Chapter 4

3406 Words
Seorang pria tengah berlarian di antara puing-puing dengan menenteng senapan laras panjang. Keringat membasahi seluruh tubuh akibat adrenlin yang menaikkan tekanan aliran darah yang makin terpacu kencang. Panas terik matahari yang seakan hanya berjarak sejengkal dari kepalanya rasanya membakar pria itu ke mana pun ia berdiri, tanpa mengenal ampun. Kotoran dan debu seakan telah menyatu di kulitnya yang kecokelatan. Ia tersengal-sengal, sudah tidak peduli jika pasir memasuki mulutnya yang terbuka, sedang berusaha meraup udara sebanyak yang ia bisa. Dengan setengah membantingkan tubuh, si pria menyandarkan punggung lebarnya di balik reruntuhan di sekeliling tempatnya berada. Ia menguatkan pegangannya pada senapan dan membiarkan pundaknya naik turun. Bebatan kain dengan pola yang khas menutupi hampir seluruh kepalanya, hanya menyisakan sebagian alis dan matanya saja. Setelah menunggu beberapa lama, pria itu kemudian menutup mata. Napasnya mulai stabil. Alisnya yang hitam tebal mengerut seakan menahan kesakitan dalam mimpi buruk yang ia lihat ketika ia menutup mata. Para tentara itu. Tak cukup dengan hanya melemparkan pandangan mengintimidasi, para tentara dari negara asing itu kadang-kadang juga menyakiti kaum dari desa tempat Rakheem tinggal tanpa alasan yang jelas. Orang-orang itu dengan tidak tahu dirinya mereka menyama-ratakan orang-orang yang tidak berdosa dengan para pemberontak. Rakheem, sebagai salah satu pemimpin pasukan yang cukup terpandang di daerahnya, tidak bisa begitu saja berdiam diri saat orang-orang tidak bersalah mendapatkan perlakuan yang semena-mena dan kejam. Kali ini tentara Inggris, batin Rakheem setelah ia mengingat seragam para tentara gila yang dia temui beberapa saat tadi. Raksasa berkulit pucat itu memperkosa para wanita, kemudian membunuh seorang gadis Pashtun yang melarikan diri dari rumahnya karena mendapat perlakuan buruk dari orang tuanya. Rentetan kejadian itu berawal tadi pagi, bahkan saat sebelum mentari memamerkan sinarnya. Desa tengah dilanda bencana kekeringan, seperti pertengahan tahun sebelumnya. Bencana itu bukanlah hal yang baru di tempat ini. Bahkan sejatinya, mereka sudah beradaptasi dan melakukan banyak hal untuk bisa tetap bertahan hidup ketika masa paceklik seperti ini datang. Warga desa sudah mengeringkan beberapa bahan pangan untuk dijadikan cadangan makanan. Mereka yang memiliki hewan ternak biasanya akan mengumpulkan lebih banyak pakan untuk dikeringkan dan akan mengumpulkannya lagi ketika waktu mereka pergi keluar desa untuk mencari sumber air. Umumnya, para pria ditugaskan untuk mengambil air di sungai beberapa mil dari desa saat matahari mulai turun dan biasanya akan kembali sebelum matahari terbit. Namun, waktu itu matahari sudah cukup tinggi ketika Sabeir memergoki seorang gadis yang berlari keluar desa dengan membawa tong air. Pagi itu, kebetulan Sabeir yang menjaga perbatasan daerah desa, tentu Sabeir melarang gadis itu untuk berjalan keluar, karena memang mereka tak pernah mengizinkan para wanita keluar rumah. Terlebih di siang hari, saat serangan dari luar bisa terjadi kapan pun. Tentang gadis itu, Sabeir mengenalnya. Anak gadis dari seorang pria sering bertengkar dengan sahabatnya, Rakheem, karena pria itu sangat mudah terpancing emosi dengan nafsu besar untuk melakukan kekerasan yang menyalahi kode etik mereka. Pria itu terkenal sebagai pria yang kasar sejak meninggalnya sang istri akibat tertembak saat melindungi anak gadis mereka, gadis yang sedang gemetaran di hadapan Sabeir itu. Gadis itu bilang, ia harus mencari air dan tak berani membangunkan sang Ayah yang masih tertidur. Sabeir tahu gadis itu kiranya sedang berbohong. Meski wajah gadis itu ditutup cadar dan ia terus menunduk, Sabeir bisa melihat luka penuh lebam di wajahnya dan ia terlihat sangat ketakutan, bahkan menangis saat Sabeir terlihat takkan mengizinkannya keluar. Sabeir kemudian menawarkan diri untuk mengambilkan air untuknya dan menyuruhnya kembali pulang, namun gadis itu malah terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya dan memohon-mohon pada Sabeir untuk mengizinkannya pergi sendiri. Dan dengan tanpa persetujuan dari siapa pun, Sabeir memberi gadis itu izin untuk melewati perbatasan desa dan pergi ke arah kota mati di dekat desa untuk mencapai sungai. Ketika Rakheem datang untuk bergabung dengan pasukan penjaga perbatasan, barulah Sabeir melaporkan perihal kepergian si gadis, dan itu segera saja mengganggu pikiran Rakheem, karena gadis itu tak kunjung kembali setelah lewat waktu beberapa lama. Tak lama kemudian, Rakheem memutuskan untuk pergi mengecek, memastikan gadis itu baik-baik saja. Sabeir mengikutinya karena ia merasa bertanggung jawab atas kepergian gadis itu dari desa. Di pinggiran kota mati, di situlah Rakheem dan Sabeir berhenti mencari. Di situlah, mereka melihat para tentara Inggris melakukan tindakan kejam itu. Mereka, beberapa pria berkulit pucat, tinggi besar dengan bendera negara Inggris terjahit rapi di seragam tentara mereka, menyakiti dan m*****i kemurnian seorang gadis dari kaum Pasthun. Gadis yang tadinya bermaksud untuk mencari tempat untuk menemukan ketenangan ketika rumahnya adalah sebuah neraka karena keberadaan sang Ayah yang kejam dan terus memukuli kepalanya, malah terjun ke dalam neraka dunia. Rakheem mencoba menahan amarah ketika ia melihat gadis malang itu disakiti di depan matanya. Dan itu hanya bekerja paling lama dua detik sebelum akhirnya Rakheem mengangkat pedangnya yang besar dan melengkung ke atas seperti bulan sabit, menyerang para tentara itu dengan sabetan pedang dan bogeman pukulannya, mengirim para tentara itu ke neraka yang sesungguhnya. Kondisi Sabeir pun tak jauh beda dari rekannya, Rakheem. Amarah dan rasa bersalah yang mendalam rasanya membakar hingga inti jiwa pria itu. Sabeir mengangkat senjatanya, senapan laras panjang, mulai menembaki para tentara sisanya, memberi dukungan pada Rakheem dengan terus menghabiskan peluru demi melubangi tubuh pria-pria berkulit pucat itu. Tak ayal, teriakan, suara pukulan, deru suara tembak, dan peluru berjatuhan di tanah melatari pertarungan mereka. Di luar sepengetahuan Rakheem dan Sabeir, jumlah tentara itu lebih banyak dari yang mereka kira. Rakheem dan Sabeir kehabisan amunisi dan mereka cukup berkepala dingin untuk sadar bahwa mereka kalah jumlah, meneruskan pertarungan itu hanya akan menjadi misi bunuh diri bagi keduanya, jadi mereka berdua memutuskan lari, menjauh sejauh mungkin dari desa agar tak membuat keributan di sana, berlari lebih masuk ke arah kota mati itu. Rakheem dan Sabeir memutuskan untuk menghadapi para tentara itu sendiri, sedikit demi sedikit. Dari sudut pandang para tentara yang tak lebih dari dua puluh orang itu, pun mereka tidak bisa bersantai meski mereka menang jumlah. Tiap detik mereka lewati dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan saat mereka masuk semakin ke dalam jantung kota mati. Puing-puing dan bangunan yang sudah hancur di sekitar mereka seakan menyembunyikan monster-monster yang akan meneror habis mereka satu-persatu. Ya, mereka baru menyadari, jumlah mereka kian berkurang seiring semakin masuknya mereka dalam jantung kota, bak tengah memasuki sebuah perangkap. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada rekan-rekan merek yang menghilang dan apa yang menanti mereka di depan sana. Tentu saja, Rakheem yang bertanggung jawab atas berkurangnya jumlah para tentara itu. Ia yang sudah menghafal letak bangunan di kota mati yang luasnya sekitar tiga kali lipat dari desanya itu, lebih dari dia menghafal garis kasar di telapak tangannya sendiri. Dia bersembunyi di balik puing-puing, menunggu dengan sabar, mendekati tentara yang berada paling belakang, membungkamnya, kemudian mematahkan lehernya dengan gerakan cepat. Sedangkan Sabeir menjarah amunisi dan pistol para tentara korban Rakheem. "Kita kehilangan satu orang lagi!" seru tentara yang berada paling belakang. "Cukup!" ucap salah satu pria yang paling senior di antara mereka, yang merangkap sebagai komandan tidak resmi kelompok itu. "Para pemberontak sialan itu di sekitar kita. Jangan berpencar lagi! Berkumpul! Pasang mata ke sekitar baik-baik!" Para tentara itu membentuk lingkaran dan menjaga kuda-kuda mereka dengan senjata mereka dalam posisi siap menembak. Mereka merasakan napas mereka sendiri sembari berusaha fokus membidik ke arah pandang di hadapan mata mereka. Rakheem melepaskan senapan laras panjang yang ia cangklong di punggungnya. Senapan milik salah satu tentara yang dibunuhnya tadi. Ia menyandarkan punggung di sebuah puing yang cukup besar untuk menutupi tubuhnya dari para tentara yang berada tak lebih dari tujuh meter di depan sana. Merasa telah cukup menghimpun tenaga dan memastikan Sabeir sudah bersiap di bagian atas bangunan pertokoan megah yang kini tak lebih baik daripada reruntuhan lainnya, Rakheem melongokkan kepalanya ke samping puing, melirik dengan was-was. Seketika itu juga Rakheem dihujani tembakan yang membuat dinding yang dia gunakan sebagai pelindung hampir bolong di sana-sini. "Pria itu di sana!" "Semuanya siaga!!" "Masih ada satu orang lagi!" "Tetap di posisi kalian!" Seru-seruan para tentara terdengar kencang. Udara terasa berat dan mereka semua yang ada di sana tahu betul para tentara itu sedang berusaha keras untuk tidak panik dengan kehadiran monster yang baru saja mengintip mereka dari persembunyiannya. Dengan reflekssnya yang sudah terlatih di medan perang selama bertahun-tahun, Rakheem selamat dari penembakan itu dan berhasil bersembunyi di tempat yang lebih aman lagi. Dia mengeratkan rahang, dan kembali menempelkan punggungnya pada permukaan dinding reruntuhan lain. Rakheem menatap langit dengan mata kehijauannya yang solid. Menggumamkan sesuatu dalam bibirnya. Kami bertempur karena percaya. Kami mati dalam kepercayaan. Kami orang-orang yang percaya. "Bismillah," gumamnya pada langit biru. Dengan menenteng senapannya, Rakheem keluar dari persembunyian itu dan dengan gagah berani menembaki para tentara yang semakin ketakutan itu. Para tentara panik, beberapa di antara mereka segera jatuh dari pertahanannya, beberapa yang lain berusaha membidik pria besar yang dengan gesit kembali bersembunyi di balik puing-puing lalu muncul lagi dengan melongokkan tubuhnya ke samping dan menembaki mereka berulang-ulang. Satu tembakan dari jarak jauh hampir mengakhiri Rakheem, jika pria itu tidak menyadarinya di detik-detik terakhir. Rakheem awalnya tidak menyadari ada seorang tentara sniper, yang berada di salah satu bangunan tinggi tak jauh dari tempat mereka berada. Sosok yang sedari tadi bersembunyi itu, kini berhasil menembak dan melukai lengan kiri Rakheem, membuat pria itu harus berdesis kesakitan dan kembali ke balik tembok pertahanannya. Di sisi lain yang menyedihlkan, posisi solid para tentara kini berceceran, jumlah mereka kini kurang dari sepuluh, termasuk sang komandan. Mereka tak membuat lingkaran untuk menodongkan senjatanya ke segala penjuru lagi sekarang, mereka berjalan mengendap-endap ke arah tembok persembunyian Rakheem. Terdengar bunyi tembakan lainnya. Suara tembakan itu berasal dari atas, para tentara itu secara refleks menekuk kaki mereka dan menundukkan kepala dengan mata melirik ke atas, mencari asal tembakan itu; apakah berasal dari kawan mereka yang berhasil menembak si Monster, atau musuh. Tak terlihat apa pun, awalnya. Hingga kemudian terdengar suara berdebam tak jauh dari mereka. Mereka sudah cukup lama berada di medan perang hingga dengan hanya suaranya saja, mereka bisa memastikan bahwa adalah suara sebuah tubuh yang terjatuh dari ketinggian dan menabrak reruntuhan di bawahnya. Para tentara berusaha mencari tubuh yang terjatuh itu sampai beberapa di antara mereka menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangan, hingga beberapa di antaranya menemukan sebuah tubuh tak bergerak yang terlekuk dengan posisi tidak wajar. Sayangnya, itu adalah rekan sniper mereka. Sosok yang tadi berhasil melukai si monster. Tapi sebatas itu saja, karena bak mendapat hukuman dari langit, orang itu sudah tidak bisa menyakiti siapa pun lagi untuk selamanya. Di sebuah tempat tinggi lainnya, Sabeir tersenyum puas dengan hasil kerjanya yang sukses besar. Mengambil lesempatan dalam kekacauan itu, Sabeir menemukan posisi sniper yang tadi menembak Rakheem, dan berhasil menembaknya. Rakheem pun menatap mayat si sniper itu dan tersenyum tipis untuk rekannya, Sabeir, yang berhasil menemukan posisi musuh dan membalaskan kesakitan di lengannya yang kini berdarah hebat. Sabeir beringsut mundur, menuruni tangga rapuh dan melewati puing-puing untuk turun dari gedung dan bergabung bersama Rakheem di bawah. Iris cokelat Sabeir membelalak saat ia sampai di daratan dan bersembunyi tak jauh dari tempat Rakheem berada. Rakheem kini tengah menyobek kain bajunya untuk mengikat lengannya yang berdarah hebat. Dan gedung tinggi, satu blok di belakang Rakheem, Sabeir melihat seorang tentara sniper lain sedang membidik Rakheem yang masih sibuk dengan lukanya. Rakheem tak menyadari keberadaan sniper itu karena pandangannya sibuk melirik ke arah ke beberapa tentara yang tengah mendekatinya dari balik tembok dan menekannya dengan tembakan-tembakan yang akan menghancurkan tembok di punggung Rakheem. "Rakheem!!!" seru Sabeir dengan ngeri dan berusaha secepat mungkin membidikkan senjatanya ke sniper itu. Sebuah tembakan terdengar nyaring, rasanya, lebih dari tembakan atau seru-seruan lainnya. Tentara sniper itu gagal menembakkan satu peluru pun akibat lubang di kepalanya yang menganga. Seperti tentara sniper yang pertama, mayatnya terjatuh dari lantai dua puing bangunan itu menghantam tanah dengan keras menyebabkan bunyi debuman yang menghentikan tembakan dari beberapa rekan tentaranya yang tadi menyudutkan Rakheem. Rakheem membulatkan mata menatap mayat sniper yang hampir berhasil membunuhnya itu. Ia mengambil napas banyak dari mulutnya, lalu kepalanya mengikuti jejak dari mana sniper itu tertembak. Di gedung tempat Sabeir tadi menembak, di lantai satu, tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah sosok bersembunyi dalam kegelapan bayangan gedung. Sosok kecil yang terbalut kain, merupa bayangan. "Lila ...?" Rakheem memicingkan matanya. "Rakheem!!" Teriakan Sabeir menyadarkan Rakheem di mana posisinya sekarang. Ia berbalik pada Sabeir yang tengah sibuk baku tembak dengan salah seorang tentara yang membuatnya tak dapat menyelamatkan Rakheem. Rakheem menolehkan kepalanya pada Lila dan gadis itu juga tengah membantu Sabeir menembak hingga beberapa tentara roboh akibat tembakan Lila yang tak diduga oleh mereka. Rakheem mengisi kembali amunisi senapannya. Ia menarik napas, memandang langit yang mulai berpendar kemerahan akibat sinar matahari yang berpulang ke horizon. Di bagian atas langit yang sudah gelap, para bintang berkerlap-kerlip indah padanya. Sangat cantik. Rakheem selalu jatuh cinta dan merasa tenang tiap ia memandang bintang-bintang itu. Itu memberinya kekuatan. Rakheem keluar dari persembunyiannya, menghalau nyeri luar biasa di lengannya yang mengucurkan darah, ia berlari mendekati puing terdekat dengan musuh, menembaki mereka, menjadikan dirinya sebagai tameng di depan Sabeir dan Lila. Ia terus maju dan menembak, memukul wajah dan perut beberapa tentara yang berhasil ia dekati. Serangan itu dimanfaatkan beberapa tentara untuk menembaknya. Rakheem berguling menghindari tembakan, berlindung di puing, kemudian menembaki para tentara itu. Ia keluar dari persembunyiannya dan beringsut mendekati tentara itu, menghajar mereka, mematahkan tangan yang bermaksud menembak Sabeir dan Lila di belakangnya. Hingga tentara terakhir dari kelompok itu jatuh di bawah pedang Rakheem yang menurunkan pandangannya tanpa menunduk. Membalas tatapan sinis yang biasa dilemparkan para tentara itu padanya. Sinar kemerahan matahari yang terbias di mata kehijauan Rakheem yang dingin itu berkilat, bak mata binatang buas yang bersiap menghabisi mangsanya. "Dasar monster!!" cemooh tentara yang jatuh bersimpuh darah itu meludahi kaki Rakheem dengan liur penuh darah. "دوزخ زموږ لپاره انتظار دی.*" Rakheem meletakkan ujung pedangnya di leher tentara itu, "Meet me in the hell." Rakheem menebas leher sang tentara terakhir, sang komandan yang masih jelas di ingatan Rakheem, pria yang sama dengan yang memperkosa gadis malang itu. Setelah menyelesaikan yang terakhir, Rakheem memandang mayat di sekitarnya, merekamnya dalam ingatan agar ia terus merasakan apa yang terpatri kuat dalam dirinya, sebelum akhirnya meninggalkan mayat-mayat itu setelah Sabeir dan Lila menjarah perlengkapan perang dan senjata mereka. *** Matahari telah benar-benar menghilang dari langit saat Rakheem menggendong mayat gadis malang itu di punggungnya. Mereka bertiga kembali ke pinggiran kota mati bersama-sama dalam diam. Begitu sampai di tempat di mana mayat si gadis itu berada, mayat itu masih tergeletak di sana, seperti sebuah bayangan di mata Rakheem, bayangan hidup yang meminta pertanggungjawaban atas nasib malang yang menimpanya. Rakheem meminta Lila untuk membungkus tubuh telanjang si gadis dengan menggunakan turban, baju dan rompinya sebelum ia membawa mayat gadis itu di punggungnya. Sabeir pun