Waktu terus berlalu.
Dua tahun kemudian, di hari yang sama dengan kematian gadis yang melarikan diri dari desa, sesuatu kembali terjadi.
"Rakheem!"
Pria itu menoleh pada Sabeir yang berlarian menuju diri. Rakheem saat itu sedang membersihkan wajah dengan air di sungai kecil yang tak jernih di dekat desa mereka. Dia menunggu dengan sabar, sembari menerka apa yang akan dilaporkan pemuda yang sedang menghampirinya itu.
“Ada apa? Apa ada masalah?”
"Yusufzai dan teman-teman lainnya menemukan prajurit yang sekarat di lereng tebing sebelah barat!” lapor Sabeir terengah-engah. “Mereka ditemukan dalam keadaan terluka sangat parah!"
Rakheem mengadukan gigi dalam mulutnya dengan keras, lalu mengusap wajah dengan kain yang menggantung di celananya. "Bendera mereka?"
"Aku tak tahu, tak pernah bisa menghafal bendera mereka," ucap Sabeir penuh penyesalan sambil menggosok belakang lehernya.
"Ada berapa orang?" tanya Rakheem seraya berdiri dan berjalan mendekati pemuda itu.
"Tiga. Satu kulit hitam dan dua lainnya kulit putih."
"Tiga,” ulang Rakheem berpikir selama beberapa detik sebelum kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Di mana mereka sekarang?"
"Yusufzai membawa mereka ke rumahnya. Sedangkan istri dan anaknya kini menumpang di rumahmu."
Rakheem sekonyong-konyong menghentikan langkahnya saat itu juga. Jalan Pushtunwali mereka memang mengajarkan untuk bersikap ramah pada siapa pun yang datang dengan damai, termasuk menolong siapa pun yang terluka di dekat mereka. Dan siapa pun dari suku Pashtun yang menolong orang-orang yang berada di ambang kematian itu, mereka akan menyembunyikan istri dan anak perempuan mereka di rumah kerabat. Karena memperlihatkan wanita Pashtun di hadapan orang asing adalah tabu bagi kaumnya. Seharusnya Rakheem paham akan peraturan itu. Tapi bagaimana ia bisa tenang jika mengingat Lila, yang sejak dua tahun lalu menjadi istri Yusufzai, dan anak perempuan mereka, kini tinggal di tempatnya, meski hanya untuk sementara?
Rakheem ingat, dua tahun lalu, keluarganya bermaksud untuk melamar Lila untuk dijadikan istri baginya. Namun setelah memenangkan perdebatan panjang melelahkan –yang tidak seharusnya dilakukan– Rakheem berhasil menghentikan kedua orang tuanya untuk menyampaikan maksud mereka pada gadis itu. Saat itu, Rakheem merasa malu. Ia sungguh merasa tak sanggup dan tak mumpuni untuk membayangkan dirinya menjadi seorang pria yang berkeluarga. Demi Tuhan, Rakheem bahkan tak bisa membayangkan berduaan dengan seorang gadis asing di sebuah kamar dan harus dilakukannya setiap hari jika ia benar-benar harus menikah.
Seminggu setelah penolakan Rakheem pada ide tentang pernikahan itu, Yusufzai, rekannya yang berusia lebih tua beberapa tahun darinya, menikahi Lila. Dan mereka benar-benar membangun rumah tangga yang damai dan tentram. Kenyataan yang seakan menampar Rakheem sebagai seorang laki-laki pengecut. Setahun kemudian, Yusufzai dan Lila memiliki seorang anak perempuan, Zlaikha. Mereka terlihat sangat bahagia dengan kedatangan putri kecil mereka, dan menyayangi Zlaikha dengan penuh kasih. Dan sekarang, Lila bersama Zlaikha kecil akan menumpang di rumah Rakheem untuk semantara karena rumah Yusufzai akan dijadikan tempat merawat korban perang. Rakheem hampir saja berteriak keras-keras untuk mengumumkan para dunia bahwa ia takkan berada dekat-dekat dengan rumahnya sendiri selama masa pengungsian itu.
"Rakheem?"
Sabeir mengangkat sebelah alisnya dan melambaikan tangan di hadapan wajah Rakheem, terlihat kebingungan karena sang pemiimpin pasukan terdiam tiba-tiba.
"Ah? Ya?" jawab Rakheem menoleh cepat pada Sabeir yang menatapnya heran dan cemas.
"Apa ada yang salah? Apa kita tak seharusnya menyelamatkan mereka?"
"Tidak, tidak. Mereka terluka, dan kita memang harus menyelamatkan mereka, Saudaraku."
Sabeir hanya mengerutkan alisnya dan mengedipkan mata lebarnya berulang-ulang karena tak memahami mengapa reaksi sang Jendral demikian. sembari berderap-derap kembali ke pedesaan, pemuda itu mencoba menerka apa yang kira-kira dipikirkan oleh Rakheem. Dengan kepala dipenuhi kekhawatirannya masing-masing, kedua pria itu berjalan beriringan menuju rumah Yusufzai untuk melihat kondisi para tentara perang yang baru mereka selamatkakn.
"Syukurlah kau datang, Rakheem," sambut Yusufzai ketika Rakheem dan Sabeir memasuki gerbang rumah pria itu. "Kami tak bisa berbicara dengan mereka, dan mereka terus mencurigai kami."
"Seharusnya kalian pukul saja kepalanya sampai pingsan." Sebuah saran luar biasa dari Sabeir.
"Aku yang akan menginterogasi mereka. Kalian lanjutkan penjagaan saja," perintah Rakheem yang segera dituruti oleh rekan prajurit lainnya, meninggalkan Rakheem berempat dengan para tentara yang terkapar dan sesekali merintih kesakitan itu.
"Siapa kalian?" tanya salah satu prajurit itu, pria botak berkulit hitam yang tegap, dengan menahan kesakitan di sekujur tubuhnya yang masih berdarah-darah. “Kenapa kalian menyelamatkan kami? Apa yang kalian inginkan?”
Rakheem melepas cangklongan senapannya, membuat ketiga tentara itu terkesiap, "Aku tidak akan menyakiti kalian," ucap Rakheem pelan dan meletakkan senjata api laras panjang itu ke sebuah kabinet yang terbuat dari tanah liat di pojok ruangan.
"Kau bisa bicara bahasa Inggris?" tanya pria kedua dengan wajah takjub yang tak dapat ditahannya, pria berwajah lonjong, berambut cokelat cepak dan berkulit putih yang terbakar.
"Ya, sedikit," jawab Rakheem singkat dan mengamati luka pria-pria itu. "Kalian terjatuh dari tebing curam itu dan tidak mati? Wow, luar biasa."
"Apa maksudmu kau mengatakannya demikian?" ucap si pria berkulit hitam dengan nada sarat akan amarah.
"Aku tahu apa yang sedang kuucapkan dengan jelas," jawab Rakheem dengan tenang. Rakheem mendekati para pria yang kembali menahan napas mereka saat pria besar menakutkan itu mendekati mereka. "Sudah kubilang, aku takkan menyakiti kalian." Rakheem menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong ke arah para tentara itu.
"Dan kami harus langsung percaya dengan ucapanmu begitu saja?" Dengan mata menyelidik, si Kulit Hitam menjawab ketus.
"Aku memang tidak punya bukti." Rakheem mengambil peralatan pengobatan yang sederhana dan melakukan pertolongan untuk membersihkan luka si pria hitam botak dan kedua rekan putihnya yang tak bisa menggerakkan tubuh –kecuali mulut cerewet mereka– itu. "Tapi menolong siapa pun yang berada di ujung kematian seperti kondisi kalian sekarang ini, adalah salah kode etik suku kami itu, kami harus menolong siapa pun yang terluka dan membutuhkan pertolongan. Kalian beruntung pria itu menemukan kalian." Rakheem sekali menelengkan kepalanya ke belakang, mengacu pada Yusufzai.
"Siapa pun?" kini pria ketiga, pria yang terlihat paling muda dan berambut pirang yang sedari tadi diam, angkat bicara.
Rakheem mengangkat sebelah alisnya dan masih membersihkan darah mereka dengan lap basah, "Ya,” ulang Rakheem tanpa menoleh pada si pria pirang. “Siapa pun."
Mata biru cerah pria pirang itu menjadi sayu dalam remang malam, sedangkan pandangannya masiih terus menatap bagaimana Rakheem merawat luka rekannya, sebelum ia memutuskan untuk kembali menutup mata, menyandarkan kepalanya ke tumpukan kain yang dijadikan bantal. Entah dia menyadarinya atau tidak, si pria pirang ini terlihat lebih lega hanya untuk sekadar meresapi rasa sakit di sekujur tubuhnya sendiri. Mereka, para tentara itu, akhirnya memutuskan untuk diam, membiarkan Rakheem memberikan pertolongan apa pun yang pria itu bisa pada mereka.
"Tidakkah kau bisa membiarkan para wanita saja yang melakukan ini?" tanya si pria berambut cokelat dengan wajah lonjong, saat tangan Rakheem dengan kasar membuka baju tentara mereka untuk melihat seberapa parah luka mereka.
"Tidak," ucap Rakheem dingin dan beralih pada pria terakhir, si pirang yang terlihat paling muda –paling pendiam diantara mereka–.
"Sial..." desis pria itu sakitan saat Rakheem menekan luka di perutnya dan membalut luka itu dengan keras agar berhenti mengucurkan darah.
"Aku akan mengambilkan kalian makanan."
Rakheem bangkit setelah selesai merawat luka-luka para tentara yang terlihat akan mati tiba-tiba saking parahnya luka tubuh mereka itu. Pria itu berjalan dengan tidak semangat keluar pintu, mengingat ia harus kembali merawat pria-pria asing itu dan melakukan bagian paling tak ia sukai, menempatkan kembali posisi tulang-tulang disposisi di sekujur tubuh mereka dengan paksa. Itu akan melibatkan teriakan-teriakan dan hardikan dari mereka pada Rakheem, alih-alih terima kasih yang akan dia dapatkan belakangan.
"Tunggu," ucap si pria berkulit hitam menghentikan langkah Rakheem, "Kau belum menjawabku.”
Rakheem diam, menunggu.
“Siapa kalian?"
"Kami suku Pashtun."
"Kalian bukan pemberontak?"
"Kalau kami pemberontak, aku takkan repot-repot merawat kalian. Kau tahu bagaimana kejamnya mereka memperlakukan kalian."
Pria itu menelan salivanya. Kemudian di antara hening, terdengar sebuah ucapan, "Terima kasih."
Sebuah ucapan tak terduga. Rasanya terdengar dari mulut si tentara pirang yang muda itu. Rakheem tak menjawab, tak perlu juga menjawab apa pun. Ia bermaksud keluar sampai suara yang sama, milik pria pirang yang pendiam tadi, kembali menahannya.
"Siapa namamu, Tuan?" tanya pria itu sembari mengangkat kepala dari tidurnya, menatap Rakheem.
Kali ini, Rakheem menolehkan kepala. Lebih tepatnya, mengamati si pria pirang. Dia terlihat menimbang-nimbang dan tidak segera menjawab. Ini pertama kalinya, salah satu dari korban yang mereka tolong, menanyakan nama mereka.
"Rakheem," jawab pria itu akhirnya. Rakheem tak menemukan kemungkinan buruk yang bisa terjadi hanya dengan mereka mengetahui namanya saja. Apa memang yang bisa dilakukan para pria sekarat itu untuk mencelakai dirinya dan orang-orangnya hanya dengan menggunakan sekadar nama?
Pria rupawan berrambut pirang itu tersenyum sedikit, lalu meringis karena luka di wajahnya.”Terima kasih, Tuan Rakheem.”
“Kenapa kau menanyakan namaku?”
"Setidaknya, kami sedang menunjukkan rasa sopan. Kami tak bisa memberikan apa pun pada kalian sebagai tanda terima kasih, tapi kami bisa memberikan nama," jawab pria itu yang langsung mendapat lirikan dari kedua rekan tentaranya.
Rakheem tersenyum miring, "Apa memangnya keuntunganku dengan mengetahui nama kalian?"
"Entahlah, setidaknya kami memberikan sedikit rahasia kami."
"Suku kami tidak sedang berperang dan tidak akan menggunakan rahasia kalian untuk jaminan hidup atau apa pun itu. Lagi pula, mengetahui nama seseorang, tak berarti mengetahui ceritanya."
"Sungguh bijak."
"Tapi karena aku memberikan namaku, kurasa mengetahui nama kalian adalah hal yang wajar."
Pria bermata biru terang itu menutup mata dan kembali membiarkan kepalanya bersandar di bantal paling nikmat abad ini miliknya, "Yang rambut cokelat itu Erick, yang botak itu Tony." Lalu pria itu kembali membuka mata, mengamati Rakheem, "Sedangkan aku, kau bisa memanggilku Neil. Namaku Neil O'Connor."
***
"Jadi, mereka adalah tentara Kanada?"
"Ya," Rakheem menegak air putih, lalu memandang Ayahnya yang masih dengan tenang mengamati sesuatu di layar komputer kunonya malam itu, "Mereka ditugaskan di perbatasan Irak, lalu kelompok pemberontak memporak-porandakan kelompok mereka yang isinya tujuh orang. Empat di antaranya sudah mati di tangan pemberontak. Mereka yang tersisa, terpaksa melemparkan diri dengan melompay dari tebing agar tidak tertangkap."
"Para prajurit yang cukup nekat dan pemberani," komentar sang Ayah sembari tersenyum.
Rakheem tak menanggapi komentar itu dan hanya mengamati tangannya sendiri yang penuh bekas luka.
“Ayah?”
“Ya, Anakku?”
"Salah satu dari barang para prajurit itu..."
Pria itu tak melanjutkan ucapannya, membuat sang Ayah berhenti membaca tulisan di layar komputer kuno miliknya dan mengamati anak sulung kebanggannya itu, menunggu pemuda itu untuk melanjutkan perkataan yang menggantung.
"Aku memeriksa barang bawaan mereka saat mereka tertidur. Dan di salah satu tas poket milik pria berambut pirang di antara mereka, aku menemukan sebuah foto. Foto wanita berambut pirang. Sangat cantik. Mungkin istrinya."
Sang Ayah tersenyum mendengar ucapan Rakheem, masih tak memberi komentar apa pun.
"Mereka memiliki keluarga di negaranya, Ayah. Apa yang diinginkan orang-orang yang bisa hidup damai di luar sana dengan meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi untuk menceburkan diri dalam peperangan ini?"
Jibril, sang Ayah, menjalankan kursi rodanya ke arah Rakheem yang tertunduk di tempatnya duduk.
"Kepercayaan, Anakku," jawab sang Ayah masih mempertahankan senyum. "Mereka seperti kita, bertempur karena percaya. Mereka mati dalam kepercayaan. Mereka orang-orang yang percaya."
Rakheem mengerutkan alis.
"Mereka yang percaya pada negaranya, mereka akan bertempur dengan nama negara. Kita yang percaya pada agama, kita akan bertempur atas nama agama. Semua yang orang percaya cinta, mereka akan bertempur atas nama cinta."
Rakheem mengalihkan pandangannya pada jendela, "Seharusnya mereka tak meninggalkan siapa pun yang mencintai mereka hanya demi alasan egois seperti itu."
"Seakan kau tak melakukannya, Rakheem."
"Apa maksud Ayah?" Rakheem melemparkan pandangan kerasnya pada sang Ayah yang masih terlihat santai setelah menyampaikan pendapatnya..
"Kau tidak percaya pada cintamu. Kau tak memperjuangkan Lila. Saat Lila menjadi istri pria lain, yang tersisa adalah sebuah lubang kosong di hatimu akibat kekecewaan yang menyakitkan. Itulah yang tak ingin dirasakan oleh para prajurit yang percaya. Mereka ingin memperjuangkan dirinya sendiri bersama kepercayaannya untuk menghidari penyesalan, karena penyesalan itu hanya bisa kita rasakan tanpa bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya di masa lalu. Tak ada yang bisa menyembuhkan rasa sakit dari sebuah penyesalan, Anakku. Ayah yakin, jauh dalam lubuk hatimu, kau mengerti apa yang sedang kubicarakan."
Rakheem mengeratkan genggaman tangan hingga buku jarinya memutih. Ia bangkit dari tempatnya duduk.
"Aku mungkin mengecewakan Ayah tentang itu, tapi aku tidak merasa Lila atau siapa pun bisa kupercaya akan menjadi pilihan yang tepat, Ayah. Karena ... karena ... ini adalah aku! Seorang pria yang terlahir sebagai seorang martir dan akan mati sebagai seorang yang berjihad!
"Aku tak bisa membayangkan anakku akan berakhir menjadi seperti aku nantinya, atau lebih buruknya lagi jika anakku nanti adalah seorang gadis, aku takkan sanggup menanggung dosaku jika sampai gadis itu akan mati dalam peperangan ini. Aku bahkan tak dapat memberikan kehidupan yang layak untuk membuatnya bahagia, untuk membuatnya tersenyum seperti gadis pirang di foto itu. Aku tidak mampu!"
"Kau bukan Tuhan, Rakheem. Jangan berbicara layaknya kau bisa membaca masa depan."
Ucapan Ayahnya membuat lidah Rakheem kelu. Ia barusaja sadar apa yang tengah ia lakukan. Seketika itu juga, Rakheem menelan bulat-bulat egonya yang sedang meluap-luap. Pria itu mengeratkan kepalan tangan erat-erat. Ia merasa sudah kehilangan muka di depan ayahnya.
"Maafkan aku, Ayah."
Rakheem berderap meninggalkan ruangan itu dan memutuskan untuk menangkan dirinya di luar rumah. Memutuskan untuk kembali jatuh cinta pada bintang yang indah dan karya Tuhan yang membuatnya bahagia tanpa memberinya penderitaan. Ilusi yang membuatnya lupa segala perasaan buruk yang ia kubur dalam-dalam di sanubarinya.