena Dira berasal dari dunia lain?! Apakah *Imprint tidak berlaku padanya?! Itu artinya, aku salah mengartikan... Tapi aku yakin jika itu adalah *Imprint sejati...'' Halvir bergumam di dalam hatinya memikirkan apakah tindakannya sudah benar, ''Terserah, apa pun itu! Bagaimana perasaan Dira, itu nanti... tapi perasaanku sudah terlampau jelas. Lagi pula, kalau dia tidak punya perasaan padaku untuk apa dia cemburu pada Zia?!''
''Ya. Aku mencintaimu... Aku menginginkanmu. Karena itu, demi mempersiapkan semua kebutuhan rumah tangga kita. Aku melakukan ini sekarang.''
Kali ini, anindira yang terdiam menatap Halvir dengan wajah memerah. Dia mendengar semua ucapan Halvir tapi pikirannya seolah kosong.
''Aku mengatakan apa yang sedang ingin kau pastikan. Tapi sekarang, justru kau yang diam saja tidak memberiku kejelasan.''
''Maaf...'' jawab Anindira yang terkejut dengan teguran Halvir.
Halvir diam tidak menyahut. Dia menatap Anindira seolah ingin meyakinkan Anindira untuk mengatakan perasaan hatinya tanpa ragu.
Anindira berkedip dengan canggung. Dia seolah memahami apa maksud tatapan Halvir tapi perasaan malu mengganggunya sekarang.
Dengan tenang Halvir tetap diam menunggu Anindira sambil terus menatapnya.
Tentu saja wajah tampan pemuda gagah yang sedang memangku dirinya membuat Anindira malu bukan kepalang. Tapi Halvir tetap keras kepala tidak membiarkan Anindira melarikan diri dengan kelembutannya mendekap Anindira.
''Kak Halvir jahat padaku...'' keluh Anindira pasrah.
''Di mananya aku jahat padamu?'' tanya Halvir dengan sengaja menggoda Anindira, ''Jelaskan agar aku bisa memperbaikinya!''
''Aku merasa malu dengan pengakuanmu barusan. Setidaknya biarkan aku...''
''Tidak. Aku tidak mau... Aku takut.''
''Kak Halvir takut?!''
''Eum,'' angguk Halvir menjawab dengan wajah sendu.
''Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan hingga membuat Kak Halvir takut?''
''Kau akan mematahkan hatiku.''
''Itu tidak mungkin!''
''Bisa saja... buktinya, kau tidak segera menjawabku.''
''Bukan begitu... hanya saja... aku tidak terbiasa dengan hal seperti ini... aku mengerti, tapi masih sulit menerimanya. Di duniaku, gadis seusiaku tidak akan memikirkan hal seperti ini... kami mungkin akan menjalin hubungan tapi bukan untuk hal berat seperti ini. Aku tahu maksudmu. Di duniaku, itu adalah pernikahan. Tapi kami yang masih belasan tahun tidak akan sampai memikirkan hal itu.''
''Jadi kau tidak mau?!''
''Tidak tahu...'' jawab Anindira ragu-ragu.
''Kalau begitu, apa aku salah mengartikan kecemburuanmu pada Zia?''
Anindira terkejut dengan kelugasan Halvir. Dia juga telah mengetahui kalau itu adalah sebuah kecemburuan tapi di katakan secara langsung membuatnya bingung. Betapa inginnya dia menyangkal hal yang sangat memalukan itu.
''Tidakkah itu cukup untuk memprlihatkan perasaanmu atas diriku. Tapi kenapa kau masih ingin melarikan diri dan tidak mau mengakuinya?!''
''Kak Halvir,'' panggil Anindira tegas dengan mata menatao tajam kearahnya, ''Atas sikapmu barusan. Aku wanita mana pun akan merasa kesal.''
''Aku tidak mengerti hal itu... aku sudah bilang padamu kalau kebanyakan wanita tidak bisa mengakrabkan diri padaku.''
''Eum,'' angguk Anindira, ''Makanya, jika ini adalah duniaku aku pasti akan menolakmu.''
Mata Halvir terbelalak mendengar ucapan Anindira. Dadanya seolah di hunjam batu besar hingga membuatnya seperti tidak bisa bernafas.
Anindira ikut terkejut merasakan reaksi Halvir. Anindira yang sedang melihat bola mata Halvir dari jarak yang teramat dekat bisa merasakan betapa kecewanya Halvir.