menyumbangkan rompinya untuk membantu Lila menutupi tubuh mayat itu. Mata Sabeir bahkan mengatakan, jika perlu, ia bersedia memberikan nyawanya untuk mengulang kejadian tadi pagi, dan apa pun yang gadis malang itu katakan, ia takkan membiarkan gadis itu keluar dari desa. Mata Sabeir yang seperti itu membuat Rakheem semakin menikmati keheningan di antara mereka. Begitu mereka sampai desa, Lila segera berpisah dengan mereka dan kembali ke rumahnya sendiri. Gadis itu memang hobi menyelinap keluar desa dengan membawa senjata. Rakheem akan meminta ibunya untuk bicara dengan gadis itu agar ia menghentikan hobinya yang berbahaya itu. Ayah dari mayat gadis yang malang itu menangis dan memeluk tubuh kaku anaknya. Ia mengusap-usap rambut si anak yang sudah tidak bernyawa itu seraya terus mengucapkan kata maaf. Sabeir meminta maaf pada Ayah gadis itu karena dirinyalah yang mengizinkan sang gadis pergi. Namun seakan tak mendengarnya, pria itu terus menangis dan mengusap-usap wajah pucat si gadis yang telah tak bernyawa itu dan masih meminta maaf tanpa henti dengan berlinang air mata. Rakheem dan para pria lainnya membantu pemakaman si gadis malang itu. Wajah sang pemimpin pasukan desa itu terus diam kaku, tak menunjukkan ekspresi apa pun selain pandangan mata kosong. Hingga ia kembali pulang ke rumahnya, Rakheem menghindari kontak dengan siapa pun dan menyendiri di bagian samping rumahnya, di mana ia biasa tidur di atas tumpukan jerami bersama kambing peliharaan tetangganya. Saat itu, Rakheem teringat akan perkataan Ayahnya kemarin saat mereka merembukkan perihal lamaran yang dilakukan keluarga Sabeir pada Nameera. "Aku ingin kau menikah sebelum Nameera, Rakheem. Umurmu sudah terlalu cukup untuk itu. Kau akan kusediakan tanah untuk keluargamu. Bangunlah sebuah rumah di atas tanah itu untuk keluargamu nanti. Kau tahu, suku kecil kita butuh penerus-penerus yang kuat dan beriman, Anakku." Tapi Rakheem tidak bisa melakukannya. Tidak setelah apa yang barusan dia saksikan hari ini. Dia tidak ingin membayangkan Lila. Tidak dengan gadis mana pun. Bagi Rakheem, apa pun yang terjadi di muka bumi ini, itu berarti Allah mengizinkannya. Tuhannya yang Maha Agung pastilah menyisipkan hikmah pada tiap kejadian. Dan hari ini Rakheem menyadari, ia tak ingin berada di posisi yang sama dengan Ayah gadis malang itu. Ia tak ingin memposisikan seorang wanita di posisi istri pria itu, dan tak ingin memposisikan darah dagingnya sendiri berada di posisi yang sama dengan gadis malang itu. Rakheem merasa, dengan memiliki keturunan, ia hanya akan memberi nasib buruk pada sang jabang bayi, sekaligus memberikan ketakutan pada siapa pun wanita yang akan ia jadikan istri nanti. Dalam keheningannya di antara bintang, Rakheem mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan menghadap ke dirinya sendiri. Tangan yang sedang ia lihat itu akan selalu berlumurkan darah dan debu. Rakheem sungguh tak ingin menyentuh kesucian wanita dengan tangan seperti itu. Tidak ingin merusak lebih banyak lagi. *** Malam itu Rakheem tak dapat beristirahat dengan nyenyak. Ia waspada, jikalau saja kemungkinan terburuknya, ia diikuti oleh mata-mata tentara Inggris saat perjalanan pulang ke desa. Sebelah tangannya memegangi lengan kekarnya yang terbalut kain untuk menghentikan pendarahan akibat luka tembak yang ia dapatkan dari pertarungannya melawan tentara Inggris tadi. Nameera sudah melakukan sesuatu untuk membersihkan luka dan