“A—aku harus …” Iza gugup. Bangun hendak ke kamar mandi tapi diurungkan karena memang tak punya hajat dan malah duduk kembali di kursi. Sementara itu, Azka mengulum senyum. Telinganya masih sangat bagus ketika mendengar ucapan Iza tadi, ditambah rasa gugup. Jelas, Iza masih menyimpan lembaran kenangan indah di masa lalu. “Tadi, aku …” Iza menggaruk tengkuknya ayang terhalang hijab. Rasa gugup masih menyertai sampai tak bisa memandang wajah sang mantan yang terus memperhatikannya dengan gemas. “Gak perlu segugup itu. Aku senang kamu masih mengingat kenangan indah saat kita masih jadi suami istri. Setidaknya rasa benci karena luka yang aku torehkan ke kamu bisa sedikit terkikis.” Azka tersenyum, sementara Iza tersadar. Bunga-bunga yang bermekaran di hatinya mendadak layu dan berguguran.