034 Gavriel
Zia meminjamkan mantel dan sepatu miliknya. Tubuh Anindira sedikit lebih kecil dari Zia jadi pakaian dan sepatunya cukup untuk dipakai olehnya. Ruvi hanya menggendong Zia, karena tidak pantas bagi Ruvi menggendong Anindira yang wanita milik pria lain. Kecuali terpaksa hal seperti itu tidak di lakukan.
''Anindira, bagaimana jika kita beristirahat dulu sebentar...''
''Hm, kenapa?! Apa paman lelah?''
''Ha?!'' sahut Ruvi terkejutr dengan pertanyaan Anindira, ''Aku lelah... tidak!'' seru Ruvi menggeleng dengan ekspresi bingung.
Anindira memiringkan kepalanya dengan ekpresi bertanya.
''Anindira, aku takut kau lelah makanya aku memintamu untuk istirahat...'' ujar Ruvi memncoba menjelaskan. Dia terkejut sampai malu sendiri saat menyadari kalau Anindira serius dengan pertanyaannya.
''Tidak, aku tidak lelah... ini hal biasa bagiku. Meskipun sudah lama aku tidak melakukannya... itu karena Kak Halvir keras kepala. Dia sama sekali tidak mau dengar saat aku memintanya untuk membiarkan aku berjalan sendiri.''
''Begitu, ya...'' Ruvi menyahut dengan canggung.
Beberapa waktu kemudian mereka sampai di sungai.
''Dia tidak berbohong. Dia berjalan cukup cepat untuk seorang wanita dan dia tidak tampak kelelahan meski kami sudah berjalan selama hampir satu jam...'' gumam Ruvi di dalam hati sambil memperhatikan Anindira, ''Apakah hal itu benar-benar ada hubungannya dengan ucapan Anindira tadi. Sepenting itu Bangun dan mandi pagi?!''
''Anindira, apa semua wanita di desamu sama sepertimu?'' Ruvi penasaran dan ingin tahu lebih jauh.
''Eum...'' Anindira bingung dengan pertanyaan Ruvi, ''Maksudnya?!''
''Maksudku tubuh mereka... fisik. Eum, apa mereka sama kuatnya sepertimu?'' tanya Ruvi polos. Dia dengan serius menanyakannya.
''Kuat?!... Siapa?... Aku?!'' seru Anindira bertanya dengan kaget, ''Tidak paman, tidak begitu... Biasa saja…''
''Tidak!'' seru Ruvi menyanggah tegas, ''Bagiku, kau punya fisik yang lebih kuat di banding kebanyakan wanita.''
''Begitukah?! Entahlah, aku tidak tahu itu...''
''Tidak, menurutku kau berbeda...''
Kerasnya lingkungan kehidupan dunia manusia buas sebetulnya membuat manusia di dunia ini jauh lebih kuat dari manusia di dunia Anindira. Meski pun itu para wanitanya sekali pun. Tapi, sikap posesif para pria yang over protektif terhadap banyak hal yang berkaitan dengan wanita pada akhirnya membuat mereka menjadi manja hingga terlihat lemah seolah tidak bisa melakukan apa pun tanpa adanya pria. Itu jadi sisi negatif dari perlakuan emas yang mereka dapatkan dari para pria. Sulit mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kemampuan yang menunjukkan kalau mereka juga tangguh sebagai seorang wanita.
''Zia bilang, kamu terbiasa bangun pagi.''
''Eum,'' Anindira mengangguk.
''Apa itu tidak melelahkan?''
''Tidak. Tidur cukup, kemudian bangun pagi. Itu bagus untuk kesehatan fisik dan mental,'' jawab Anindira percaya diri dengan wajah bangga.
Ruvi dan Zia sedikit bingung dengan ucapan Anindira, tapi mereka juga seperti terhipnotis dengan beberapa penjelasan Anindira tentang beberapa manfaat lain dari bangun pagi dan juga mandi pagi menggunakan air yang segar.
''Eum... paman, boleh aku mandi?'' tanya Anindira mencoba keberuntungannya setelah menjelaskan beberapa hal, ''Ini sudah siang, air juga tidak akan terlalu dingin,'' lanjut Anindira merayu dengan wajah di buat seimut menugkin.
Ruvi memikirkannya. Dia bingung karena di matanya Anindira itu kuat untuk seorang wanita. Tapi, wanita yang sakit karena kedinginan itu juga kenyataan di dunia manusia buas ini.
''Maaf Anindira, aku tidak bisa mengizinkannya, mengertilah!'' seru Ruvi menjawab dengan ramah, ''Halvir menitipkanmu pada kami untuk menjagamu. Aku tidak boleh lengah. Jadi bersabarlah dan tunggu Halvir kembali!''
Ruvi dengan sabar dan lembut tapi juga tegas menjelaskannya pada Anindira.
''Hufth, '' Anindira mendesah pasrah, ''Baiklah paman, aku paham. Tapi, aku hanya akan mencuci wajahku saja. Tidak apa-apakah seperti itu?''
''Baiklah. Hanya cuci muka saja, tidak mandi!''
Mendapat persetujuan Ruvi, Anindira segera menghampri ke sungai. Dia berkumur-kumur, menggosok-gosok giginya dengan rumput lalu mencuci wajahnya. Dia menyikat rambutnya dengan jari-jari tangan yang dibasahi.
''Kalian tidak mau cuci muka juga?!'' seru Anindira memanggil mereka melambaikan tangan di pinggir sungai, ''Air ini segar sekali... Zia, ini menyenangkan!''
Anindira sangat senang walau hanya mencuci mukanya. Bisa menyegarkan diri setelah sedikit beradu argumen, sudah cukup membuatnya berpuas diri untuk saat ini.
Anindira menyadari kalau dia hanya menumpang dan bergantung hidup pada mereka, dia tidak mau menjadi lebih tidak tahu malu lagi dengan menjadi anak nakal yang tidak tahu diri. Dia meyakinkan dirinya, bahwa dia hanya perlu sedikit bersabar menunggu Halvir pulang.
Melihat Anindira yang sangat senang saat bersentuhan dengan air dan terlihat sangat segar, membuat Zia iri. Dia melangkah maju ingin mencobanya. Tapi, baru memasukkan jari ke air Zia sudah terkejut dengan dinginnya air.
''Aah... Tidak!'' seru Zia segera melompat menjauh dari sungai, ''Itu dingin, Anindira!''
''Hahaha...'' Anindira tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Zia yang masih menampakkan wajah panik.
''Bagaimana kau bisa tahan?'' Zia sangat penasaran karena melihat Anindira begitu menikmatinya.
''Itu karena kau tidak terbiasa,'' ledek Anindira pada Zia, ''Cobalah perlahan-lahan biasakan dirimu. Nanti kau pasti b isa menikmatinya.''
''Anindira kau tidak sedang membohongiku kan?!'' Zia bertanya dengan wajah bersungut, ''Apa benar dengan begini bisa menjaga penampilan kita?!''
''Tentu!'' seru Anindira menjawab dengan yakin, ''Untuk apa aku membohongimu?... Buktinya bisa kau lihat...'' ujar Anindira merentangkan tangan menunjukkan dirinya.
''Baiklah-baiklah...'' ujar Ruvi menengahi perdebatan dua remaja belia di pinggir sungai, ''Apa kalian masih ingin bermain-main?'' tanya Ruvi terkekeh, dia ikut senang melihat dua anak perempuan yang bahagia, ''Sebentar lagi waktunya makan, ayo kita kembali!''
''Baik!'' seru mereka menjawab serempak, masih dengan senyum bahagia tergambar jelas di wajah mereka karena puas bermain air.
''Paman, sambil jalan boleh aku memetik sayuran liar?''
''Sayuran liar?... Untuk apa?''
''Untuk dimakan tentunya,'' jawab Anindira dengan wajah ceria, ''Aku biasa memakannya bersama daging dan Kak Halvir mengizinkannya... dia bahkan membantuku mencari sayuran liar.''
''Tentu!'' seru Ruvi menjawab dengan tersenyum, ''Tidak apa apa, aku tahu ada beberapa klan yang dengan rutin mengkonsumsi sayuran juga.''
''Terima kasih,'' jawab Anindira dengan wajah semringah.
''Ruvi, pagi...''
Tiba tiba terdengar suara seorang pemuda menyapa Ruvi. Dia membawa seekor Rusa di bahunya, jelas terlihat dia baru kembali dari berburu.
''Zia, kau bangun pagi hari ini,'' sapa pemuda itu pada Zia.
''Eum,'' jawab Zia singkat tanpa melihatnya, dia malas menjawab, tapi dia harus, karena etika.
''Jadi, kamu suka makan sayuran?'' tanya remaja muda itu kemudian, dia melirik Anindira, ''Aku Gavriel dari Klan Singa…'' ujarnya lagi memperkenalkan diri, ''Hari ini kau tidak bersama Halvir?'' tanyanya dengan ekspresi ceria.
''Gavriel, Jaga jarakmu!'' seru Ruvi memberi peringatan.
Aura yang di perlihatkan Ruvi berbeda dengan saat dia bicara dengan Anindira dan Zia.
Gavriel mundur beberapa langkah dengan segera, tapi tetap tegap dan menatap Anindira.
''Baik,'' jawab Gavriel tegas, ''Tapi, aku akan tetap bicara dengannya, bolehkan?!'' seru Gavriel bertanya dengan sangat berani tapi tetap sopan. Meski tampak percaya diri, sebagai remaja yang masih belia, dia berusaha keras menahan tekanan intimidasi Ruvi yang seorang Amethyst.
''Selama dua minggu, keluarga Ezra akan jadi wali sementaranya, jadi sebaiknya kau jaga sikap!'' seru Ruvi dengan tegas kembali memperingatkan, ''Sampai Halvir kembali, jangan melakukan tindakan berlebihan, kalau kau tidak ingin berurusan dengan Mischa, apalagi Halvir!''
''Aku tahu,'' ujar Gavriel menjawab, ''Aku juga tidak ingin bermasalah dengan Mischa atau Halvir.’’
Pemuda itu, dia tulus menerima nasihat baik Ruvi.