menghentikan pendarahannya, tapi itu tidak berarti lukanya begitu saja sembuh. Ia tahu benar, dirinya takkan berada dalam performa prima untuk beberapa hari ke depan akibat luka ini dan itu menambah kecemasannya saja. Sayup-sayup, Rakheem mendengar suara Nameera sedang belajar bahasa Inggris bersama Nayla. Rakheem yakin, malam sudah larut dan dua wanita itu masih terjaga hanya untuk belajar. Itu membuatnya kembali membayangkan nasib malang gadis yang gagal ia selamatkan tadi. Kepala Rakheem menengadah, menatap bintang, memikirkan, kira-kira apa yang dilakukan gadis seusia Nameera dan gadis malang itu di luar sana? Apa mereka mempelajari berbagai hal dengan giat seperti Nameera? Apa mengalami nasib buruk seperti gadis malang itu? Ataukah ada yang mengalami keduanya sekaligus? Mengembuskan napasnya dengan berat, pria itu menutup mata. Sejak kecil, Rakheem mudah menghafal apa saja yang dilihatnya, kemampuan itu membuatnya terus mengingat dengan jelas, kematian-kematian di sekitarnya menjadi mimpi buruk yang begitu nyata saat ia menutup mata barang sekian detik saja. Dan Rakheem berusaha untuk terbiasa dengan itu semua. Ia menghela napas membuka matanya lelah. Dengan berbantalkan sebelah tangannya yang tak terluka, ditekuk di belakang kepalanya, Rakheem menikmati pemandangan malam yang sungguh menggoda di atas langit. "Rakheem," panggil seseorang yang muncul tak jauh dari buaiannya di atas tumpukan jerami. "Ayah? Kenapa Ayah tidak istirahat?" Rakheem segera bangkit, mendekati pria yang duduk di kursi roda itu. "Bagaimana dengan kau sendiri, Nak? Apa kau tak apa?" "Apa maksud Ayah?" Rakheem mengerutkan dahi. "Kaulah yang seharusnya istirahat, Nak. Kau terlalu banyak mencurahkan tenagamu hari ini." Rakheem hanya tersenyum simpul dan mengangkat kembali wajahnya ke atas langit, "Aku merasakan ada badai yang akan datang, Ayah. Badai yang lebih menakutkan dari badai pasir." "Apa ada hubungannya dengan air? Karena itu akan jadi badai yang paling menyenangkan di tanah ini," balas sang Ayah seraya mengikuti arah pandangan Rakheem menuju langit. "Bukan, Ayah. Aku merasa bencana itu terlihat seperti seorang wanita." "Kau memikirkan seorang wanita? Hal yang baru." Pria yang duduk di kursi roda itu tak bisa menahan senyum lebarnya. "Tidak memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Aku hanya ... membayangkan, apa yang dilakukan para gadis seusia Nameera di luar sana." "Oh, anakku. Apa yang membuatmu memikirkan hal itu?" Rakheem tersenyum lemah dan menggeleng sembari sesekali menggaruk jambang yang tumbuh di rahangnya yang kuat. "Tak ada gunanya kau memikirkan apa yang dilakukan oleh para wanita, Rakheem. Mereka lebih suka pria yang banyak bekerja daripada berpikir. Sebaiknya kau mempersiapkan dirimu saja." "… mempersiapkan diri untuk …?" "Lamaran? Apa kau tak ingin menikah? Dengan Lila, mungkin?" "Tapi Lila tak memiliki keluarga," sergah Rakheem dan secara refleks mengerutkan alisnya lebih dalam. "Tidak ada keuntungan bagi Ayah untuk menjadikannya sebagai relasi keluarga kita." "Apalah arti keuntungan di mata orang jika aku bisa membahagiakan anak laki-lakiku satu-satunya." Rakheem membulatkan mata mendengar ucapan Ayahnya. Apa dengan menikah dengan Lila ... akan membuatnya bahagia? Itukah yang ia inginkan? Tidak, pertanyaannya salah. Apakah itu memungkinkan? *دوزخ زموږ لپاره انتظار دی (Pastho): hell is waiting for us.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD