Suku Pastun merupakan suku etnik yang berasal dari orang-orang Iran-Pakistan yang hidup di bagian timur laut Afganistan. Mereka menggunakan bahasa Pashto yang berbeda dengan bahasa Dari yang umum digunakan di Afganistan. Suku ini hidup menyebar ke berbagai negara, bahkan negara besar seperti Jerman atau Kanada, bahkan Rusia. Namun, suku Pashtun yang hidup di daerah konflik Afganistan adalah terbesar kedua setelah suku aslinya di Pakistan.
Mereka memiliki prinsip hidup di jalan kepercayaan mereka yang sangat dipegang erat sebagai panutan hidup para anggota suku ini. Sebutannya adalah Pushtunwali, diikuti secara religius, seiring sejalan dengan ajaran agama Islam yang kental dengan budayanya, mencakup praktik berikut: melmastia (keramahan dan perlindungan bagi setiap tamu); nanawati (hak buronan untuk mencari perlindungan, dan penerimaan tawaran damai yang tak terbantahkan); badal (hak perseteruan darah atau balas dendam); tureh (keberanian); sabat (ketabahan); imandari (kebenaran); 'isteqamat (ketekunan); ghayrat (pertahanan harta benda dan kehormatan); dan namoos (pertahanan wanita).
Suku ini selama beberapa generasi telah bertahan dari perang, tersebar di berbagai penjuru negara. Dan tiap daerah mereka, sesuai dengan prinsip dan kepercayaan mereka, umumnya para lelaki dewasa akan bersikap dan mempersiapkan diri mereka untuk menjadi ksatria pelindung yang hidup di tengah perang. Melindungi keluarga, tetangga, komunitas bahkan negara dari mereka yang zalim.
Dari sebuah sudut desa, beberapa kali terdengar suara besi yang diasah di atas batu. Suara itu sudah terdengar sejak tadi pagi, dan masih terdengar jelas hingga matahari hampir tepat ada di atas kepala. Seorang pria tengah serius mengasah pedangnya. Dia memakai turban untuk melindungi kepala dari sengatan sinar matahari dan pasir guurn yang beterbangan. Jika diamati dari dekat, terlihat dari sela turban itu peluh berjatuhan bersama debu di kulitnya akibat panas yang mendera seluruh daratan itu.
Pria itu melakukan aktivitasnya dalam diam. Ia tahu, sekelompok wanita berjalan melewatinya saat ia bermaksud untuk beristirahat. Ia tahu beberapa wanita itu mencuri pandang ke arahnya, namun mata kehijauan milik sang pria tak tergerak dari senjata di yang tengah ia asah. Pria itu tak boleh menatap mereka, para wanita yang bukan anggota keluarga. Si pria sangat memahami hal itu. Namun, salah satu langkah dari kelompok wanita itu entah bagaimana, menarik perhatiannya. Langkah seorang wanita yang berjalan paling belakang dari mereka.
Rakheem, pria itu, akhirnya mengangkat wajah dan menatap wanita terakhir yang berjalan melewatinya. Mata hitam legam wanita itu pun mengamati Rakheem, mereka bertukar pandang tak lebih dari dua detik, sebelum kemudian dengan sadar diri mereka menunduk, menyembunyikan mata mereka satu sama lain. Rakheem mengenal wanita itu. Dia adalah Lila, seorang pejuang wanita. Namanya terkenal di antara para prajurit karena wanita itu adalah satu-satunya yang bertahan dari keluarga besarnya yang telah meninggal akibat dampak perang dan penyakit. Wanita itu tegar, kuat dan ... cantik.
Tapi tidak, itu tidak menggetarkan hati sang Rakheem.
Rakheem tahu, perasaan seperti itu sama sekali tidak cocok baginya.
"Kakak," panggil seseorang. Suara gadis yang sangat tak asing bagi Rakheem membuatnya segera mengangkat wajah dan menatap seorang gadis yang mengintip dari dalam rumah di balik punggungnya, "Ibu memintaku untuk memanggilmu pulang sebelum makan malam. Ia bilang, ia tak ingin kau melewatkan makan malam lagi."
"Aku mengerti. Tunggulah sebentar, Nameera."
Nameera adalah adik perempuan satu-satunya yang sedarah dengan Rakheem. Ibu mereka telah meninggal saat Rakheem berusia tujuh tahun dan Nameera masih lima tahun. Penyakit paru-paru dan komplikasi lain, penyakit yang banyak diidap oleh kaumnya karena keterbatasan air bersih dan makanan yang sehat, banyak merenggut nyawa kaum Pashtun. Persis seperti yang terjadi di keluarga Lila.
"Kak, kata Ayah, beliau akan menikahkanku segera," ucap Nameera saat Rakheem selesai membereskan senjata dan peralatannya, kemudian berjalan masuk ke arah payon rumah mereka.
Rakheem mengerutkan alis dan berjalan mengekori gadis yang berjalan mendahuluinya ke arah dapur. "Kau? Menikah?" tanyanya heran.
Gadis itu mengangguk dan masih tersenyum lembut, mengingatkan Rakheem pada senyum ibu mereka dulu, meski ibu kandung mereka dulu sangat jarang tersenyum. Nameera menjawab dengan suara tenang, "Ayah Sabeir mendatangi rumah kita tadi. Mereka bilang, keluarga Sabeir ingin menjadi bagian keluarga kita."
Sabeir, Rakheem mengenal pemuda itu dengan baik. Pria itu adalah salah satu penembak hebat yang dimiliki desa. Pria yang memiliki senyum yang lebar, ekspresif, dan kuat. Rakheem tahu, Sabeir memang sesekali mencuri pandang pada adik perempuannya itu dan pria itu akan tersenyum lebar setelah melakukan hal tidak senonoh itu. Rakheem bisa membaca dengan jelas hasrat Sabeir pada Nameera.
"Ayah mengatakan itu padamu?”
Nameera mengangguk sekali.
“Lalu apa jawabanmu? Apa kau mau menikah dengan Sabeir?"
Nameera mendongakkan kepalanya pada Rakheem yang jauh lebih tinggi daripada dirinya, kemudian berkata, "Memang aku punya suara untuk itu?" tanya Nameera membuat Rakheem merenung. "Aku hanya bisa berdoa pada Allah. Bagaimanapun Ayah dan kakaklah yang akan menyetujui pernikahan ini atau tidak. Aku akan dengan senang hati mengikuti keputusan kalian berdua. Aku yakin, kalian akan memberikan keputusan yang terbaik untukku dan hidupku ini."
Rakheem mengeratkan rahangnya, menatap mata kehijauan milik sang adik yang berpendar sedih ketika mengatakan kalimat itu. "Kalau kau tak menginginkan pernikahan itu, maka itu tidak akan terjadi sebelum kau menghendakinya, Adikku."
Nameera menatap Rakheem dengan mimik wajah yang tak terbaca. Gadis itu menunduk, akhirnya, tampak menimbang-nimbang, lalu menggeleng lemah.
"Kenapa?"
"Sabeir ... atau siapa pun itu ... semuanya akan sama saja.”
“Apa maksudnya, sama saja?”
“Mereka, para pria itu,akan melarangku membaca di rumah mereka." Perlahan Nameera
menyatukan kesepuluh jemarinya berselang-seling dalam satu genggaman, sedangkan kepala gadis pendiam itu masih menunduk untuk mengamati jemarinya yang saling tertaut itu. "Sejujurnya,” bisik Nameera pelan, “aku masih ingin belajar banyak hal."
Rakheem, sebagai seorang kakak, merasakan ada sebuah kebanggan pada sosok kecil yang terus menunduk itu. Pria itu kemudian tersenyum seraya berkata, "Maka itu yang akan kau dapatkan, Nameera."
Suku Pashtun hidup dengan tribalisme yang kuat, sekuat mereka mempercayai agama dan pushtunwali. Sistem patriatki mutlak di sana kerap berujung kekerasan pada hak-hak hidup para wanita. Banyak di antara mereka, terutama wanita, yang buta huruf dan tidak cukup berpendidikan. Nameera adalah gadis yang taat dan saleh. Ia menjalani semua aturan suku dan agama mereka dengan baik. Dia tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun, tapi gadis itu percaya bahwa Allah mereka, meminta mereka untuk terus belajar dan menjadi pribadi yang cerdas. Beruntung, Nameera memiliki kakak seperti Rakhheem yang tidak menghalanginya untuk menimba ilmu dan mengerti dirinya meski Nameera tidak pernah mengatakan apa pun kepada kakak laki-lakinya itu.
Rakheem tahu, sejak kecil, Nameera yang malang suka membaca. Sama seperti ibu mereka yang dulu diingat Rakheem. Ibu mereka tidak berasal dari suku Pasthun, melainkan suku lain dari perkotaan. Wanita cantik yang tegas, berwawasan luas dan suka membaca. Dulu di rumahnya di perkotaan, Rakheem masih mengingat bagaimana ibunya memiliki banyak sekali rak-rak buku. Karena itu, Rakheem tidak heran bagaimana Nameera juga menyukai buku-buku dan ilmu pengetahuan. Terkadang, di waktu senggangnya, Rakheem memberi Nameera beberapa buku untuk belajar bahasa Inggris dan beberapa buku yang ia dapatkan sisa kota mati pada saat perjalanan para pria mencari sesuatu yang berharga dari kota-kota mati di sekitar mereka.
Di sisi lain, pun Nameera merasa sangat beruntung keluarganya memiliki ibu angkat yang sejatinya berasal dari luar suku, bahkan luar ras mereka. Yang Rakheem ketahui dari wanita oriental dengan mata kecil dan memiliki kulit seputih awan itu, Nayla, hanyalah nama aslinya, yaitu Wang. Rakheem tidak pernah tahu dari mana Wang berasal atau masa lalu wanita itu. Wang memiliki hubungan dengan Ayah mereka setelah beberapa kali wanita itu dikirim oleh sahabat Ayah mereka sebagai prajurit untuk membantu suku Pashtun bertahan dari serangan searah, baik dari kaum pemberontak yang selalu mencurigai mereka, atau tentara sekutu dan kawan-kawannya yang selalu merasa terancam dengan kehadiran mereka.
Nayla, wanita misterius itu, suatu hari memilih untuk menikah dengan Ayah mereka dan tinggal di sini bersama Rakheem dan merawat Nameera seperti anak-anaknya sendiri. Dari Nayla-lah, Nameera belajar baca, tulis dan beberapa bahasa. Dari sudut pandang Rakheem, Nayla berusaha keras untuk menjadi sosok seorang ibu yang baik bagi mereka di antara neraka yang disediakan oleh perang ini. Atas sepertujuan ayah mereka pula, sang kepala suku, Nayla membuka sebuah sekolah kecil berisi anak-anak dan wanita dan menjadi guru bagi Nameera dan beberapa wanita lain yang ingin bisa membaca. Nameera bahkan lumayan lancar berbahasa Inggris sekarang. Meski awalnya beberapa pria di desa menolak ide untuk membuang-buang waktu mengajari para wanita dan anak-anak belajar, Nayla memasang badan (dan senjata api) untuk memperjuangkan hak mereka. Dan ya, memanglah tidak ada yang bersedia mengubah pendirian wanita itu.
Sedangkan Rakheem, ia memang menguasai beberapa bahasa itu karena beberapa kali ia dan Ayahnya menolong korban perang dari berbagai negara dan Rakheem mempelajari bahasa mereka secara otodidak. Hal lainnya yang membuat Rakheem berusaha keras untuk belajar bahasa itu adalah traumanya di masa kecil.
Aku tidak mau merasa tidak mengerti dan tidak berdaya seperti waktu itu, pikir Rakheem pada dirinya sendiri setiap kali dia merasa kesal mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya.
"Kak, tapi Ayah sepertinya memang akan menolak lamaran itu."
"Hm, kenapa kau berpikir demikian?" Rakheem mengerutkan alis tak mengerti.
"Dia bilang, sebelum anak gadisnya, ia ingin anak pertamanya yang menikah dulu."
Rakheem terdiam seketika, membiarkan Nameera memasuki pintu dapur dan melakukan tugasnya di sana.
Dirinya?
Menikah?
Ini adalah kali pertama Rakheem memikirkan hal itu seumur hidupnya. Usianya memanglah tidak muda lagi dan para pria sebayanya memang sudah banyak yang beranak-istri. Namun, hal itu bukan hal yang mudah untuk diputuskan begitu saja oleh pria seperti Rakheem. Setidaknya, tidak saat ini.
Meski Rakheem berulang kali memastikan dirinya sendiri seperti itu, tapi kenapa ada bayangan Lila saat membayangkan sebuah pernikahan?