Peter memang pulang tapi Aidan masih di sana. Ya hanya memastikan kalau Peter tak akan datang lagi sih. Ya sembari menunggu Angie yang dimarahi Nayla. Nayla marah karena urusan ini sampai ke telinga Aidan. Ia terlalu malu tapi tak mau mengakui. Ya akhirnya Angie yang kena..
"Aidan justru lebih dulu tahu dibanding aku. Kalo gak ada Aidan, aku justru gak akan tahu. Kamu tuh jujur....."
Ia hanya ingin Nayla jujur. Jujur akan apa yang dialami. Jangan ditutup-tutupi lagi. Karena hal ini baginya sudah cukup membahayakan. Tapi Nayla tak mau. Ia masih terlalu takut untuk mengakui banyak hal. Banyak hal yang ia takutkan. Baginya itu sungguh mengerikan. Ia ingin menutupi semua itu. Baginya jalan satu-satunya hanya tetap mengunci mulutnya dan berpihak pada Peter. Karena baginya memang tak ada jalan lain.
Angie keluar dari kamarnya. Tentu saja masih menyimpan emosi di dalam diamnya. Ia mengajak Aidan untuk pulang saja.
"Gak ngerti lagi lah."
Aidan menghela nafas. Ia baru saja meninggalkan rumah kos Nayla. Gaduh sekali tadi. Ia sih yang menjelaskan kalau hanya kesalahpahaman. Walau ya, terlihat jelas biru di sudut matanya. Rasanya masih sakit.
"Dia gak pernah cerita apapun?"
"Dulu banget, Dan. Waktu awal-awal jadian sama si Peter. Isinya semua cuma kayak ngebandingin kamu sama Peter aja. Peter yang katanya dia jauh lebih baik dari kamu tapi lihat sekarang. b******k banget."
"Dia tetep gak mau cerita?"
"Gak bakal kalo kata aku. Masih aja bela cowok b******k kayak gitu. Gak ngerti aku, Dan."
Angie sangat emosi. Sebaliknya, Aidan justru tampak tenang. Ia tak yakin kalau Nayla sebodoh ini. Maksudnya masih mau berpidahk pada lelaki yang seperti kata Angie tadi sudah jelas b******k. Jadi, ia pelru mencari tahu. Pasti ada sesuatu yang membuat Nayla seperti itu.
"Tapi kamu gak bakal jauhin Nay kan, Dan? Aku khawatir aja. Pasti ada yang gak beres kenapa ia setolol itu."
Ya. Aidan juga berpikir yang sama. "Kos masih yang lama, Gie?"
Ia mengangguk. Aidan masih hapal jalannya kok meski sudah cukup lama. Ya lebih dari setahun ya? Pokoknya sejak ia tak mengejar Nayla lagi untuk mengemis balikan, ia memang sudah tak pernah datang lagi ke kos Angie untuk mencari tahu soal Nayla.
"Kamu gak lagi deket sama cewek atau ada gebetan, Dan?"
Eungg.....bagaimana ya?
"Kenapa memangnya?"
"Cuma mau minta tolong soal Nay. Aku takut sih terjadi sesuatu yang lebih buruk dari ini." Ia menarik nafas dalam. "Aku yaah mungkin kamu lebih tau, Dan. Biasanya sesama cowok lebih tahu. Dan Peter memang b******k kan? Dulu kamu kan pernah tuh teriakin gitu di depan Nayla waktu masih ngotot minta balikan."
"Dulu kesel aja sih."
Angie menatapnya. Dulu Aidan juga masih terlalu bucin. Jadi ada rasa jengkel ketika Nayla tak mau balikan dengannya dan malah sudah punya pacar baru. Peter. Yang ternyata salah satu teman SMA dari salah satu teman dekatnya di gedung apartemen yang sama. Dari situ sebenarnya ia sedikit tahu soal Peter. Ya kalau soal brengseknya sih memang benar kan? Tapi waktu itu, ia memang terbawa emosi sih. Sekeras apapun ia memberitahu kalau Peter adalah cowok yang b******k tapi tak didengar oleh Nayla.
"Tapi emang bener kan? Semua omongan kamu dulu terbukti sekarang, Dan."
Ya. Ia tak bisa menyangkalnya. Temannya yang memberitahu. Ia juga setidaknya sudah memberitahu Nayla. Tapi Nayla yang bucin dulu terus menampik dan seolah ya menantang. Karena ia merasa kalau Peter tak mungkin orang yang seperti itu. Ya pencitraan Peter di awal pendekatan hingga awal pacaran memang berhasil kan ya? Begitu lah yang namanya pacaran.
"Kamu sebisa mungkin pantau aja si Nay, Gie. Kamu tahu, aku gak bisa selalu ada. Tapi kalau ada apa-apa, hubungi aja. Mau jam berapapun, aku usahakan."
"Thanks, Dan. Aku gak tahu lagi harus menghubungi siapa selain kamu."
Ia mengangguk. Ia mengantar gadis itu hingga depan kosnya. Lalu memutar balik mobilnya sembari menghela nafas panjang. Drama ini kapan selesainya? Ia juga tak tahu. Ia kembali ke apartemen. Lalu menggedor pintu apartemen Niko. Biasanya cowok itu belum tidur jam segini. Ya benar. Pintu memang terbuka.
"Eh! Muka lo kenapa?"
Ia malah fokus pada luka itu. Tapi Aidan tak begitu masalah. Kalau hanya segini sih tak begitu menjadi masalah. Yang penting ia tak babak belur. Kan lebih parah si Peter.
"Peter. Lo tahu, dia pernah ngelakuin apa aja sama mantannya?"
Niko langsung terdiam mendengar itu.
@@@
"Eh! Eh!"
Suara bisik-bisik itu awalnya tak begitu terdengar jelas sih. Tapi semakin lama, semakin jelas. Ia sedang makan siang sih di sudut kantin. Tak ada dokter lain yang terlihat mungkin sibuk di ruang praktek. Karena ini memang sudah jam 2 siang. Ia baru sempat makan siang. Setelah ini? Ya pulang. Kebetulan tak ada jadwal juga di kliniknya.
Ia menepi dari keramaian. Ya karena tak suka. Padahal dulu ia tak begini sih. Ia menikmati makanannya sendiri sembari menonton menggunakan ponselnya. Walau semakin lama memang terganggu dengan suara-suara gosip. Gosip apa?
"Dokter Pri katanya balik ke sini ya?"
"Kata siapa?"
"Temen-temenku pada bilang gitu. Dia buka rumah sakit kecil sama klinik gitu katanya."
"Emangnya bisa?"
"Ya bisa lah. Secara adminustrasi kan bisa. Kalo praktek kan udah gak mungkin. Ya kecuali mungkin sembuh. Tapi tetap diragukan sih."
Mereka membicarakan itu. Diana hanya diam di sudut di kantin. Ia mempercepat acara makannya. Lalu beranjak dengan terburu-buru. Yang membicarakan tak tahu kalau dia ada di sana.
"Udah nyebar ya berarti."
"Udah lah. Dari dulu juga suka jadi pusat perhatian kok."
"Ya iya lah. Perfect gitu."
"Sempurna yang mengerikan gitu?"
Mereka tertawa.
"Tapi emang kan? Dulu kan jadi rebutan itu di fakultas kita."
Yang lain mengangguk-angguk.
"Eh tapi kalo rumah sakit sama kliniknya udah berdiri berarti emang udah lama--"
"Emaaaang! Keluarganya yang mulai duluan. Mungkin sengaja. Emang disiapin."
"Tapi kenapa ke Jogja? Kenapa gak tetep di Jakarta aja?"
Mereka saling bersitatap. Satu-satunya jawaban yang terpikir ya........itu. Sebelum menjawab, mereka memastikan orang yang hendak disebut. Menatap dulu ke sekeliling rumah sakit. Begitu tak ada, baru disebut.
"Dokter Di?"
"Ya siapa lagi? Siapa tahu pengen balikan."
"Tapi kalo aku jadi dokter Di, gak bakal mau deh. Kan waktu itu, kita semua tahu beritanya serem banget. Dokter Di juga sempet terganggu mentalnya."
"Ya sih. Tapi kalo udah sembuh gak apa-apa kali."
"Gak apa-apa uji coba mati lagi gitu?"
Ia nyengir.
"Mental gitu susah sembuh sih. Meski ada juga yang berhasil. Tapi ya khawatir lah. Kalau kumat gimana? Apalagi apa itu namanya?"
Salah satu orang baru mau menyebut jenis penyakit yang diderita tapi terdam suara kode blue. Mereka kompak berlari meninggalkan makanan. Sementara Diana baru saja menutup pintu ruangannya. Ia membereskan barang-barangnya.
Gak apa-apa, Di, ujarnya pada diri sendiri. Tapi tentu saja disebutkan di dalam hati. Ia sedang menguatkan dirinya sendiri. Walau masih parno parah. Namun keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan bertahun-tahun lalu. Untuk bisa melewati semuanya juga tak mudah baginya. Ia menarik nafas dalam. Sudah siap untuk pulang.
Ia berjalan menuju parkiran rumah sakit. Sebenarnya, ini sudah berlalu sangat lama. Ia juga tak pernah ada urusan lagi dengan mantan suaminya. Keluarga lelaki itu? Dulu sekali pernah menghubungi ibunya. Tapi itu juga terjadi setelah proses perceraian selesai. Mereka meminta untuk Diana menemui anak mereka. Katanya sih untuk meminta maaf. Mamun Diana tak pernah bisa mempercayai mantan suaminya. Lagi pula, ia juga masih trauma kala itu. Jadi hanya fokus berobat. Ibunya meski sudah menikah lagi ya setidaknya masih mau merawatnya saat itu. Kalau sekarang kan sudah ikut suaminya ke luar negeri. Ya mereka memang terpisah jauh. Ia tak bisa menumpang pada ibunya. Namun setidaknya ia memiliki Caitlyn yang meski sudah tak ada hubungan resmi dengannya, rasanya masih sama seperti kakak kandung kok.
Disaat mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit, mobil lain baru saja terparkir. Hanya berselang beberapa menit. Si pemilik mobil baru keluar dari sana dan berjalan menuju koridor rumah sakit. Tujuannya? Salah satu dokter senior yang praktek di sini. Ya kan pembimbingnya dulu waktu masih kuliah kedokteran di sini. Ia sengaja datang ya sekalian memastikan sesuatu. Tak mungkin ia tak tahu keberadaan perempuan yang pernah ada di dalam hidupnya kan?
"Wah lama tak melihatmu, Pri."
Ia tersenyum. Sengaja mampir membawa makanan pula. Tak hanya untuk si dokter tapi juga para staf lain. Berbincang sebentar. Ya lama tak bersua.
"Lebih 5 tahun ya, Pri? Atau kurang dari itu?"
"Sepertinya begitu, dok. Saya juga sudah lupa."
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Yaa. Sudah bisa beraktivitas lagi secara normal."
Si dokter mengangguk-angguk. Ia paham apa yang dialaminya. Ya tak mudah. Tapi lega juga melihatnya sudah jauh membaik.
"Kapan keluar dari sana?"
"Sudah dari tiga tahun lalu."
"Wah sudah lama juga. Berarti perkembangan kamu sekarang jauh lebih baik."
Ia tersenyum tipis. Ya caranya tersenyum masih sama. Begitu juga dengan reaksinha. Menurut si dokter tak ada bedanya.
"Kalau begitu, bisa lah kamu lanjut lagi itu pendidikan spesialismu. Sayang sekali waktu itu sudah jalan 1 tahun."
Harusnya ia sudah menuelesaikannya. Ya andai semuanya berjalan baik-baik saja kala itu.
"Aku cukup dengan yang sekarang, dok."
Maksudnya dengan gelar S2-nya di bidang administrasi rumah sakit. Itu juga sudah cukup. Karena dengan itu, ia bisa membuka rumah sakit dan klinik sekaligus di daerah yang berbeda. Tapi masih di sekitar Jogja.
"Kenapa kok mulai bukanya malah di sini? Sainganmu banyak loh."
Ia terkekeh. "Bantul kan belum begitu. Lagi pula, skalanya beda juga. Aku pengen nantibya ini bisa jadi rumah sakit khusus."
Si dokter pembimbing mengangguk-angguk. Padahal menurutnya, potensi di Jakarta jauh lebih besar. Tapi ya memang saingannya juga jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Jogja. Cuma ya tetap saja. Akan jauh lebih bagus membuka di kota besar sekalian atau kota kecil sekalian.
"Saya dengar Di kerja di sini, dok."
Si dokter mengangguk-angguk. "Mau bertemu?"
Ia menggeleng. "Udah lama gak tahu kabarnya."
Aaah. "Dia masih sendiri iru." Ia malah mengoloknya. "Atau kamu sudah ada yang baru?"
Ia hanya tersenyum kecil. Kalau orang kain mungkin tertawa kecil atau terkekeh. Tapi kalau ia? Ya memang begini caranya bereaksi sejak dulu. Walau tak pernah terasa ganjil bagi kebanyakan orang. Bahkan bagi seorang Diana sekalipun diawal-awal pertemuan. Kisah romantis di kampus yang indah. Namun berakhir dengan negitu mengerikan. Bahkan Diana tak pernah bisa tidur dengan santai. Ia harus menyibukan diri agar bisa tidur dengan pulas. Baginya hanya itu caranya agar bisa tetap menjadi manusia. Karena tidur pun terasa sangat sulit untuknya.
@@@
Kabar Aidan bertengkar dengan Peter tentu saja sudah menyebar ke seantero kampus. Di hari senin, ia sudah ditunggu tiga sahabatnya. Tapi yang digosipkan masih belum muncul.
Soraya dan teman-temannya berdiri tka begitu jauh dari teman-temamnya Aidan. Ya masih di dekat parkiran sih. Kan mereka sudah hapal tuh mobil merahnya Aidan. Kabar zaidan bertengkar dengan pacar dari mantannya ya jelas menyedihkan bagi Soraya lah.
"Kamu udah nanya keadaannya, Sor?"
"Udah. Tapi tahu sendiri. Gak bakal dibales."
Ia bete karena tak ditanggapi Aidan. Pagi-pagi pun sudah mencoba menelepon tapi tak diangkat. Hanya sekali ia berani menghubunginya. Ya takutnya kan Aidan tak suka dengan cewek posesif. Jadi ia menahan diri. Lagi pula, ia sudah berjanji untuk memulainya melalui pertemanan. Ya tak mau terlalu cepat. Tapi tetap harus dipepet karena yakut Aidan diambil perempuan lain.
"Duh gimana keadaannyakak Aidan ya?"
Teman-temannya ikut cemas. Ya kan bisa saja Aidan kalah. Lalu ternyata ia terluka parah begitu. Walau tadi bertanya pada teman-teman Aidan, kemungkinan besar Aidan pasti masuk. Wobg ada banyak kuis hari ini. Mana mungkin Aidan bisa meninggalkan itu?
"Kak Aidan bisa bela diri gak sih?"
Soraya juga tak tahu sih. Ia tak tahu banyak. Ya tahu lah. Aidan kan misterius. Begiru mobilnya terlihat, mereka segera bersiap-siap. Ya menunggu Aidan saja. Walau Soraya sudah didorong-dorong untuk pergi ke mobilnya saja.
"Dari pada dipepet cewek lain!"
Ya juga sih. Walau kata teman-temannya sih, tak ada cewek lain yang mendekati Aidan sejauh ini. Memang hanya Soraya. Jadi ya kesempatan besar.
Soraya berjalan mendekat. Tapi ya menahan diri. Ia biarkan teman-teman Aidan mengerumuni cowok itu. Kalau dilihat dari jauh begini ya wajahnya sih tak parah. Hanya sedikit briu di sudut mata yang masih tampak jelas. Soraya tentu saja sudah menyiapkan sesuatu untuk ini. Wong di tangannya ada perlengkapan obat-obatam. Spesial untuk Aidan. Ia mendadak bisa jadi dokter khusus untuk Aidan. Hahaha.
"Kaaak!"
Ia sudah memanggil. Ketiga temannya Aidan jelas berdeham-deham. Hahaha. Mereka sangat setuju kalau Aidan dengan Soraya. Menurut mereka ya tak ada salahnya sih. Walau agak agresif, Soraya baik. Mantannya? Katanya sih hanya ada dua. Kebenarannya ya tak tahu. Tapi mereka percaya saja.
"Katanya kakak berantem ya? Duh itu biru, kak."
"Gak apa-apa."
Ya biasa lah. Cowok memang begini kan ya? Hahaha. Tapi waktu Soraya menyentuh luka itu, ia berdesis. Saking sakitnya. Hahaha.
"Aku obatin bentar."
"Gak usah. Gak apa-apa kok."
"Aku obatin aja, kak. Itu biru loh."
Ia tetap ditarik. Lengan kemejanya sih yang ditarik. Setidaknya cewek ini tak asal menarik tangannya. Ya maksudnya tak menyentuh kulit. Hahaha.
Begitu duduk di tempat yang sudah disiapkan oleh teman-temannya, Soraya mengeluarkan obat-obatan dari kotak obat. Ya hanya mengolesi salep yang bisa menangani bengkak sih. Ia juga menaruhnya dengan begitu pelan. Aidan hanya diam. Yang heboh justru teman-temannya dan teman-teman Soraya. Hahahahaha. Mereka bilang.....
"Kayak adegan di film-film begitu ya kan?"
Hahahaha.
"Iri sumpah."
Angga mupeng alias muka kepengen banget. Hahah. Tapi hanya bisa ngimpi nih. Masalahnya kan gak ada yang mau. Hahaha.
"Meski cuma lebam begini, jangan disepelein tauk, kak. Kan kita gak tahu gimana efeknya ke depannya."
Ia mememberesi peralatannya yang tak seberapa itu. Hahaha.
Aidan menghela nafas. Ya harus tetap berterima kasih meski hanya dibantu hal sekecil ini. Ia sempat termangu melihat senyuman Soraya. Ya memang baik. Ia akui. Dari rekam jejaknua juga. Bukam cewek-cewek yang suka aneh-aneh atau pergaulan yang terlalu bebas. Tapi sayangnya, ia tak punya rasa suka. Meski sekarang ya berjalan juga tuh sama Soraya yang malah mengantarnya ke depan pintu kelas. Ia masuk ke dalam kelas dan tentu saja menjadi pusat perhatian. Teman-teman Soraya?
"Ciyeeeeeee, Sor."
Mereka menggoda Soraya yang terkekeh. Setidaknya ia sudah berkomplot dengan mereka untuk mengejar cinta Aidan. Hahaha.
@@@
Ia tadinya sih baik-baik saja. Tapi ternyata masih kurang baik. Karena masih berdampak pada dirinya sendiri. Khususnya sih mentalnya.
"Seriusan kamu?"
Ia mengangguk. Caitlyn menatapnya khawatir.
"Are you okay?"
Ia mengangguk pelan. Walau kakinya malah lemas begitu sampai di rumah. Sungguh menakutkan memang. Hal yanh tak ia inginkan. Semoga memang tak apa-apa.
"Tapi dari sekian banyak kenapa harus Jogja?"
Itu juga yang tak ia mengerti. Tapi ia tak berani berpikir lain hal.
"Aku tidak mau berprasangka."
Ya oke. Caitlyn mengangguk. Ia juga tak akan membahasnya lagi. Ia tahu kalau Diana pasti masih takut dengan hal itu. Lebih baik dilupakan dari pada jadi beban pikiran. Hal ylburuk kalau terlalu sering dipikirkan justru bisa jadi bumerang dan kenyataan.
"Mau mandi dulu?"
"Ya, kak."
Ia pergi ke kamar mandi. Caitlyn juga baru pulang sih. Semalam, ia kan lelah ya jadi pulas. Tak tahu pula Diana berangkat jam berapa ke rumah sakit. Sekitar jam 11 ia baru bertemu temannya untuk menjual tas. Besok ia sudah kembali ke Jakarta. Tentu harus bekerja dan melanjutkan studi. Spesialisnya jauh lebih lama dibandingkan Diana. Lagi pula, ia memang memulainya lebih lama. Tapi hampir selesai kok.
Ketika Caitlyn sibuk menata sisa tasnya, suara seaeorang di depan membuat keningnya mengerut. Tampaknya sih tak familiar. Tapi ia tetap saja berjalan ke depan dan menemukan Arya berdiri di gerbang rumah. Hahahaha. Cowok itu langsung memasang wajah ceria sambil melambaikan tangan ke arah Caitlyn yang terlihat dibalik pintu. Alih-alih membalas, ia malah menutup pintunya lagi sambil memaki. Hahahaha. Ia lupa kalau cowok yang suka menguntitnya itu juga sedang ada di sini.
Sejujurnya, Arya sudah datang ke sini sejak siang tadi. Tapi tak ada orang. Nah jadinya ia datang lagi. Tak dengan tangan kosong loh. Ia bawa banyak makanan sogokan. Hahahhaa.
Berdasarkan informasi dari Ferril soal rumah ini, nama pemiliknya adalah Diana. Lalu apa hubungannya dengan Caitlyn? Nah tentu saja hubungan keluarga yang pernah terjalin. Ia jadi tahu kalau ini adalah rumah adik tirinya Caitlyn. Hahaha.
"Gila tuh orang!"
Diana muncul sambil mengelap rambutnya yang basah. Ya bingung sih. Memangnya kenapa? Ada apa? Hahaha.
"Apa sih, kak? Ngomel-ngomel sendiri."
"Tuh si cowok k*****t s****n itu muncul lagi."
Ia terbahak. Tapi apa salahnya cowok s****n itu. Diana mengintip dari jendela lalu kembali lagi ke ruang tengah.
"Baik sih kayaknya."
"Lo gak tau aja siapa saja komplotannya. Anak-anak playboy. Doyannya mainin cewek. Parah pokoknya."
Ia makah terkekeh. "Tapi dia masih nunggu loh."
Bahkan memanggil-manggik Caitlyn sekarang. Hahaha.
"Udah lah. Gak usah digunris. Lo pilih yang mana? Sebelum besok, gue bawa lagi nih."
Ia jadi terfokus pada tas-tas itu. Padahal Arya benar-benar menunggu loh. Ia bertanya pada Ferril bagaimana caranya membobol pintu itu. Hahaha. Hanya agar ia bisa masuk. Ferril malah terbahak. Senang sekali mendengar ia terjebak.
"Baik-baik lo. Yang ada si Cait malah makin menjauh. Udah lah. Lo duduk aja tuh di deoan gerbang ya. Tungguin aja sampai dibuka. Kalo mereka punya hati, gue yakin pasti dibuka deh."
"Kalo gue malah diusir gimana?"
Ferril terbahak. "Itu derita lo. Hahahahaha!"
Asem memang teman seperti ini ya? Hahaha. Walau ia pasrah dan benar-benar menuruti ide gila Ferril. Ya kalau Caitlyn kan terang-terangan tak suka dan jauh kebuh tega dari Echa. Nah, Ferril berpikir ya Arya harus lebih gila lagi pengorbanannya dibandingkan dengannya. Hahahaha.
@@@
"Tuh orang gila."
Ellery dongkol sekali. Ahahahaha. Ya menurutnya Darren gila. Begitu datang dan baru mengenal, tiba-iba mengajak menikah. Itu orang sehat?
Jennie yang akhirnya menyempatkan diri ke apartemennya hanya bisa terbahak. Ia mana tahu kalau Darren akan segila itu. Menurutnya juga gila sih. Kan belum kenal tuh sama Ellery. Kok berani banget mengajaknya untuk menikah?
"Dikiranya nikah cuma buat main-main doang."
"Tapi seenggaknya niatnya bagus sih. Dari pada pergi berdua sama lo ke nikahan mantan dengan status pura-pura ya kan? Jadi lebih baik statusnya beneran nikah aja. Hahahahahaha!"
Ia bahkan tak bisa berhenti tertawa. "Lagian kok lo bisa kenal sih?"
"Mereka kenal sama Vani. Lo tahu kan si Ferril Adhiyaksa yang playboy itu?"
Ia mengangguk.
"Nah si Ferril itu ternyata sepupunya Vani gitu. Terus ya bawa si Darren. Kan mereka satu geng tuh. Tahu-tahu ya cerita naksir lo."
"Kok bisa naksir gue?"
"Dia pernah lihat lo ngisi acara. Bukannya udah sering ketemu ya?"
"Kayaknya sih. Ah tauk ah. Bete."
Jennie tertawa lagi. "Gak apa-apa lagi. Dia mualaf. Baik sih kayaknya. Walau gue belum tahu banyak."
"Ah lu parah. Main kasih kucing dalam karung begitu aja."
Hahahaha. Jennie terpingkal. Kalau tidak baik, ia juga tak akan menawarkan sih. Tapi karena sepertinya baik ya.....
"Gak mau nyoba aja?"
@@@