Halvir akan pergi

1000 Words
023 Halvir akan pergi Reaksi Anindira jelas menunjukkan kalau ucapan Halvir menyinggungnya meski dia tidak tahu di bagian mananya Anindira terusik. ''Dia marah karena aku mengungkit ketidakmampuan ayahnya?!'' pekik Halvir di dalam hatinya sambil menatap Anindira, ''Haruskah aku meminta maaf padanya?!'' Anindira membalas tatapan Halvir masih dengan sorot matanya yang tajam. Dia masih kesal dengan ucapan Halvir mengenai ayahnya. ''Tidak!'' pekik Halvir dalam hatinya setelah berpikir beberapa saat, ''Aku tidak salah, itu adalah kenyataannya.'' Meski dia bersikap keras tapi reaksi tubuhnya tidak sinkron dengan pola pikir otaknya memberitahu hal lain pada Anindira. ''Berlagak galak tapi sorot matamu tampak sedih,'' gumam Anindira di dalam hati, ''Dasar!'' Anindira mendesah melihat Halvir yang terdiam menatapnya. Meski samar, Anindira bisa merasakan bahwa emosi Halvir juga ikut naik turun karena Anindira menghardiknya tadi. ''Dira, hati-hati!'' pekik Anindira di dalam hati memberi peringatan pada dirinya sendiri, ''Bagaimana pun baiknya Halvir padamu. Tidak untuk memancingnya... bagaimana pun kau masih belum memahami konsep dunia ini dengan benar. Cobalah bersabar, jangan gegabah!'' Terbersit juga rasa takut di hatinya, nalurinya memberitahu, kalau dia harus mengalah kalau mau tetap hidup. Dia menghirup nafas kuat, menenangkan degup jantungnya yang mulai naik. Dia berusaha meredakan ketegangan, bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk Halvir. ''Kak,'' panggil Anindira sambil memegang tangan Halvir, ''Duniaku berbeda dengan duniamu. Tapi sama seperti kalian yang menjaga para wanita. Begitu pun para pria di duniaku. Sebagai orang yang di jaga dengan megerahkan seluruh kemampuan tentu aku juga akan memebrikan dukungan terbaik untuknya,'' ujar Anindira mencoba menjelaskan dengan lembut, ''Kekuatan fisik, bukan segalanya di Duniaku.'' Kalimat terakhir Anindira di ucapkan sambil menatap Halvir tajam untuk menunjukkan kalau dia sangat percaya diri saat mengatakannya. ''Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu,'' ujar Anindira kembali melanjutkan sambil menelan ludah karena merasa gugup, ''Tapi, seperti yang telah kamu ketahui. Populasi manusia di duniaku jauh lebih banyak. Berkali-kali lipat dari populasi penduduk yang ada di sini. Bukankah hal itu sudah cukup membuktikan kalau kami tidak lemah seperti dugaan kalian,'' tambah Anindira dengan sedikit senyum di wajahnya menunjukkan kebanggaan atas kaumnya, ''Tapi, itu juga tetap tidak bisa jadi tolak ukur. Jumlah, bukan penentu sebuah kemenangan atau keberhasilan sesuatu... Intinya, ada banyak aspek pertimbangan atas segala sesuatu. Situasi dan kondisi sedikit banyak pasti turut mempengaruhi. Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku tidak begitu pandai dalam menjelaskan sesuatu.'' Anindira menutup penjelasannya dengan menghela nafas panjang karena merasa lega, ternyata dia masih punya kesempatan untuk menjelaskan kenapa dia marah perihal ayahnya tadi. Keduanya kemudian terdiam, larut dengan pikiran mereka masing-masing memikirkan hasil dari pembicaraan mereka. ** Setelah beberapa waktu daging sudah siap untuk dimakan. Halvir merobek bagian paha dan meletakkan di atas daun memberikannya pada Anindira. Tindakan Halvir berhasil memecah keheningan di antara mereka berdua. Meski tidak bicara, kali ini jelas Halvir lebih dulu mengalah. ''Lihat!'' gumam Anindira di dalam hati, ''Dia tetap memberikan bagian daging yang aku sukai. Dia mencabik-cabiknya dulu untuk memudahkanku mencuil daging. Kak Halvir masih memberikan perhatiannya padaku.'' Anindira segera mengambilnya tanpa ragu dengan senyum mengembang di bibirnya karena merasa lega ternyata Halvir tidak marah padanya. Dia merasa ragu karena dia diam saja terakhir Aninidra bicara. Sebagaimana biasa Anindira makan. Dia akan mencubit secuil daging lalu membungkusnya dengan daun kemudian memakannya. ''Ah!'' pekik Anindira saat teringat sesuatu ketika mendengar ringkikkan dua hewan yang tergantung tidak jauh darinya, ''Kak, sejak tadi aku sangat ingin bertanya, apa kau sangat lapar?'' Anindira mulai bicara sambil makan. Dia mulai melupakan keheningan yang terjadi sesaat lalu. Anindira berani bicara lagi setelah merasa kalau Halvir menurunkan ketegangannya dan mulai ramah lagi saat memberikan potongan besar daging bagian paha kepadanya tadi. ''Kenapa?'' Halvir menjawab dengan balik bertanya sambil terus menggigit dan mengunyah daging di tangannya. ''Ada dua macan besar yang kau buru,'' jawab Anindira sambil melirik ke arah kedua hewan tersebut, ''Lalu, keduanya masih dalam keadaan hidup. Mau di apakan, apa mau di pelihara?'' ''Kau ingin memelihara mereka?!'' ''Jangan bercanda, untuk apa aku memelihara dua hewan yang siap menjadikanku makanan setiap ada kesempatan...'' ''Hm,'' Halvir tersengeh mendengar jawaban lugas Anindira. Hal itu yang membuat Halvir akan menyukai Anindira meski tidak ada pengaruh *Imprint, ''Aku kebetulan menemukan mereka,'' jawab Halvir acuh sambil terus menikmati santapan besar di hadapannya, ''Saat sedang memperebutkan betina yang sedang birahi.'' Saat ini yang sedang di makan oleh mereka adalah kambing gunung. Sedangkan dua ekor 'Sabertooth' jantan dibiarkan hidup dengan diikat oleh tali dari kulit kayu. Kedua hewan itu sengaja di gantung untuk melemahkan pergerakannya. ''Lalu?!'' sahut Anindira karena ucapan Halvir tetap tidak menjawab pertanyaannya. ''Aku akan menukarnya dengan beberapa tembikar. Mereka harus tetap segar agar nilai tukarnya tinggi.'' ''Tem-bi-kar... apa itu kak?'' tanya Anindira. Dia tidak mengerti dengan kata itu. ''Aku tidak bisa menunjukkannya padamu karena aku tidak punya barangnya. Kau akan melihatnya setelah aku mendapatkannya nanti. Aku juga akan membuatkanmu baju,'' jawab Halvir dengan mood yang sudah kembali. ''Baju?! Kak Halvir akan menjahit?'' Anindira bertanya dengan sangat antusias. ''Tidak!'' jawab Halvir tegas, ''Aku tidak tahu bagaimana menjahit.'' ''Lalu?'' tanya Anindira mengerutkan dahi sambil memiringkan kepalanya, ''Kak, aku tidak tahu caranya menjahit…'' ujar Anindira melanjutkan dengan wajah memelas. ''Aku tidak menyuruhmu menjahit!'' jawab Halvir dengan dahi yang juga ikut mengerut, ''Aku akan pergi ke Kerajaan Singa, di sana ada banyak Klan Herbifora... Kita akan menyediakan bahan yang akan dijahit, dan upahnya adalah *Amber atau daging atau kulit binatang. Apa saja yang sedang mereka butuhkan…'' lanjut Halvir menjelaskan. ''Oh, begitu...'' seru Anindira menjawab dan kembali tersenyum, ''Berapa lama perjalanan ke Kerajaan Singa?'' tanya Anindira sambil terus menikmati makanannya. ''Enam hari. Pulang dan pergi setidaknya aku butuh dua minggu untuk bisa menyelesaikan semuanya.'' ''Wah, lama juga... Apa sangat jauh?... Apa tidak merepotkan membawaku dan dua ekor harimau besar?!'' ''Aku tidak akan membawamu!'' jawab Halvir tegas. Jawaban Halvir barusan tentu saja mengejutkan Anindira. Anindira langsung berbalik menatap Halvir dan menghentikan aktifitasnya yang sedang makan dengan lahap. Wajah Anindira terlihat seperti akan menangis. DEG Hati Halvir langsung terenyuh melihat reaksi Anindira. ''Dira?!'' ''Kak Halvir, akan meninggalkan aku?! Di sini... sendirian?!'' ''Dira, ada apa? Matamu berkaca-kaca... kau sedih?'' ''Kau menanyakan itu sekarang?!'' .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD