Tak Ada Yang Berhasil

3018 Words
"Ada banyak sih mantannya. Gue gak begitu tahu siapa aja. Yang paling gue inget......," ia menghela nafas. "Gue gak tahu apa lo kenal atau enggak sama cewek itu. Namanya Linda, anak kampus kita juga dari FEB." Ia tentu tahu karena pernah tak sengaja bertemu. Walau ya tahu, perempuan itu pasti tak akan menggubrisnya. "Linda....," gumamnya. Seakan pernah mendengar nama itu tapi ya samar-samar. Lagi pula tak begitu penting juga sih. Karena ya nama Linda agak pasaran kan ya? Ia tahu itu. Meski otaknya tetap ingin berpikir. "Pokoknya itu lah. Itu cewek yang paling gue tahu. Itu mantannya waktu SMA di Jakarta." Ia mengangguk-angguk. "Lalu?" "Ya sampai hamil, Dan." Itu yang ingin ia katakan. Ia langsung terdiam. Instingnya sudah jelas ke arah mana kan ya? Tak perlu diteruskan. Mendengarnya saja sudah agak syok. "Jujur gue juga kaget mantan lo malah pacaran sama dia. Mungkin emang gak tahu rekam jejaknya entah bagaimana yaa begitu lah. Yang jelas, Dan. Anak SMA gue dulu juga tahu kalo siapapun yang jadi pacar dan mantan Peter itu bukan cewek bener." Mendengar itu ada amarah di dalam diri Aidan. Ia hampir menonjok Niko andai Niko tak jaga jarak lebih dulu. Ia tentu sudah bersiap karena bisa melihat emosi di dalam wajah Aidan. Mungkin masih sayang pada mantannya meski ditinggal selingkuh begitu saja? Harusnya Aidan bersyukur sih. Karena ternyata mantannya justru berpacaran dengan orang yang sungguh b***t dan b******k. Tapi kan bagi Aidan tak begitu. Ia pulang ke apartemennya setelah obrolan dengan Niko kala itu. Tentu saja menenangkan diri. Ya setelah beberapa hari kejadian itu, yang rajin ia hubungi ya Angie. Angie juga agak nertengkar dengan Nayla. Karena gadis itu tak mau jujur. Ia dongkol. "Ya udah lah kalo emang gak mau ngomong. Tapi kira-kira ya gitu lah kata Niko waktu itu." "b******k emang tuh orang!" Ia hanya bisa memaki selama beberapa hari ini. "Nay tetep masuk kan?" "Ya. Tapi dia kayak orang ketakutan. Kemarin juga Peter sempat datang ke fakuktas kita." "Terus?" "Aku lah yang jadi tameng. Takut dia waktu gue mau teriakin. Tuh cowok harus digituin deh, Dan. Tapi masakahnya aku kan gak bisa setiap saat sama Nay ya." Ya. Ia juga belum tentu siap sedia setiap saat. Terlebih ia sudah mendapatkan informasi dari klinik untuk segera operasi. Ia sudah memberitahu umminya sih. Hanya memberitahu dan menurutnya tak perlu datang. Ia bisa tangani sendiri kok. Lagi pula, satu gengnya bisa menemani ioperasi. "Aku titip Nay ya, Gie." Ia hanya bisa mengagakan itu. Angie mengiyakan. Ia sudah pernah bertanya soal perasaan Aidan pada Nayla. Sudah diperjelas juga kalau Aidan hanya menganggap Nayla sebagai teman sekarang. Padahal Angie sempat berpikir kalau dengan keterpedulian Aidan yang mungkin masih menyimpan rasa pada Nayla. Namun tampaknya salah ya? Padahal sekarang ia sesungguhnya berada di kamar Nayla. Gadis itu memilih untuk berpura-pura tak mendengar. Walau ya tetap ingin tahu apa yang mungkin dibicarakan Angie dan Aidan. "Aku pikir dia masih suka sama kamu deh. Meski dia bilang enggak." Entah lah. Walau terkaannya ini bisa saja salah ya? "Tapi gak apa-apa kali, Nay. Aidan pasti masih mau nerima kamu. Aidan itu baik banget. Kamu aja yang rugi ngelepasin dia." Ya dan jujur ia memang akhirnya menyesal sekarang. Hal yang sungguh tak bisa ia hindari. Ia menyesal dengan segala rasa yang pernah ada. Penyesalan yang begitu terdalam. Kenapa ia harus mengambil keputusan yang salah? Hanya karena kurang perhatian lalu tertipu lelaki yang ternyata b******k? Ah tidak tertipu juga harusnya kan? Karena ia sudah mendengar berbagai peringayan orang-orang di sekelilingnya soal Peter. Tapi ia abaikan. Kini? Ya nikmati saja penyesalan itu. Aidan? Baru selesai mandi dan memberesi apartemennya. Besok akan operasi dan ia mungkin izin kuliah untuk tiga hari berikutnya. Ya sebetulnya sih tak masalah kalau mau langsung beraktivitas. Tapi ia ingin rehat lah. Toh ini juga belum masa ujian kok. Jadi masih aman. Ketika ia baru saja menaruh alat penyedot di gudang kecil, terdengar suara bel apartemen berbunyi. Siapa kah? Ini siang hari sih. Hari ini hanya ada satu mata kuliah dan tadi sudah sekesai. Ia berjalan menuju pintu dan dikagetkan oleh kehadiran umminya. Tentu saja tak sendiri. Wong ada kakak iparnya dan keponakan kecilnya. Astagaaaa! Ini pada ngapain ke sini? Hahahaha. "Ya nemenin kamu operasi lah. Walau katanya operasi kecil kan tetap perlu pendampingan wali." Negitu kata umminya. Mana bawa banyak lauk. Ada supir sih yang membawa. Mereka berangkat dengan mobil terbang ke sini. Kalau naik pesawat kan repot. Kalau mobil terbang? Ya sesekali terbang lalu mendarat lagi lalu ya terbang lagi. Mungkin beristirahat. Walau ya memakan waktu. Tapi sekitar 3 jam sudah sampai di Jogja. Mobil terbangnya memang belum bisa dugunakan untuk rute yang lunayan jauh seperti dari Jakarta ke Jogja. Tapi ya lumayan menghemat waktu lah. "Ya ampun aak. Ini kulkasnya kosong. Gak pernah ada makanan ya?" Yang namanya ibu-ibu, yang dicek pertama kali ya pasti is dapurnya. Maira terkekeh. Umminya memang mengkhawatirkan makanan Aidan karena anaknya itu kurus kan. Susah sekali gemuknya. Berbeda dengan Agha yang memang berisi sejak dulu. Bahkan sekarang meski bukan gendut. Kalau Maira sih memang berisi. Sekarang ya makin berisi apalagi ini selesai melahirkan dan membawa Aldzam ke sini juga. Tadinya sih Agha tak rela. Tapi berhubung ia ada urusan juga di Solo dan besok bisa mampir ke sini jadi ya tak masalah. "Ya kan sibuk kuliah, mi. Lahian Aidan bisa makan di luar." "Jangan terlalu sering makan di luar. Gak begitu sehat, aaak." "Di kafe a'ak sendiri lah, mii." Ia berkilah. Maira terkekeh mendengarnya. "Jangan terlalu sering juga di sana. Nanti besar pengeluaran dari pada pendapatan." Ia terkekeh. Serba salah ya umminya ini? Kini tak berhenti mengomel dan sibuk memberesi dapurnya. Bukannya beristirahat. Padahal soal makan kan bisa ia urus ya? Tapi lihat lah berapa banyak makanan yang dibawa ke sini. Ia geleng-geleng kepala. Hahahaha. "Ini kompornya pasti gak pernah dipakek nih." Umminya bahkan tahu. Hahahaha. Maira yang memberesi barang-barang umminya sembari berjalan menuju satu kamar kosong yang memang selalu siap sedia. @@@ "Apes," gumamnya. Hahaha. Ia sudah menunggu hingga jam 11 malam di depan rumah Diana eeeh didatangi ketua RT. Bahkan sampai diinterogasi dan hampir dibawa ke kantor polisi semalam. Hahahaha. Sungguh apes sekali ya? Mungkin memang nasib yang harus begini kah? Ketika pagi-pagi ke rumah Diana, gadis itu bilang kalau Caitlyn baru saja berangakt ke stasiun. Ya pikirannya pasti pulang ke Jakarta kan? Jadi ia buru-buru kembali ke hotel untuk mengemas barangnya. Papanya pasti mengomel kan karena ia menghilang. Hahaha. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak mau dijodohkan. Makanya nekat begini mengejar Caitlym. Kalau tidak ya pasti santai deh. Begitu Arya menghilang di depan rumah, Caitlyn terbahak. Diana kembali masuk usai memutar balik mobilnya. Ya kan tadi berpura-pura pergi. Hahahaha. Tadinya Caitlyn hendak pulang dengan kereta tapi karena takut bertemu dengan Arya lagi akhirnya ia memesan tiket pesawat semalam. Dan ya pagi ini Diana menyempatkan diri untuk mengantarnya ke bandara. "Yakin nih aman di sini?" "Jangan nakut-nakutin dong, kak." Caitlyn terkekeh. Ia sudah bisa bercanda lagi karena Arya sudah pergi. Mungkin cowok itu sudah di stasiun ya? Ya tebakan Caitlyn hampir benar lah. Arya sudah dalam perjalanan menuju stasiun kereta api. Ia berpikir kalau Caitlyn mungkin sudah dalam perjalanan. Ah entah keberangkatan jam berapa. Yang jelas ia juga benar-benar harus pulang. Ibunya pusing karena ia tak pulang. Papanya jelas marah-marah karena ia kabur begitu saja dari acara semalam. Ia pusing dengan hal-hal ini. Kenapa harus dijodohkan segala? Apalagi ia merasa kalau ia adalah lelaki. Ya merasa itu agak merusak harga dirinya. Hahahaha. "Kalau ada apa-apa, harus telepon aku loh." Diana mengangguk. Ia memang cemas tapi tak mau terlalu menunjukkannya. Nanti Caitlyn akan ikut khawatir karenanya. Lalau membahas dulu, Caitlyn sejujurnya masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Tapi ya kenyataannya memang begitu. Mau bagaimana lagi? "Kalo cowok itu terus ngejar kakak gimana?" "Ya biarin aja lah. Lagian aku juga gak suka. Sebodo amat dia mau gimana." Gak nyoba? Itu hanya pertanyaan yang bisa disebut di dalam benak. Kenyataannya ia juga tak bisa mengatakan itu melalui mulutnya. Kenapa? Karena itu akan berbalik padanya. Ia tidak mau mencoba mencari lelaki lain? Karena harusnya mudah. Tapi ia juga tak mau dengan alasan yang orang lain tak bisa mengerti andai tak melihat sendiri apa yang ia alami. Bahkan lima tahun pun masih tak cukup untuk menyembuhkan semua lika itu. Terlalu menyeramkan untuk diingat. Sementara itu, ada seseorang yang baru saja menghentikan mobil di depan rumahnya. Hanya beberapa detik ia menoleh ke arah rumah itu lalu berbelok pergi. Ternyata masih tinggal di rumah yang sama. Maksudnya rumah yang dulu masih ditempati oleh orang lain. Kenyataan kalau mantan istrinya masih sendiri? Tidak begitu mengejutkan baginya. Karena kehadirannya mungkin mengerikan bagi cewek itu ya? Ia baru saja memarkirkan kliniknya. Bukan klinik pengobatan. Ini khusus untuk perawatan kecantikan. Letaknya tak begitu jauh dan sudah berdiri beberapa tahun silam menggunakan nama kakaknya untuk urusan administrasi. Kini sudah dipindah namakan atasnya. Ya karena memang pendirian itu untuknya. Sementara itu di tempat lain.... "Pri udah berangkat, ma?" "Oh ya." Mamanya agak kaget. Karena ia sedang sibuk di dapur saat anak sulungnya muncul. Ia baru saja mengantar anaknya ke sekolah. Nanti baru sibuk lagi di kliniknya sendiri. "Kapan?" "Udah dari beberapa hari yang lalu." Ia menghela nafas. Masih was-was sebenarnya. "Gak perlu ada yang dikhawatirkan. Dia udah sembuh. Kamu lihat sendiri bahaimana perkembangannya dua tahu terakhir. Kalau gak begitu, mama mana mungkin kasih izin." Tapi baginya bukan itu persoalannya. "Dia gak ngejar Diana lagi kan?" "Enggak lah. Dia bilang akan cari pacar baru. Lagi pula," mamanya menghela nafas. "Mama gak pernah setuju dari dulu kalau dia sama perempuan itu. Kamu tahu sendiri, keluarganya bikin malu. Mamanya begitu matre. Banyak sekali maunya waktu mereka menikah. Diana juga pasti begitu." "Mama masih belum bisa melupakan itu juga ya? Kan udah selesai, ma. Lagi pula dari cerita temen-temen kampus, dia udah jadi dokter THT tuh di Jogja." "Menurutmu, dia bisa ambil spesialis itu dari mana? Pasti m******t kan? Atau kalo gak jual diri kan?" Ia hanya menghela nafas. Susah sekali menyadarkan mamanya. Masih saja termakan dengan semua perkataan dari mantan adiknya bertahun-tahun lalu. Ia juga lelah memberitahunya. Tak ada gunanya. Ia justru kasihan pada Diana meski sekarang bersyukur karena setidaknya sudah lepas dari adiknya dan ibu mertua semacam ini..Ya walau ini juga ibu kandungnya sendiri.. @@@ "Yakin?" Ia mengangguk. Tapi anggukan kepalanya memang tampak ragu sih. Ya tak yakin. Ada rasa takut. Ia tahu kalau Peter terus mengejarnya. Meski ia sudah memblokirnya tapi pasti ada jalan bagi Peter untuk mengejarnya kan? "Tunggu aja lah bentar. Gak akan lama. Dari pada kamu pulang sendiri. Si Aidan gak masuk hari ini. Dia lagi ada acara apa ah entah lah. Dari pada ada apa-apa. Aku gak tahu lagi mau minta tolong sama siapa." Ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya. Kalau di kampus kan internetnya sangat bagus. Tidak seperti di kos. Jadi ia fokus menyelesaikan tugasnya sementara Nayla hanya menghela nafas. Ia sejujurnya tak bisa berkonsentrasi dalam hal apapun untuk saat ini. Ia terus ketakutan. Pikiran kalau Peter akan mencelakainya suatu saat nanti terus menghantui. Tapi ia bahkan tak berani meminta tolong pada orang lain lagi. Aidan mau turun tangan saja sudah sangat berterima kasih. Meski ia juga terlalu malu untuk mengatakannya. Ia menarik nafas dalam. Ia tak pernah tahu kalau hidupnya akan sekacau ini. Rasanya? Ia sungguh ingin mati tapi kalau dipikir lagi, ia tak berani memikirkannya. Satu jam kemudian mereka baru meninggalkan perpustakaan. Keduanya memutuskan untuk berjalan kaki karena sebetulnya fakultas memang tak begitu jauh dari tempat tinggal. Tapi ya agak lumayan kalau harus berjalan kaki. Ya akhirnya sembari jajan. "Kalau jalan sendiri, jangan lewat di tempat yang sepi." Ia hanya mengingatkannya. Karena pasti akan jauh lebih bahaya kan? Kalau lewat tempat yang ramai begini, pasti Peter tak berani dan mereka juga bisa berteriak kapan saja. Pasti banyak yang mau menolong. Jadi ya aman. Angie menghembuskan nafas. "Masih gak mau lapor gitu? Minimal ke pihak kampus deh. Pasti bakal dibantu, Nay." Baginya sudah tak ada jalan. Orangtua Peter pasti akan berbuat apa saja demi menyelamatkan anaknya. Ya kan? Sementara ia? Tak akan ada yang berpihak. Kalau ia melapor? Ia yakin anak-anak satu kampus akan tahu. Kan yang menjadi Peter memang hanya ia. Semua memang terasa buntu hingga ia tak tahu harus memilih jalan yang mana lagi. Terasa tak ada jalan mana pun yang bisa ia lewati. @@@ "OGAH!" Jennie terbahak usai mendengar kata-kata itu dari mulut Ellery. Sudah ia duga. Teman-temannya memang sangat sulit untum ditangani. Begitu pula dengannya sih. Hahaha. Mereka adalah para perempuan 30-an tahun yang bukannya putus asa dan harapan akan cinta. Hanya entah kenapa, cinta begitu menyedihkan untuk dibina. Lalu percakapan semalam tentu saja tak akan hanya alan membicarakan soal Ellery tetapi juga dirinya. Karena dari kabarnya, mantan pacarnya itu nekat nikah siri dengan selingkuhannya itu. Lalu ya? Aah entah lah. Keluarga mantan pacarnya benar-benar hancur sih. Bahkan baru tadi ia menjenguk ibunya si mantan di rumah sakit. Mungkin saking stresnya. Mereka bahkan belum selesai dengan segala duka. Tapi ditambah lagi dengan hal semacam itu. "Lo sendiri gimana?" "Gue?" "Mantan lo....." "Persetan lah. Dia sedang berupaya ngebunuh orangtuanya sendiri dengan jalur itu." "Maksud gue, Jen, bukan itu. Tapi lo harus move on. Coba lepas dari bayang-bayangnya dan berhenti berpikir soal apa yang terjadi pada keluarganya. Gue tahu lo empati. Tapi ranah lo beda. Sudah bukan urusan lo lagi. Lo lihat sendiri kalau dia aja gak perduli kok sama keluarganya lantas kenapa lo harus perduli?" Ucapan itu mungkin ada benarnya. Ah entah lah. Ia juga tak paham sih dengan apa yang dialaminya. Tapi mungkin memang harus berjaka dan empati sewajarnya. Jangan pula memaki mereka lsgi. Ia jauh lebih berharga dibandingkan mantan pacar dan selingkuhannya itu. Iya kan? Dikala Ellery sudah sibuk lagi dengan pekerjaannya, Darren malah kedatangan ya geng mereka. Ada Ferril, Juna, Adit, Ardan, dan Farrel. Seperti biasanya. Hampir tak ada rahasia di abtara mereka. Terutama untuk yang sedang berusaha mencari pasangan hidup. Hahaha. Mereka harus berbagi agar bisa saling belajar. "Dia tetap nolak gue. Pusing gue." "HAHAHAHA." Seperti biasa. Mereka adalah bagian yang menertawakan. Juna sednag menikmati patah hatinya. Arya mengejar cinta Caitlyn tapi tampaknya sangat sulit untuk menggapai. Ya dari segi manapun, Caitlyn memang tampak benar-benar sempurna sih untuk.ukuran perempuan. Ah bahkan bukan hanya Caitlyn. Tetapi juga teman-temannya. Si Jennie lalu Ellery dan entah siapa lagi, Darren tak begitu tahu. Yang jelas memang bukan selera Juna karena Juna hobi memcari yang berhijab. Kalau mereka? Ya mana yang tercantol di hati saja. Kan hati yang memilih. Eeaak. "Ajakan lo ditolak mentah-mentah tuh?" "Gue dibilang gila." "HAHAHAHAHA!" Mereka benar-benar terbahak. Ya iya lah gila. Ngasih solusi jadi pasangan resmo di hadapan mantan yang menikah itu kan ide gila. Hahaha. Jelas saja Ellery tak mau. Ia tak merasa mengenal Darren. Lalu tiba-tiba saja datamg ya mana mau lah. Makin terasa aneh. "Nyerah aja kalo gitu." "Playboy mana yang ngasih saran begitu?" Ferril terbahak. "Ya playboy tobat lah. Hahaha!" Menurutnya, mereka juga harus mengukur bagaimana respon si cewek. Kalau sudah begini ya baik Arya maupun Darren sudah tak ada harapan. Cewek-cewek itu berbeda dari Echa. Ia tak bisa membandingkannya. Sementara itu..... "Udah nerima?" "Udaah. Terus segitu aja nih?" "Ya gitu aja. Thanks." Seseorang berterima kasih. Ia baru saja mendarat di Jakarta. Sengaja datang jauh-jauh untuk mengejar cinta seseorang. @@@ "Padahal a'ak bisa sendiri, mi." Maksudnya tak perlu ditemani sampai