Pengangum dengan wujud pesaing

1006 Words
019 Pengagum dengan wujud pesaing ''Aku datang tiba-tiba, aku mengerti. Aku akan pergi sekarang tapi aku pasti akan datang lagi,'' ujar pemuda itu dengan penuh percaya diri, ''Halvir, aku pasti bisa mendapat pengakuanmu!'' Pemuda itu pergi setelah mendeklarasikan keinginannnya lalu dengan sopan berpamitan. Pemuda itu pergi meninggalkan mereka, dengan rasa bangga. Halvir menatap tajam punggung remaja nekat itu. Meski tatapannya menegangkan tapi ujung bibir Halvir terlihat melengkung menunjukkan perasaan bangga. Walau samar sorot mata Halvir tampak berbinar. Sebagai seorang dewasa dengan banyak pengalaman. Dia bangga melihat melihat adanya potensi besar dari remaja mentah yang baru saja menantangnya. Tidak jauh dari situ, ada beberapa orang yang tengah memperhatikan. Mereka juga adalah generasi muda yang menganggumi Halvir tapi tidak punya kepercayaan diri untuk muncul tepat di hadapan Halvir. Kecuali remaja muda barusan yang punya keberanian di atas rata-rata walau pun dia hanya seorang Manusia buas berperingkat *Berlian. ''Dia terlalu nekat...'' gumam salah satu dari beberapa orang yang diam-diam memperhatikan apa yang terjadi. ''Beraninya dia menghampiri Halvir yang sedang bersama wanitanya.'' Beberapa orang yang sedang berkumpul juga berada di tepian sungai melihat kejadian itu dengan jelas. Dengan pendengaran mereka yang tajam, mereka bisa mendengar percakapannya meski samar karena jarak yang lumayan jauh tapi tidak tersembunyi. ''Tapi, dia mendahului kita. Padahal dia lebih muda...'' ''Itu benar, aku juga merasa iri padanya.'' ''Kau memujinya, lalu kenapa kau tidak menyusulnya tadi?!'' ''Aku belum siap untuk menghadapi Halvir.'' ''Jadi kau mengakui kalau dia lebih punya nyali dari pada dirimu!'' ''Apa boleh itu memang kenyataannya...'' ''Meski kedahuluan olehnya. Setidaknya, bisa membuatku untuk lebih berani dan berusaha untuk tidak kalah darinya.'' Halvir merupakan salah satu petinggi desa yang sangat dihormati. Bukan hanya sebagai pejuang yang telah mengukir namanya tapi juga sebagai orang dewasa yang cukup baik dalam memberikan pengarahan. * ''Teman kakak?'' tanya Anindira, sambil melanjutkan lagi mengunyah makanannya. ''Siapa?'' jawab Halvir balik bertanya. ''Hmh?!'' Anindira mengernyitkan dahi dengan jawaban Halvir yang tidak jelas, ''Yang barusan?!'' sahut Anindira melanjutkan, dengan mulut yang masih mengunyah makanan. ''Bukan,'' jawab Halvir singkat. ''Bukan?!'' seru Anindira bertanya dengan membeo. ''Tapi aku mengenalnya,'' ujar Halvir datar. Anindira menatap Halvir bingung. ''Dia menyukaimu,'' ujar Halvir lagi dengan santai. ''HA?!'' seru Anindira terpekik kaget, dia sampai menghentikan makan dan menatap Halvir dengan wajah bodoh. ''Dia menghampiriku untuk memberi tahu kalau dia akan mendekatimu,'' ujar Halvir dengan santai menjelaskannya, ''Apa kau juga menyukainya?'' ''Kak!'' panggil Anindira dengan ekspresi kesal, ''Aku tidak tahu dia... Kami baru saja bertemu... Berbicara pun tidak!'' seru Anindira menjawab, kalimat demi kalimat di diktenya sambil bersungut menjawab Halvir, ''Lagi pula dia hanya melihat padamu.'' ''Eum,'' angguk Halvir menjawab Anindira dengan singkat dan acuh, ''Sudah hampir gelap, sebaiknya kita pulang!'' seru Halvir melanjutkan sambil menyunggingkan senyum tanda kemenangan. Halvir membereskan bekas makan mereka, mencuci tangan, kemudian menggendong Anindira membawanya pulang. Sesampainya mereka di rumah, hari sudah gelap dan tidak terlihat apapun. Setelah mengganti seprai dari bulu binatang, yang menutupi jerami, alas tidur mereka yang cukup besar, mendadak menyusut saat mereka berdua duduk di atasnya. Seperti yang biasa mereka lakukan di hari-hari sebelumnya. Anindira akan duduk di pangkuan Halvir membelakanginya, sedang Halvir mendekap Anindira dalam pelukannya. Anindira tidak lagi canggung dengan perhatian yang di berikan Halvir. ''Anindira'' panggil Halvir membuka percakapan pertama mereka di rumahnya. ''Dira, kak!'' jawab Anindira sambil mendongak ke arah Halvir walau dia tidak mampu melihat apa pun saat ini. ''Hmh?!'' sahut Halvir merasa heran karena tidak mengerti maksud Anindira. ''Dira. Itu panggilan kesayanganku di rumah,'' jawab Anindira sambil senyum-senyum sendiri sambil mengelus-elus tangan Halvir yang sedang mendekap bahunya, ''Kakak bisa memanggilku seperti itu!'' lanjut Anindira masih dengan hal yang biasa dilakukannya saat duduk bersama Halvir ketika malam tiba. ''Jadi itu panggilan spesialmu?!'' ''Iya, keluargaku selalu memanggilku seperti itu.'' ''Baiklah,'' sahut Halvir dengan mata berbinar, ''Kau juga ingin aku memanggilmu begitu?!'' tambah Halvir dengan bibir yang melengkung tinggi ke atas. Kalau saja Anindira bisa melihat senyum bahagia Halvir saat ini. ''Tentu!'' seru Anindira menjawab sambil mengangguk dengan semringah. Halvir dan Anindira telah terbiasa melewati waktu hanya berdua seharian begitu juga saat malam hari. Kebersamaan itu jadi lebih ekslusif karena sunyinya malam yang pekat di dalam hutan. ''Dira,'' panggil Halvir lembut, ''Kau bicara banyak dengan Hans. Kau juga memanggilnya kakak sama seperti kau memanggilku,'' lanjutnya lagi, sambil menempelkan dagunya di bahu Anindira. ''Iya?!'' Anindira menjawab tapi dengan nada bertanya, ''Apa ada yang salah?'' tanya Anindira dengan hati-hati, mengingat dia ada di dunia yang berbeda sekarang, ''Kalian berdua terlihat sepantar dengan kakakku.'' Lagi-lagi Anindira bicara menanggapi Halvir dengan mendongak ke arahnya. Anindira tidak tahu kalau wajahnya nyaris menempel dengan wajah Halvir. Yang tentunya adegan itu membuat Halvir terkejut hingga salah tingkah dengan wajah tersipu. Tapi Anindira sama sekali tidak menyadarinya. ''Kau menyukainya?'' Halvir bertanya dengan nada yang menunjukkan kalau dia tidak nyaman. ''Kak?!'' panggil Anindira dengan nada suara keheranan, ''Aku heran denganmu. Untuk hari ini saja kau sudah dua kali menanyakan pertanyaan yang seperti itu. Memangnya kenapa?'' tanya Anindira dengan polosnya. ''Kau bicara dengan sangat mudah pada para pria,'' Halvir menjawab dengan nada kecewa. Anindira sama sekali tidak tahu kalau Halvir memperlihatkan perasaan cemburunya dengan sangat kentara. ''Kak, apa ada yang salah?'' tanya Anindira mengernyitkan dahi, ''Aku hanya bicara dengan mereka, apa itu tidak diperbolehkan?!'' Baik Anindira mau pun Halvir sama-sama tidak mengerti konsep bersosialisasi masing-masing pihak. Di dunia ini wanita selalu menerapkan batasan. Baik pria atau pun wanita akan menjaga jarak aman dalam bersosial. *Imprint hal yang menguntungkan juga sekaligus berbahaya. Ikatan supranatural yang akan mengunci alam bawah sadar tanpa mereka bisa mengendalikannya. Baik pria atau pun wanita, secara naluri menjaga diri mereka agar tidak ter*imprint secara sembarangan. Untuk itu banyak wanita yang akan selalu menunduk jika bicara dengan pria. Para wanita lebih sering mengacuhkan pria yang mencoba bicara dengan mereka jika mereka merasa tidak akan menjalin hubungan dengannya. Tentu saja itu sangat berbeda dengan kultur budaya etika di tempat Anindira dilahirkan. Mereka akan beramah tamah dan saling menyapa meski itu orang asing sekalipun. Dalam aturan ramah tamah tidak tertulis, dari tempat Anindira berasal. Saat dua orang atau lebih berbicara, kemudian salah satu mengalihkan pandangan apa lagi wajah. Jika di lakukan dengan sengaja itu akan di anggap tidak sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD