035 Padang Rumput
Anindira dan Zia segera kembali ke rumah bersama Ruvi setelah perbincangan singkat mereka Gavriel. Remaja belia yang pernah menemui Anindira dan Halvir saat makan ikan di sungai.
Tepat saat mereka tiba di rumah makan siang telah terhidang dan siap untuk disantap.
Setelah selesai makan Zia mengajak Anindira ke padang rumput. Kali ini, Ezra pun ikut bersama mereka. Dikawal Koza dengan membawa serta anak-anaknya.
''Uwwahhh!''
Anindira takjub dengan pemandangan padang rumput asri terhampar luas bak lautan tak berujung. Bagai karpet hijau yang di gelar di lereng gunung dengan bordiran bunga indah warna-warni menonjol di sana-sini.
Ratusan. Tidak. Ribuan Kupu-kupu menari-nari berputar-putar menambah semarak.
Sesekali, terlihat burung-burung kecil warna-warni beterbangan di atas kepala. Suara mereka terdengar ramai tapi merdu di telinga. Semakin Anindira melihat, semakin dia hanyut dengan suasana di sekitarnya.
''Bagaimana?!'' tanya Zia, ''Padang rumput ini akan terlihat indah saat musim panas tiba.''
Teguran Zia membangunkan Anindira dari lamunannya. Dia terpesona mengagumi pemandangan menakjubkan di hadapannya.
''Eum,'' angguk Anindira bahkan sampai berkali-kali.
''Indah... sangat indah,'' ujar Anindira dengan senyum lebar mengembang di bibirnya.
Bibirnya bicara dengan senyum dan matanya hampir tak berkedip dengan pemandangan menakjubkan padang bunga luas nan indah dan sangat menakjubkan yang dia tidak bisa melihat ujungnya.
''Aku suka di sini…'' ujar Anindira tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya, ''Aku bahkan ingin tinggal di sini.''
Matanya berbinar-binar, mulutnya terus melengkung menyunggingkan senyum. Bahkan hidungnya seperti bunga di hadapannya ikut mekar mengembang, kembang kempis.
''Hahaha...'' tawa Koza memecah kekaguman Anindira, ''Kau sangat menyukai tempat ini.''
Anindira menjawab Koza dengan anggukkan penuh semangat, membuat mereka kembali tertawa dengan kepolosan Anindira.
''Koza, aku akan duduk di sini bersama Zia dan Anindira,'' ujar Ezra sambil meletakkan bokongnya untuk duduk, ''Kau mainlah bersama anak-anak!''
''Eum,'' jawabnya singkat sambil mengusap kepala Ezra. Dia kemudian pergi ke arah sabana yang lebih luas di depan bersama keempat anaknya, ''Ayo anak-anak, kita bersenang-senang!''
''Anindira, ayo sini duduk!'' ajak Zia sambil menepuk-nepuk tanah beralas rumput di sebelahnya.
''Anindira kau sudah menetapkan pilihan?!'' tanya Ezra membuka pembicaraan.
''Hm?'' tanya Anindira tidak mengerti sambil memiringkan kepala menatap Ezra.
''Halvir,'' ujar Ezra menegaskan maksudnya, ''Menjadikannya pasanganmu...''
''Mungkin...'' jawab Anindira dengan wajah tersipu.
''Itu pilihan bagus,'' sahut Ezra sambil tersenyum, ''Anakku bodoh karena tidak menyukainya.''
''Ibu!'' panggil Zia dengan nada kesal, ''Kenapa bilang begitu?!'' Zia merajuk karena dibilang bodoh oleh ibunya, ''Tapi, Anindira, kau hebat bisa berinteraksi dengan nyaman dengan Jaguar hitam itu. Banyak wanita tidak nyaman ketika berbicara dengannya. Beberapa mengeluh kalau dia tidak ramah karena itu jadi semakin menyeramkan.''
''Bukankah kau juga biasa saja ketika bicara dengannya…'' sahut Anindira.
''Mungkin karena sejak bayi aku sudah mengenalnya. Bagiku, dia sama seperti ayah-ayahku yang lain.''.
''Itu karena dia pintar memilih pria,'' ujar Ezra menyela perbincangan, ''Tidak seperti dirimu!'' seru Ezra sambil mencubit hidung Zia. Sontak saja hal itu membuat mulut Zia manyun.
''Kalau begitu perempuan lain juga bodoh!'' sahut Zia lantang, ''Banyak yang takut dengannya.''
''Bodoh!'' seru Ezra menjitak lembut kepala Zia, ''Mereka bukan takut. Mereka juga menginginkannya. Tapi mereka tidak percaya diri dan Halvir tahu itu. Karenanya, Halvir tidak mengacuhkan mereka.''
''Kak Halvir baik dan menyenangkan. Dia juga sangat perhatian,'' ujar Anindira dengan wajah bangga.
''Hanya kau yang merasa begitu... sedangkan mereka selalu gemetar ketakutan bahkan sebelum Halvir mulai bicara.'' jawab Zia meledek.
''Tidak seperti itu... kau melihatnya dengan cara yang salah. Kau masih terlalu muda, kau tidak tahu apa-apa!'' sahut Ezra kembali menjitak Zia, ''Seorang *Safir seperti Halvir, akan menjadi keuntungan besar dalam sebiah rumah tangga. Tapi masalahnya... mampukan mereka mengatasi Halvir?! Bagaimana jika pasangan berikutnya terlalu lemah?! Bagaimana jika tiba-tiba Halvir bersikap tidak bijaksana karena kemampuannya hingga mengacaukan tatanan rumah tangga?!''
''Apa maksudnya itu?! tanya Zia lantang. Anindira juga menanyakan hal yang sama di dalam hatinya.
''Begini. Maafkan aku Anindira tapi aku juga ingin jika Zia bisa menjadi pasangan Halvir.''
Sontak saja, ucapan Ezra barusan membuat rona wajah Anindira berubah gelap.
''Ezra tersenyum melihat kecemburuan di wajah Anindira.
''Seperti kataku tadi... *Safir di dalam rumah tangga akan sangat menguntungkan. Karenanya aku menginginkannya untuk putriku. Tapi... baik Zia atau Halvir sama-sama tidak melihat satu sama lain dalam hal romantis. Kau bisa tenang sekarang Anindira...'' ujar Ezra sambil tersenyum melirik Anindira.
Anindira jadi merasa malu setelah mendengar pernyataan Ezra.
''Beberapa membuat opini buruk ketika keberanian mereka melamar Halvir mendapat penolakan. Rasa malu membuat mereka memberikan penilaian buruk atas Halvir, karenanya semakin banyak yang merasa takut padanya...'' lanjut Ezra dengan tulus bangga dengan keberanian Anindira.
''Bibi yakin sekali. Bagaimana jika di Kerajaan Singa dia bertemu wanita yang sangat cantik,'' jawab Anindira sambil meletakkan dagu di kedua lututnya yang tertekuk. Posisi itu membuat bibirnya tambah manyun. Membuat Ezra ingin tertawa.
''Aku akui, wanita di kerajaan singa berbeda dengan wanita yang ada di desa-desa kecil. Meskipun begitu, secantik apa pun, Halvir tidak akan berpaling darimu.''
''Itu hanya pemikiran Bibi Ezra. Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan...''
''Kau benar. Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan. Tapi kita tetap bisa mempredikdsinya...''
''Seyakin itu Bibi pada Kak Halvir?!''
''Bukan hanya pada Halvir...''
''Aku tidak punya kelebihan yang bisa membuat seseorang terpaku hanya padaku.''
''Kau merendahkan dirimu sendiri Anindira. Tapi iya, aku juga bukan yakin pada dirimu. Karena seperti yang kau tahu, aku baru dua hari mengenalmu.''
''Lalu?!''
''*Imprint!''
''*Im-m-pr-print?!''
Ezra melihat ekspresi bertanya dari Anindira, ''Halvir... hanya kau yang mengetahuinya?!'' gumm Ezra di dalam hati. Pengucapan Anindira yang terbata juga menegaskan pada Ezra jika Anindira bahkan baru pertama kali mendengarnya.
''Zia kau tahu *Imprint bukan...'' tanya Ezra menguji putrinya.
''Ya. Ikatan perasaan yang mengikat,'' jawab Zia dengan sangat yakin.
''Eum,'' angguk Ezra sambil tersenyum, ''Anindira, Halvir terikat *imprint padamu. Halvir telah menetapkan bahwa kau akan jadi pasangannya. Karena itu, Halvir tidak akan mengubah keputusannya kecuali salah satu dari kalian tiada.''
Mata Anindira terbelalak. Dia sangat terkejut mendengar hal yang menurutnya tidak masuk akal. Tapi pengalaman selama tiga bulan telah membuktikan dunia aneh yang jadi tempatnya berpijak sekarang benar adanya. Tentu saja Anindira pasrah tidak berkutik.
''Bibi, bagaimana bibi tahu kalau itu *Imprint?''
''Aku tidak tahu. Tapi Halvir mengetahuinya. Seharusnya, kau juga menyadarinya...''
''Aku tidak tahu,'' Anindira menyahut tegas dengan polosnya, ''Lalu, bagaimana Kak Halvir bisa mengetahuinya?''
''Pria punya naluri lebih tajam dari kita para wanita. Meski mereka hanya ter*imprint sekali seumur hidup tapi mereka akan segera menyadarinya.''
''Aku tetap tidak bisa mengerti...?''
''Hal itu tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata, Anindira. Kita hanya tahu saat itu terjadi... Anindira, *imprint yang terjadi antara kau dan Halvir adalah *imprint istimewa. *Imprint sejati yang menyerupai *ikatan pasangan. *Imprint yang nyaris tidak bisa di patahkan.''
Ezra menjelaskan dengan lebih detail mengenai *Imprint bukan hanya untuk Anindira tapi juga untuk Zia yang juga hanya mengetahui garis besarnya saja.
''Wah, itu hebat...'' ujar Zia kagum.
''Aku ceritakan sesuatu pada kalian berdua... Pasangan-pasanganku. Kalian tahu, Ruvi. Butuh waktu sepuluh tahun untuknya, supaya bisa mendapat izin dari Mischa untuk jadi pasanganku. Saat itu, Ruvi masih di peringkat *Berlian, sedang Mischa sudah pada peringkat *Amethyst. Sangat langka seseorang dengan peringkat *Berlian berani menantang seorang *Amethyst untuk mendapatkan wanita. Karena hal itulah, aku mulai melirik Ruvi, berapa kali pun dia babak belur dia akan kembali merayuku.''
Ezra bersemangat bercerita mengenai masa lalunya dengan wajahnya berseri-seri.
''Bu, kau senang.''
Zia mencibir Ezra dengan wajah meledek melihat betapa bahagia dia mengenang masa mudanya.
''Kenapa?!'' seru Ezra melirik Zia, ''Kau iri padaku?'' tanya Ezra sambil menaik-turunkan alisnya, menggoda anak perempuannya, ''Itu sebabnya aku selalu memberitahumu untuk mencari pria yang kuat!'' Ezra terus melanjutkan membanggakan diri. Dia malah makin besar kepala dengan keirian Zia.
''Dengar!'' seru Ezra langsung mengubah ekspresinya jadi serius, ''Ada juga hal lain yang harus kalian cermati baik-baik. Yang tadi hanya sisi menyenangkan dari sebuah *Imprint. Kalian juga harus paham pada konsekuensinya!''