Bab 7

2313 Words
  “Aku juga sebenernya masih bingung masalah itu, Ma. Dia memang kakakku, tapi apa yang dia lakukan di masa lalu, itu cukup membuktikan kalau dia tidak menganggap aku sebagai saudaranya..” Pada akhirnya, satu lagi keresahan yang ada di hati Mesya bisa dia katakan. Kadang, satu perasaan yang membuat kita merasa resah memang harus diungkapkan, setidaknya itu membuat hati jadi merasa sedikit lebih baik. Mesya sudah menahan semua ini ketika ada di depan Adrel. Ya, Mesya memang tidak ingin membebani Adrel dengan masalahnya sendiri mengingat jika saat ini suaminya sedang ada banyak beban di pekerjaannya. Jadi, karena sudah menganggap mertuanya sebagai orang tuanya sendiri, mungkin memang tidak ada salahnya jika Mesya memutuskan untuk bercerita pada Mama. Untuk sejenak, ruangan ini jadi sedikit sepi. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Mesya sendiri merasa bingung harus bagaimana. Dia takut jika mertuanya berpikiran macam-macam karena apa yang baru saja Mesya katakan. Astaga, ada rasa sesal yang tiba-tiba menghampiri Mesya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak akan mungkin bisa menarik kata-katanya sendiri. Tapi keadaan jadi sedikit lebih baik ketika Mesya menarakan tangan Mama mengusap kepalanya sejenak. Membuat Mesya merasa jika mertuanya tidak marah pada apa yang baru saja dia katakan. Selain Adrel, orang yang Mesya miliki adalah mertuanya. Pada siapa lagi Mesya harus berbicara jika tidak pada mereka? Setelah kehilangan orang tua, rasanya Mesya jadi semakin sendirian. Memang masih banyak keluarga di desa yang sangat peduli dengan Mesya, tapi jika mengenai masalah seperti ini, mana mungkin Mesya bisa memberi tahu mereka? Jarak yang cukup jauh membuat Mesya jadi semakin sulit untuk tetap dekat dengan mereka. “Nggak masalah. Wajar kalau orang marah dan kecewa. Tapi kembali lagi, dia tetap kakak kamu, kan? Mama cukup tahu kalau kamu masih sangat peduli dengan dia ketika kamu mengkhawatirkan responmu sendiri ketika nanti dia datang” Mesya juga sadar akan hal itu. Mengenai dirinya yang merasa takut jika nanti sampai mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan ketika Dira ada di sini. Tidak, sebenarnya terlepas dari masalah mereka, Mesya memang merasa senang ketika tahu kakaknya akan ke sini. Tapi begitulah manusia, ada banyak keraguan yang lagi-lagi menyerang hatinya. Mungkin Dira memang kakaknya. Wanita itu juga sedang tertimpa masalah. Sebagai seorang saudara, sangat wajar jika Mesya berharap bisa sedikit membantunya. Tapi sekarang, Mesya sendiri yang merasa bimbang. Apa benar dia bisa membantu kakaknya? Bagaimana kalau tidak? Banyak ketakutan yang kembali mengirimkan keraguan di hati Mesya. Dia takut jika nanti suasana di rumah jadi sangat canggung karena Mesya tidak tahu harus berbicara mengenai apa pada Dira yang sudah sangat lama tidak dia temui. “Aku kadang juga merasa rindu sama dia. Sekalipun dia bukan kakak kandungku, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Rasanya memang nggak rela kalau semuanya jadi kaya gini, Ma” Mesya mendekatkan dirinya. Memang, dia hanya seorang anak menantu. Tapi Mama selalu memperlakukannya dengan sangat baik.  Menganggap Mesya seperti anaknya sendiri. Bahkan dibandingkan dengan Adrel, Mama seperti jauh lebih dekan dengan Mesya. Mungkin karena mereka sama-sama perempuan. Dulu saat mereka baru pertama menikah, Adrel pernah bercerita jika sebenarnya dia memiliki adik perempuan. Sayangnya adinya meninggal ketika baru berusia 2 tahun. Kata Adrel juga, adiknya seumuran dengan Mesya. Mungkin karena itu Mama terlihat sangat perhatian dengan Mesya. Hati seorang ibu memang begitu, sangat mudah mencintai. Kadang Mesya bertanya, kapan dia bisa menjadi ibu? Menjadi wanita yang sempurna dengan memberikan Adrel keturunan? Tapi kembali lagi, itu semua adalah keinginannya. Mungkin Tuhan memang belum berkehendak untuk dirinya. Sekarang yang bisa Mesya lakukan adalah terus berdoa. Karena sejujurnya, sudah banyak usaha yang Mesya lakukan. Bahkan ketika pernikahan mereka baru mencapai usia 2 tahun, Adrel dan Mesya udah rutin mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan program kehamilan. Sayang sekali, sampai sekarang mereka belum juga diberi kepercayaan. “Ya memang begitu, namanya juga saudara. Kamu tenang aja, hati kamu sangat terluka saat itu, mungkin kamu masih takut kalau nanti kakakmu membuat kamu terluka lagi" Sebenarnya, rumah Mesya dan neneknya Adrel yang ada di desa tidak terlalu jauh. Tapi entah kenapa Mesya tidak pernah bertemu dengan ibunya Adrel ketika masih di desa. Kata Adrel, ibunya sudah pergi ke kota sejak dia lulus SMP. Ibunya melanjutkan sekolah di kota sampai dia lulus kuliah. Setelah itu dia bekerja di salah stau rumah sakit besar di kota ini dan akhirnya menikah. Beberapa kali mereka mengunjungi desa karena neneknya Adrel tidak pernah mau diajak pergi ke kota dan tinggal di sini. Oleh karena itu, Adrel jadi akrab dengan suasana desa padalah jika dibandingkan dengan kota ini, pasti perbedaannya akan sangat mencolok. Desa terpencil yang kadang masih mengalami banyak kesulitan dalam fasilitas dibandingkan dengan kota besar yang seakan tidak pernah tertidur. Entah ini keberuntungan atau memang takdirnya yang baik. Tapi tinggal di kota ini bersama dengan Adrel adalah hal yang tidak pernah Mesya bayangkan sebelumnya. “Aku mungkin juga sudah memaafkan dia. Tapi aku nggak tahu, aku merasa nggak tenang begitu aku menyetujui permintaannya untuk tinggal di sini. Kadang aku merasa senang, tapi kadang aku kembali resah, Ma” Mesya mengatakan semua hal yang terasa sangat tidak wajar di dirinya. Kadang Mesya memang merasa senang. Dia mempersiapkan semuanya dengan sangat baik agar nanti kakaknya merasa nyaman ketika tinggal di tempat ini. tapi tidak jarang, rasa ragu itu kembali datang. hal yang membuat Mesya jadi terus kebingungan. Mesya ingin membahas semua ini dengan Adrel, tapi karena di sini ada Mama, mungkin tidak ada salahnya jika Mesya sedikit lebih terbuka dengan mertuanya. “Itu karena kamu memang sudah lama nggak ketemu dia. Tiga tahun itu waktu yang lama, Sya. Kamu mungkin Cuma lagi gugup” Bukan, ini tentu bukan rasa gugup. Mesya seperti ragu menrima Dira datang karena menurut instingnya, Dira pasti akan menimbulkan masalah benas. Mesya bukan ingin mempercayai prangsa buruknya ini, karena sejujurnya, sangat tidak baik jika Mesya menganggap kakaknya sebagai pembawa bencana dan masalah. Tidak, bukan begitu maksud Mesya. Bertahun-tahun mengenal Dira sebagai kakaknya dan mengetahui beberapa sifat buruknya membuat Mesya mau tidak mau juga harus berjaga jaga.  Ada banyak hal yang tentu saja tidak bisa Mesya lupakan dengan mudah selain puncak masalahnya dengan Dira. Karena sesungguhnya, jauh sebelum itu Dira memang sering membuat masalah yang cukup besar. Wanita itu seperti marah pada dirinya sendiri sehingga terus menerus membuat kesalahan yang akhirnya membuat orang lain harus bertanggung jawab. Puncaknya adalah ketika pemakaman orang tuanya. Hari itu Mesya sudah tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Dira terus menunjukkan sifat aslinya. Baiklah, maka hari itu juga Mesya menunjukkan semuanya. Marah besar sehingga menimbulkan banyak kekacauan. Tiga tahun lalu... “Aku mau pembagian warisan dilakukan saat ini juga” Mesya mengangkat kepalanya. Menatap Dira, kakak tirinya yang sedang berdiri, berbicara dengan suara lantang seakan dia tidak terpengaruh dengan suasana duka. Suara ribut dari beberapa sanak saudara yang sedang menangis di ruangan yang sama dengan Mesya mulai terdengar. Banyak yang langsung mengecam sikap  Dina yang terdengar sangat kurang ajar. Bagaimana mungkin wanita itu membicarakan mengenai pembagian warisan ketika jenazah kedua orang tuanya baru saja dikebumikan? “Dira, orang tuamu baru saja dikuburkan. Tidak bisakah kamu diam dulu sekarang?” Bude Karti, kakak dari ibunya Mesya bangkit berdiri. Menatap Dira dengan pandangan nyalang. Sudahlah, Mesya memang tidak pernah bisa berharap banyak pada Dira. Kakaknya itu sudah sering membuatnya kecewa, tapi meskipun begitu, Mesya tidak pernah menyangka jika Dira akan melakukan tindakan yang sangat rendahan ini. Mesya menghela napas. Hari ini, setelah dia kehilangan dua orang yang paling berharga di hidupnya, kenapa Dira malah menambah satu masalah lagi? Mesya benar-benar tidak bisa memikirkan apapun saat ini. “Aku tidak bisa percaya pada kalian semua. Aku ingin pembagian harta warisan saat ini juga!” Mesya menghela napas. Apa yang dilakukan oleh kakaknya? Ini tindakan yang sangat tidak bermoral. Beberapa menit lalu mereka baru saja pulang dari pemakaman, Mesya bahkan belum minum atau makan apapun sejak tadi malam. Setelah mendengar kabar jika Tuhan memanggil kedua orang tuanya, apa yang bisa dia lakukan? Sekarang, Dira menambah satu masalah lagi. Mesya tidak sanggup menghadapi ini semua. “Ambil! Ambil apapun yang Mbak dira mau.. aku nggak butuh harta itu!” Mesya tidak bisa lagi memikirkan apapun saat ini. Jika memang Dira menginginkan harta orang tuanya, ya sudah.. biar saja diambil oleh wanita itu. “Mesya..” Bude Karti berjalan mendekati Mesya yang sedang duduk dalam pelukan Adrel, suaminya. “Biar, Bude. Aku nggak peduli lagi dengan harta seperti itu..” Mesya menjawab dengan pelan. Bersama dengan kalimatnya, air matanya kembali menetes. Mengingat dengan jelas bagaimana kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Meninggalkan dirinya di dunia ini. “Kita bisa pikirkan ini nanti dulu. Dira memang keterlaluan..” Bude Karti membelai rambutnya pelan. Sama seperti belaian yang sering diberikan oleh ibunya. “Aku nggak peduli sama apa yang kalian bilang. Yang penting aku mau pembagian warisan saat ini juga. Sekalipun aku anak angkat, aku tetap anak sulung keluarga ini!” Lagi-lagi dira berbicara. Wanita itu, apa dia tidak punya hati? Orang tuanya baru saja dikebumikan.. Baiklah, Mesya juga akan berlaku sama dengan kakaknya. Setelah hari ini dia juga tidak akan peduli dengan apa yang Dira lakukan. Wanita itu sendiri yang memutuskan hubungan mereka. Merusak persaudaraan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun. “Ambil semuanya, Mbak. Aku nggak peduli lagi. Tapi setelah ini, jangan mengganggu hidupku..” Dengan air mata yang masih bercucur di pipinya, Mesya kembali mengangkat suaraya. Jika memang harus selesai hari ini juga, maka dengan lantang Mesya akan memutuskan hubungan persaudaraannya dengan wanita yang sedang ada dihadapannya ini. Mesya hanya tidak menyangka saja, setelah kematian kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Dira masih memikirkan hal semacam itu? Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Mesya merasa jika selama iniDira hanya berdusta. Wanita itu tidak pernah menyayangi keluarga ini. Dira, hari ini dia kembali menunjukkan dimana posisi seorang anak angkat yang tidak tahu diri. Setelah bertahun-tahun lalu memutuskan menikah sekalipun Bapak dan Ibu tidak setuju, lalu kembali beberapa tahun kemudian untuk ikut tinggal di rumah mereka bersama dengan suaminya, kembali menjadi beban keluarga karena baik Dira maupun suaminya, mereka sama-sama tidak bekerja, lalu sekarang wanita itu kembali membuat ulah. Entah kenapa sekarang rasanya Mesya ingin mengutuk kakaknya itu. Semua perbuatan buruk yang Dira lakukan pada Mesya memang sudah sejak lama dia maafkan. Mesya berusaha melupakan itu semua gar tidak menimbulkan masalah yang semakin menjadi bebean untuk keluarganya. Tapi sekarang, perbuatan Dira memang sudah keterlaluan. Lalu, untuk apa Mesya mengalah pada wanita itu? Selama ini Dira tidak pernah mau merawat ibu yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan padahal Dira sendiri sebenarnya pengangguran. Bersama dengan suaminya, Dira hanya menjalankan sawah orang tuanya. Tapi itu bukan masalah besar, sebagai anak, Mesya tentu tidak keberatan jika harus merawat orang tuanya. Tidak, Mesya sama sekali tidak keberatan sekalipun selama tiga bulan ini dia harus tinggal di kota yang berbeda dengan suaminya. Adrel hanya akan datang di akhir pekan untuk mengunjunginya selama bebera hari. Lalu pria itu kembali ke kota untuk bekerja. Dan selama tiga bulan itu, Mesya melihat sendiri bagaimana kakaknya memperlakukan orang tuanya. Sungguh, saat itu Mesya mulai merasa sebal. Jika dilihat dengan benar, posisi Dira di rumah ini adalah anak angkat. Sekalipun merasa sangat sebal, Mesya tentu tidak akan mengungkit hal itu. tapi melihat kakaknya yang berlaku buruk pada orang tuanya, Mesya mulai tidak bisa menahan diri. Beberapa kali dia terlibat adu mulut dengan Dira sekalipun pada akhirnya Mesya yang memilih diam dan mengalah karena ibunya sering menangis saat Mesya dan Dira mulai bertengkar. Lalu, ketika Mesya meminta suaminya Dira untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit menggunakan mobilnya yang memang baru saja dibelikan oleh Adrel agar transportasi Mesya jadi lebih mudah. Suaminya menyadari jika merawat orang tua yang sedang sakit, mereka pasti membutuhkan mobil agar bisa cepat pergi kemana-mana mengingat di desa tidak ada taksi. Sebuah mobil yang lumayan mahal yang langsung dibelikan oleh Adrel untuk dibawa ke desa. Karena Mesya belum bisa mengemudi, akhirnya menitipkan mobil itu ke suaminya Dira yang sebenarnya adalah teman lamanya. Sayang sekali, sama seperti Dira, orang itu juga menyebalkan. Suaminya Dira menolak untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit karena dia merasa itu hanya akan buang-buang uang. Padahal, setiap kali ke rumah sakit, ibu pasti menggunakan uangnya sendiri. Menggunakan tabungannya sendiri jika memang sedang tidak ada Mesya. Tapi semenjak Mesya datang, pengobatan ibunya selalu dibayar oleh Mesya menggunakan uang yang diberikan oleh Adrel.  Sayang sekali, hari itu suaminya Dira menolak begitu saja. Dia lebih menyayangi uang yang akan digunakan ibu untuk berobat padahal uang itu bukan miliknya. Lagi pula, jika dipikir-pikir, orang itu tidak pernah bekerja dengan benar. Dia hanya menggarap sawah milik orang tua Mesya. Pria itu memang manusia tidak tahu diri. Akhirnya Mesya menghubungi Adrel, meminta agar suaminya cepat datang karena di desa, tidak banyak orang yang bisa mengendarai mobil. Di desa Mesya yang memang sangat terpencil, orang lebih memilih menggunakan dokar untuk kendaraan mereka. Sayang sekali, Adrel terlambat datang. Ibunya sudah meninggal. Mesya tidak menyalahkan Adrel, tidak.. suaminya tidak salah dalam hal ini. Tapi dua orang tidak tahu diri yang selalu saja menjadi beban di rumah ini. Mereka yang salah. Dira dan suaminya sering menggunakan mobil Mesya untuk pergi berbelanja ke pasar. Mesya selalu mengizinkannya, bahkan ketika kakaknya dengan sangat tidak tahu diri meminta uang bensin padanya. Kesabaran ada batasnya, sekarang semua itu sudah selesai. Mesya tidak perlu menahan amarahnya karena orang yang selama ini dia jaga agar tidak terluka akibat pertengkarannya dengan Dira, mereka sudah meninggal. “Tidak, aku nggak jadi kasih apapun ke Mbak Dira. Kamu boleh pergi saat ini juga tanpa membawa apapun! Ingat, kamu bukan siapa-siapa di rumah ini” Mesya tahu jika kalimatnya membuat Dira merasa sangat sebal. Kali bukan hanay Dira saja, tapi suami wanita itu juga tampaknya terkejut dengan apa yang baru saja Mesya katakan. Sudah, biar saja masalah ini semakin besar. Dira yang mengawali, bukan Mesya. “Tidak ada satupun surat yang menyatakan jika Mbak Dira adalah anak orang tuaku. Bahkan tidak ada surat adopsi atau semacamnya. Itu artinya kamu nggak berhak atas harta orang tuaku” Dulu, orang desa seperti orang tuanyamana mungkin memikirkan hal semacam itu. Tidak ada surat adopsi. Akta kelahiran Dira juga bertuliskan nama orang tua kandungnya. Tidak ada satupun surat resmi yang menunjukkan jika Dira adalah bagian dari keluarga ini. Bagi orang desa, semua itu tidak perlu. Sayangnya sekarang itu semua menjadi senjata yang bisa membuat Mesya membalaskan rasa sakit hatinya. Sejujurnya juga Mesya tidak terlalu berminat dengan harta orang tuanya. Tidak, ini bukan hanya masalah harta. Ini adalah masalah Dira yang tidak pernah memperlakukan orang tuanya dengan padahal selama ini orang tuanya selalu mengutaman Dira meskipun Mesya adalah anak kandungnya. Sekarang Dira yang akan kalah. Jika memang tujuan wanita itu tinggal di rumah ini untuk mendapatkan warisan, maka Mesya tidak akan memberikannya dengan mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD