“Aku? Menikah? Kenapa?!”
Angela bersumpah, ia sudah berusaha mempertahankan sikapnya, namun Sang Raja terus memaksakan kehendak, meski tidak secara frontal, hingga Angela berada di titik ini. Marah. Sangat marah.
“Sebaiknya kau tenangkan dirimu, Putri,” ucap Si Pangeran Mahkota, Noah, adik laki-laki Angela yang dengan tenang menyuapkan sesendok sup ke dalam mulut.
“Jangan ajari aku, Pangeran Noah.” Angela memperingatkan hanya dengan lirikan mata tajam, dan Noah cukup mengerti bagaimana Angela jika wanita itu sedang marah. Jadi, dengan bijak, pemuda enam belas tahun itu menganggukkan kepala dan mundur dari percakapan itu dengan damai sembari mengangkat alis pirangnya tinggi.
“Apa yang kautunggu memangnya, Putri?” lanjut Raja. “Apa yang kaucari dari seorang pria? Nicholas adalah pria yang baik dan memiliki nama baik seantero negeri,” ucap Sang Raja kembali berkata dengan nada persuasif.
“Ditambah kemampuan bela dirinya yang luar biasa─,” celetuk Noah tanpa bisa ditahannya kembali memasukkan dirinya ke dalam percakapan.
“Noah ...,” Angela jelas terlihat tidak setuju dengan apa pun isi kepala Noah saat itu, memicingkan mata padanya, membuat Noah kembali ke keputusan awal pemuda itu, yaitu untuk kembali diam.
“Oke, Putri.” Noah yang malang mengangkat tangannya setara dengan d**a, kemudian meminum air putih dari gelasnya hingga tandas. Kemudian, untuk menghindari kekhilafannya lagi, Noah memutuskan untuk angkat kaki dari tempat itu. “Aku akan pergi ke ruangan Yang Mulia Ratu, memastikan beliau menghabiskan makan siangnya,” ucap Noah dengan senyum penuh arti pada Angela.
Raja hanya member satu anggukan kecil pada Sang Pangeran yang mengerling nakal ke arah Angela yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu pergi dari ruangan makan dan meninggalkan si kakak perempuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Saat Noah melenggang dari ruangan makan itu, Angela hanya mendengus dan menyesap wine-nya setelah menelan potongan steik yang ia kunyah dengan gemas.
Ibunda Angela dan Noah, Yang Mulia Ratu Marry, sedang beristirahat penuh di ruangannya, pascaoperasi transplantasi ginjal. Penyakit gagal ginjal yang diderita wanita itu adalah dampak nyata dari kebiasaannya terlalu keras memaksakan diri untuk memikirkan banyak hal, diperburuk dengan riwayat tekanan darah tinggi yang makin memperparah kondisi kesehatan ginjal wanita yang telah berumur tinggi itu. Di antara kedua anaknya, Pangeran Mahkota-lah yang lebih dekat dengan Yang Mulia Ratu. Ralat, Pangeran Noah-lah yang memang dekat dengan keluarganya, karena Angela tak pernah membiarkan dirinya benar-benar ada di rumah─kastel, dan terbuka kepada Noah ataupun kedua orang tuanya, dan siapa pun di kerajaan itu. Karena itu, Noah selalu merasa memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga kedua orang tuanya, lebih dari siapa pun, termasuk saudara kandungnya sendiri.
“Apa ada pria lain yang kiranya kausukai, Putri?” tanya sang Raja begitu ruangan itu kembali sepi.
Angela menatap mata ayahnya sejenak, kemudian menatap kembali makanan yang tersisa di atas piringnya. Gadis itu terlihat enggan menjawab pertanyaan sang Ayah. Diamnya Angela selama beberapa detik itu membuat pria yang tengah menunggu di hadapannya itu khawatir. Yang pria itu tahu, anak gadisnya ini selalu menjawab pertanyaan dengan cepat, cerdas dan lugas. Mungkin Angela memang bukan gadis ekspresif yang mudah ditebak, tapi Angela juga bukan, jelas sama sekali bukan, gadis pendiam dan pemikir. Reaksi Angela yang membiarkan keheningan memimpin pembicaraan mereka ini membuat Raja menyadari kesalahan yang selama ini ia pikir adalah kebenaran di kepalanya.
Mungkin, Angela, gadisnya yang cerdas dan kuat ini adalah gadis pendiam yang pemikir keras.
Di sisi lain, jauh di dalam kepalanya, Angela memang sedang kebingungan harus menjawab pertanyaan Raja yang sifatnya sangat pribadi itu. Bagi Angela, selain karena ini pertama kalinya Raja mempertanyakan perihal kehidupan pribadinya, mengiyakan pertanyaan itu berarti membawa masalah bagi keluarganya dan keluarga sepupunya, juga meletakkan Neil dalam posisi yang sulit.
Angela menyukai Neil, sangat menyukai pria pirang tampan, tinggi dan atletis itu. Meski begitu, memilih Neil yang adalah pria yang lebih muda beberapa tahun dari Angela, tidak berasal dari kaum bangsawan, calon tentara yang akan pergi berperang, tak berpenghasilan lebih dari setengah yang bisa dihasilkan Nicholas yang mapan dan dewasa, jelas bukanlah sebuah keputusan bijak, mengingat posisi Nicholas yang begitu kuat, terutama di negara mereka. Di sisi lain, jika Angela menjawab tidak, ia akan membohongi dirinya sendiri, ayahnya, dan jika Nicholas benar akan menikahinya, maka ia akan membohongi seluruh dunia. Ia takut, tak ada kesempatan meluruskan kebohongan itu jika ia terlanjur mengucap janji dan Raja takkan mengetahui perasaan Angela yang sesungguhnya pada Neil, berujung pada kandasnya hubungan percintaan mereka.
“Jadi benar ada,” ucap sang Raja setelah menimbang-nimbang ekspresi wajah Angela, “Siapa pria beruntung itu─?”
“─tidak ada.” Angela membuka mulutnya begitu saja, ia bahkan kaget- kalimat itu keluar dengan sangat lancar dari bibirnya. “Tidak ada pria yang kusukai, Yang Mulia. Hanya saja, aku ragu bisa menjalani pernikahan bersama Nick, Rajaku. Aku masih muda dan lagipula bagiku Nicholas sudah kuanggap seperti kakak laki-lakiku sendiri."
Raja menatap keseriusan di mata anak gadisnya. Raja tahu, itu adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Angela. Ia akan selalu memandang semuanya serius untuk menutupi ekpresi lain dari wajahnya.
“Sungguh?”
“Apa wajahku terlihat sedang bercanda, Ayah?”
Raja menahan napas dan mengamati wajah Angela, kemudian melirik ke arah pintu keluar ruangan itu. “Bagaimana dengan Mr. O'Connor, Angela?” Mata hijau sang raja kembali menuntut jawaban ke arah Angela.
Angela menelan salivanya, susah payah ia mempertahankan ekspresi tak ingin diganggu-gugatnya itu. “Neil adalah seorang sahabat, seperti Kojiro. Bagaimanapun, sahabat Pangeran Mars adalah sahabatku juga.”
Raja menutup mata, kemudian mengembuskan napasnya. “Baiklah jika kau berkata demikian.” Pria dengan rambut putihnya yang dipotong rapi itu meletakkan pisau dan garpu yang ia pegang perlahan-lahan di antara piringnya. “Kau bisa masuk. Tidak perlu berdiam diri di depan pintu untuk menunggu kami seperti itu, Mr. O'Connor.”
Waktu seakan berhenti, Angela membatu di tempatnya duduk. Ujung jemari Angela tiba-tiba dingin saat ia mendengar pintu terbuka dan suara langkah sepatu oxford yang khas mengetuk-ketuk lantai, mendekat ke arahnya. Angela berdiri dan membalikkan tubuh menghadap pintu masuk. Dan ketika matanya menangkap seorang pria dengan senyuman lembutnya yang khas itu, seketika saja hati Angela terasa remuk.
Neil O’Connor berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, namun dengan tanpa dibuat-buat, pria itu masih dapat memberikan senyum ramahnya itu pada Sang Raja dan wanita yang telah mengisi hatinya selama beberapa tahun itu, Angela.
“Saya meminta pelayan untuk tidak mengumumkan kedatangan saya, karena saya takut mengganggu. Maaf kedatangan saya yang tiba-tiba dan mengganggu kegiatan Anda sekalian, Yang Mulia Raja, Yang Mulia Putri.”
“Tidak, Mr. O'Connor. Justru akulah yang harusnya menyempatkan waktu untuk mengucapkan terima kasih secara personal padamu, karena kau telah menemani Putri Angela ke pesta Pangeran Mars di Kanada beberapa hari lalu.”
Tepatnya dua hari lalu. Mars, atau lebih masuk akal kita sebut Ibunyalah yang mengadakan pesta ulang tahun anaknya itu di sebuah hotel megah di Ottawa, mengingat Pangeran Mars adalah pria yang tidak menyukai perayaan. Pesta yang sangat jarang diadakan itu membuat Angela terbang dari Zurich ke Kanada dan segala keamanan Sang Putri Raja ditanggung oleh Neil. Dengan kata lain, Neil-lah yang menjadi supir pribadi plus pengawal selama Angela di Kanada.
Kemudian, di pertengahan acara pesta itu, Neil sempat menghilang entah ke mana bersama Mars dan berujung mereka terseret sebuah perampokan di areal parkir. Angela marah pada Neil saat itu. Ia merasa kesal, pria itu pergi tiba-tiba tanpa bicara apapun padanya, bahkan mereka secara tak sengaja terlibat insiden berbahaya. Neil menebus kesalahannya dengan mengantarkan Angela pulang ke Liechtenstein dan menginap beberapa hari di Vaduz sampai kemarahan sang Putri, kekasihnya itu, mereda.
Dan di sinilah ia berdiri.
“Seharusnya kau bilang padaku jika kau akan datang, Neil,” ucap Angela lemah.
“Maafkan kecerobohan saya, Putri. Ponsel saya sudah disita di pintu gerbang kastel dan sampai setengah jalan, saya baru menyadari bahwa saya belum menghubungi Putri untuk membuat janji sebelumnya,” balas Neil dengan nada menyesal dan menatap Angela dengan menurunkan alis tebalnya.
“Oh, tidak masalah, Mr. O'Connor. Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu datang?” tanya sang Raja.
“Vaduz memperlakuakan saya dengan sangat baik, tapi sayangnya, saya harus kembali ke Kanada, Yang Mulia. Menyelesaikan urusan administrasi di Royal Cannadian Navy dan ... beberapa urusan lainnya.” Iris sebiru langit musim panas milik Neil menatap bergantian antara sang Raja dan Putri yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Sebaiknya kita bicara di ruang tamu,” ajak Raja.
“Tidak perlu, Yang Mulia,” sergah Angela segera. Neil menghentikan gerakan matanya dari Raja pada gadis itu. “Ada yang harus saya bicarakan dengan Mr. O'Connor sebelum ia pulang.”
Raja mengamati kedua remaja itu sesaat. Ia menghela napas dengan senyum bijaknya, dan menepuk punggung Neil lalu meninggalkan mereka di sana.
“Kenapa kau datang ke sini?” Angela menahan diri untuk tidak berteriak, sementara matanya memastikan sang Ayah telah pergi cukup jauh. Angela membalikkan badan, berderap menuju ruangannya sendiri, sedangkan Neil mengikuti gadis itu di belakangnya tanpa berucap satu patah kata pun.
“Kau memberiku akses,” ucap Neil setelah lama mereka saling berdiam diri dan terus berjalan. Pemuda itu mengangkat gelang kerajaan yang diberikan Angela untuk menjadi akses masuknya ke tempat yang tak bisa dimasuki orang awam yang mengunjungi kastel. “Dan seperti kataku tadi, aku bermaksud untuk berpamitan padamu, Angel.”
Angela membuka pintu kamarnya keras-keras, lalu langkahnya berhenti di tengah ruangan, membiarkan Neil diam di ambang pintu. “Kau tak seharusnya mendengar semua itu,” ucap gadis itu lirih dan menundukkan kepalanya sembari sesekali menggeleng.
“Tak apa, Angela. Aku mengerti," balas Neil dengan tenang, kepalanya tertunduk, berusaha menyembunyikan emosi dari suaranya.
Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Tidak bergerak dari tempat mereka berdiri. Mereka saling berkomunikasi dengan tatapan matanya saja. Tidak ada suara yang menghantarkan perasaan mereka, tapi rasanya baik Angela dan Neil bisa merasakan rasa sakit dan gundah dalam hati pasangannya. Sesuatu yang mereka tahu, cepat atau lambat akan mereka hadapi saat mengambil konsekuensi untuk menjadi naif dan menjalin hubungan beberapa tahun lalu.
“Mungkin saya harus segera pergi, Putri.”
“Tunggu!” Angela berjalan mendekat ke arah Neil, tapi tidak benar-benar berada dalam jangkauan pria itu. “Kau tidak mengerti, Neil. Aku─”
“Aku mundur, Angela.”
“Maaf?”
“Aku mundur,” ucap Neil dengan suara parau. “Maaf, aku menyerah.”
Hati Angela tercelus ke dalam kegelapan tidak berdasar. Dadanya terasa sesak dan tidak nyaman. Wajahnya rasanya sudah merah, matanya mulai perih. Tapi harga diri Sang Putri Raja yang tinggi melarangnya menangis. Terlebih hanya untuk memohon hati seorang pria, pria yang berasal dari kalangan orang biasa ini.
“T-tapi, Neil─!” Angela tersedak oleh suaranya sendiri. Ia harus bersikeras menelan ludah sebelum kemudian melanjutkan lebih cepat. “Jangan meremehkanku. Aku bisa melakukan sesuatu untuk kita. Bagaimana bisa kau memilih untuk menyerah begitu saja? Kita tahu kau akan menyesalinya nanti dan─”
“Aku tidak ingin membawamu turun bersamaku,” ucap Neil, kini dengan tenang mengangkat wajahnya dan menatap Angela tepat di matanya. “Aku tahu aku akan menyesal meninggalkan seorang wanita yang luar biasa seperti dirimu, Angela. Siapa pun tahu itu. Tapi karena aku mencintaimu, maka aku memutuskan semua ini. Ini juga berat untukku, Angel. Percayalah.”
Rasa sakit yang dihantarkan suara serak Neil membuat Angela diam. Pikiran-pikiran membuat Angela kembali bungkam seribu bahasa. Dalam kepalanya, dua kubu sedang berperang habis-habisan; memikirkan cara untuk membuat Neil bertahan bersamanya, atau menerima kenyataan bahwa Neil merasa tersakiti hanya dengan berada bersamanya lebih lama. Tembok penghalang di antara mereka sungguhlah tebal dan tangguh. Tembok yang terlalu sulit untuk dihancurkan pemuda biasa seperti Neil, dan oh, sungguh betapa egoisnya Angela jika dia terus meminta Neil untuk memanjat tembok itu sendirian hanya demi mendapatkan tempat di sisinya.
Aku tidak ingin membawamu turun bersamaku, adalah sebuah ucapan yang membuat Angela tidak bisa memutuskan apa pun.
“Aku baik-baik saja, jika kau mengkhawatirkanku.”
“Putus dengankku membuatmu baik-baik saja? Apa kau sedang mengejekku?”
Neil tertawa kering mendengarnya, mendengar jawaban-jawaban lugas dan penuh kesombongan tidak berarti milik Angela adalah sebuah hiburan yang unik baginya.
“Karena aku mengerti dirimu, Angel." Neil melangkahkan kakinya memasuki ruangan, beridir di depan Angela yang entah kenapa malah menunduk, sama sekali menolak untuk menemui matanya. Dengan lembut, sebelah tangan Neil meraih wajah Angela menghadapkan wajah elok wanita yang dicintainya itu ke arahnya.
Ah, cantik sekali. Manis sekali. Bagaimana aku bisa meninggalkanmu, Cintaku?
Kiranya Angela membenci apa yang terlihat di mata Neil. Angela dengan cepat melepaskan diri dari Neil dan berjalan ke arah pintu balkon yang tertutup untuk meninggalkan Neil sendiri dengan embusan napas panjangnya yang terdengar lelah. Mata Neil masih mengekori gerak-gerik gadis itu, sosok elok yang membelakangi bias matahari yang memasuki ruangan itu dari pintu balkon secara dramatis.
“Jangan sekali-kali kau berpikir, aku memutuskan semua ini karena Yuri atau siapa pun, Angela. Ini murni, tentang kita berdua.”
Angela membalikkan tubuhnya menatap Neil bersungut-sungut, bahkan pundaknya naik turun seakan gadis itu siap menerjang Neil seperti banteng yang sedang mengamuk. Matanya sudah hampir merah, berkaca-kaca, begitu pun wajah cantiknya sudah memerah karena amarah yang siap meledak di kepalanya. Alisnya tertaut serius dan gadis itu mengeratkan kepalan tangan di kedua sisi tubuhnya.
Yuri, adalah seorang gadis Asia yang manis, adik perempuan dari Kojiro, sahabat laki-laki Angela dan Mars, sepupunya, sejak kecil. Neil bertemu dengan gadis itu di pesta Mars kemarin dan Angela melihat ada ketertarikan aneh di mata Neil pada gadis itu. Dikuasai rasa cemburu, Angela melarang Neil untuk menghubungi gadis itu. Angela bahkan menghapus kontak Yuri dari ponsel Neil, dan Neil pun terlihat tak keberatan dengan hal itu, namun Angela masih merasa meluap-luap tiap bibir Neil menyebut nama Yuri.
“Jangan sebut namanya!” Angela menunjuk wajah Neil.
“Sudah kubilang, jangan mudah cemburu.”
“Coba kau ada di posisiku? Kau melihat gadis itu dengan cara yang aneh sekali!”
“Aku tidak begitu!”
“Andai kau melihat ke arah kaca saat itu.”
“Aku hanya tidak ingin kau berpikir macam-macam dan membenci Yuri saat gadis itu tidak melakukan hal buruk apa pun padamu.” Ucapan Neil seperti berlalu begitu saja dari telinga Angela saat gadis itu terlihat tidak peduli lagi dan berjalan semakin menjauh dari dirinya begitu saja, memaksa Neil untuk melangkah mendekati gadis itu. “Dengarkan aku, Angela!" Matanya masih mengikuti ke mana Angela pergi, Neil membuka kedua tangannya, menyerahkan diri.
Angela menghentakkan kakinya menjauh dari Neil, kemudian membuka pintu balkon ruangan itu. Angin dingin pegunungan segera menyeruak masuk, melingkupi tubuh mereka dengan bisikan dinginnya yang kering. Neil segera melangkahkan kakinya lebih dekat kepada Angela sesraya membuka jasnya. Angela mempunyai kulit yang sensitif terhadap suhu. Terlalu dingin atau terlalu panas, akan menyakiti kulit sewarna salju milik Angela. Neil sangat mengetahui itu dan dia selalu bingung kenapa Angela memiliki kecenderungan untuk menempatkan dirinya dalam bahaya seperti ini setiap gadis itu sedang merasa emosional seperti saat ini.
“Angel ...,” bisik Neil dengan lembut, mencoba meredakan amarah sang kekasih. “Apa yang sedang kaulakukan? Ini terlalu dingin untukmu keluar tanpa memakai jubah atau baju hangat,” ucap pria itu seraya menyelimutkan jas miliknya ke pundak kecil Angela.
“Kenapa harus aku, Neil?”
Neil tidak bisa menjawabnya. Lebih tepatnya, tidak tahu harus menjawab apa. Mata Neil menatap Angela yang naik, terarah pada langit biru terang di atasnya yang begitu jauh, seakan tengah merindukan sesuatu yang tidak bisa Neil lihat. Pemuda itu menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat apa yang sedang dilihat Angela dalam kepala gadis itu sendiri. Yang Neil lihat adalah bagaimana tangan kurus dan putih pucat milik Angela mengeratkan genggamannya pada beranda balkon. Tangan yang ingin sekali ia raup, ia genggam dan cium dengan penuh cinta. Beruntung, Neil berhasil menahan dirinya untuk tidak menyiksa dirinya lebih jauh dengan angan-angan kosong yang akan menyakiti mereka berdua.
“Angel, masuklah. Suhunya terlalu dingin di sini dan kau bisa─”
“Aku tak pernah meminta untuk menjadi seorang putri.” Angela akhirnya menyerah untuk berpura-pura menjadi wanita kuat yang dikagumi semua orang. Gadis itu membiarkan emosinya mengalir begitu saja dengan satu air mata yang menetes dari mata kanannya. “Aku bahkan tak ingin diciptakan menjadi seorang wanita yang selalu dianggap lemah dan tak berguna!” suara Angela pecah. Gadis itu mulai menangis dan menunduk, pundak kurusnya gemetaran. Ia merasakan lututnya lemas, enggan untuk menopang tubuhnya lagi. Angela tidak bisa bertahan, lututnya jatuh ke atas lantai marmer dan ia menutup wajahnya dengan kedua tangan yang tremor.
Neil segera menekuk lututnya, tak ingin menjauh dari sang pemilik hati. Dengan perlahan, dan sangat lembut, mengeratkan pegangan pada jasnya pada tubuh gadis itu. Matanya tertuju pada Angela-nya yang biasanya sangat berapi-api dan selalu membawa senyum kepada orang-orang di sekitarnya, kini merunduk, seperti seekor burung kecil yang tengah terluka. Jiwa Neil sebagai seorang pria, merasa sakit melihat pemandangan itu. Dengan penuh kasih, Neil memeluk tubuh yang terbalut dengan jasnya melingkupi tubuh Angela yang ringkih di atas lantai yang dingin, melindungi kulit dan tubuh dan jiwa gadis itu yang rapuh.
“Mari masuk, Angel. Kau kedinginan.”
“Apa yang harus kulakukan, Neil?” Angela mengangkat wajahnya, meraihkan kedua tangannya menyentuh rahang kuat pria itu, “Aku mencintaimu, aku tak ingin kehilanganmu.”
Otot rahang bawah Neil berkedut, ia dengan keras menutupi rasa kesakitan tersirat di mata birunya, ia tak ingin Angela semakin terluka akibat menatap luka di hatinya yang menganga. Ia harus kuat sebagai seorang pria. Ia sudah bertekat tidak akan membawa gadis cantik ini untuk turun bersamanya. Dia adalah putri raja, gadis itu ditakdirkan untuk hal-hal besar dan megah. Neil tidak bisa terus menjadi pengecut naif yang tidak bisa menjanjikan hidup bahagia bersamanya. Dia bahkan tidak tahu apakah dia bisa pulang hidup-hidup setelah pergi ke medan perang.
Aku juga sangat mencintaimu, Angel. “Maafkan aku, Angel. Tapi ... kita tak bisa meneruskan hubungan ini.” Aku juga tidak ingin kehilangan dirimu.
“Tapi ....”
“Pertama, aku merasa masih sangat kurang pantas untuk bersanding dengan putri kerajaan sepertimu. Kedua, aku akan mengabdikan hidupku pada negaraku dan itu bukan perkara main-main. Orang tuamu jelas takkan setuju, kau terus menjalin hubungan dengan seorang prajurit yang bisa saja mati di medan perang. Ketiga ...," Neil menghangatkan jemari Angela dengan genggamannya. Neil menyerah dan akhirnya membiarkan dirinya menciumi telapak tangan gadis itu dengan lembut, berusaha member Angela, atau dirinya sendiri kekuatan untuk menghadapi perpisahan ini. “Aku terlalu mencintaimu untuk meneruskan hubungan yang tak mungkin ini, Angel.”
“Jangan pergi, kalau begitu, Neil. Kau bisa bekerja, membangun usaha, apa pun, aku akan membantumu!”
Neil menggeleng seraya berkata, “Menjadi seorang prajurit adalah jalanku, Angel. Kau mungkin takkan memahami ini, tapi aku merasa, ini adalah panggilan jiwaku. Seperti Ayahku dulu yang juga seorang veteran perang. Aku tak bisa mundur setelah aku bahkan sudah membuka gerbangnya.”
“Neil ...!” Air mata gadis itu jatuh lebih deras saat Angela menggeleng berkali-kali.
“Angel. Cintaku.” Neil mengusap rahang gadis itu dan memandang mata kehijauan Angela dengan mata biru terangnya. “Percayalah, kau layak mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Dan kau akan berbahagia bersamanya.”
Angela sudah teranjur membiarkan dirinya merasa lemah dengan terus menangisi Neil yang masih berusaha menguatkannya, padahal air mata pria itu kini menggenang dan Neil terlihat kesakitan saat menahannya.
“Aku pergi, Angel. Maafkan aku dan ... terima kasih,” ucap pria itu, masih dengan suara yang lembut meski hampir pecah, mencium kening Angela. Cukup lama seakan ciuman itu berperan untuk menguatkan hati keduanya. Angela dan Neil menutup mata, menyatukan kening ketika ciuman dari Neil terlepas. Mereka menikmati kehangatan terakhir yang bisa diberikan oleh satu sama lain.
Angela hanya bisa menunduk saat Neil berdiri, kemudian melangkah menjauhinya. Ia mendengar langkah sepatu pria itu semakin menjauh seperti melodi dalam mimpi buruk yang terdengar akan sulit untuk dilupakan ketika ia bangun nanti.
Sayangnya, Angela tak sedang bermimpi.
“Neil,” suara parau Angela menghentikan langkah Neil, meski ia tak membalikkan badan dan tetap memunggungi gadis itu. “Datanglah ke acara pertunanganku nanti, bawa aku pergi.”
Pria itu diam, mengeratkan pegangan pada kenop pintu, lalu tanpa menjawab apa pun, Neil melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Angela dengan kedua tangannya sendiri mengeratkan jas Neil di tubuhnya, berusaha mengenyahkan suhu dingin, seakan jas Neil tak sanggup melindunginya dari dingin siang hari itu, atau hari-hari berikutnya, selamanya.