repot begini. Tapi yang namanya Airin ya mana mendengar sih? Hahaha. Mereka tetap berangkat bersama menuju rumah sakit. Maira dan anaknya juga ikut. Ya paling nanti jalan-jalan ke mana lah sembari menunggu. Biar anaknya tak rewel juga. Aldzam kan tak bisa diam. Padahal Aidan sudah mengerahkan segala usahanya untuk operasi kali ini loh. Ia menghadirkan teman-temannya nanti agar bisa menahan Diana nanti. Hahaa. Untuk apa? Foto bersama. Setidaknya ia punya foto lain selain yang ia temukan diinternet. Itu loh foto formalnya Diana dengan jas dokter. Hanya satu itu. Hahaha. Ia setidakmya ingin punya foto bersama Diana. Nah setelah ini, akan ia pikirkan cara untuk mendekati Diana. Tapi yang jelas tidak dengan jalan merusak telinganya lagi. Telinga ini sangat berharga. Mereka tiba di rumah sakit. Teman-temannya sudah menunggu. Setidaknya Aidan sudah memberitahu kalau ada umminya dan kakak iparnya. Ia tak berdaya kalau sudah begini. Jadi ya dari pada nanti teman-temannya bertingkah aneh kan? Ia baru saja sih bercerita soal cewek yang ia taksir dan mereka kaget bukan kepalang. Jelas memang bukan Soraya. Tapi perempuan yang jauh lebih tua dan membuat kslepala mereka pusing. Hahaha. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya agar modus Aidan tak tercium sang ummi. Karena ya berdasarkan diskusi mereka di dalam grup semalam..... Ummi gak ngasih pacaran. Ya kalian tahu lah. Bisa bahaya kalau tahu soal cewek. Mereka juga bisa mengira-ngira apa yang mungkin akan terjadi dan syok hebat seperti yang mereka alami. Yaa menilik cewek yang ditaksir usianya bisa saja 30 tahun lantas bagi mereka? "Aidan gila." Hahaha. Mereka sudah membahas ini di sepanjang malam. Ya tak habis pikir saja dengan jalan pikiran Aidan. Kok bisa menyukai perempuan seperti itu padahal jelas ada Soraya. "Soraya jauh kebih cakep. Lebih muda lagi." "Tapi kalo cinta ya gak melihat itu lah, Ga. Lagian dari dulu, Aidan emang gitu sih. Luhat aja si Nay. Gak cakep, gak ada kelebihan lain. Tapi dia suka-suka aja. Ini emang soal hati sih." Ya menurut mereka ya kalau sudah soal hati mau bagaimana lagi? Aidan diperiksa dulu sebelum operasi. Diana sudah menunggu. Aidan ditemani umminya. Kakak iparnya hanya duduk agak belakang di ruang pemeriksaan itu. Tentunya sambil mengurus Aldzam yang memainkan beberapa robot kecil yang sengaja dibawa. Setelah itu baru mereka berangkat ke ruang operasi. Diana mengatakan kalau operasi ini sebenarnya hanya operasi kecil dan ya karena Airin juga dokter, ia paham. Meski tetap saja ada rasa khawatir. Ia dan yang lain menunggu di depan ruang operasi. Tak lama, Akib menelepon. Tentu saja bertanya keadaan anaknya. "Baru masuk ruang operasi." Ya baru saja masuk. Ia masih duduk menunggu bersama teman-teman anaknya. Sementara Maira? Mengurus sang anak yang padahal belum bisa berjalan tapi ingin terus melangkah. Jadi ya dipegang terus meski lelah. Hitung-hitung olahraga. Meski ya rasanya lemaknya juga tak kunjung terbakar. Hahaha. Berat badannya masih sama. Ya lah. Ibu mertuanya turut memberinya banyak makan. Karena ia tahu kalau mengurus anak juga butuh banyak energi. Tapi setidaknya, ia sungguh dekat sekali dengan ibu mertuanya. Ini yang disebut dengan kasih sayang tak sedarah. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD